Musim
bergeser siklusnya tak lagi ajek, petani kerap salah langkah. Banjir dan
longsor meluas di musim hujan. Sebaliknya, kekeringan makin nyata di beberapa
daerah. Puting beliung pun menggila. Sederet bencana yang dipicu cuaca ini
diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Oleh
: Ahmad Arif
Sederet bencana, mulai dari
banjir, longsor, cuaca ekstrem, kekeringan, dan puting beliung, merupakan jenis
bencana hidrometeorologi. Bencana ini terutama dipengamhi
oleh aspek cuaca, walaupun bisa dipicu oleh ulah manusia, atau kombinasi kedua
faktor ini.
Dalam tiga dasawarsa terakhir,
tren bencana hidrometeorologi di Indonesia meningkat drastis, baik intensitas,
frekuensi, sebaran, maupun kekuatannya.
Berdasarkan Data dan Informasi
Bencana Indonesia (DIBI) selama tahun 1815-2011 terdapat 11.910 kejadian bencana
yang menyebabkan 329.585 orang meninggal dan hilang serta lebih dari 15,8 juta
orang mengungsi. Dari jumlah itu, 77% termasuk bencana hidrometeorologi, 3%
bencana geologi, sisanya bencana karena ulah manusia dan biologi. Bencana banjir ada 2.712 kejadian (40%)
total bencana di Indonesia. Selain banjir, puting beliung menunjukkan
peningkatan paling pesat.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan
Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho
mengatakan, dalam 10 tahun terakhir (2002-2011), puling beliung meningkat 28
kali lipat.
Ada 404 kabupaten/kota di
Indonesia dengan jumlah penduduk 115 juta jiwa tinggal di daerah rawan puting
beliung. Sebaran rawan tinggi puting beliung ada di sepanjang barat Sumatera,
pantura Jawa, NTT, dan selatan Sulawesi Selatan. "Wilayah yang dulu tidak
pernah dilanda puting beliung kini kerap dilanda," kata Sutopo.
Tren global
Indikasi kenaikan bencana
hidrometeorologi juga terjadi di seluruh dunia. Secara global, 76% bencana
dalam kurun 1900-2011 adalah bencana hidrometeorologi, dan menunjukkan tren
meningkat.
Badan PBB untuk Pengurangan
Risiko Bencana (UNISDR) memperingatkan, bencana hidrometeorologi merupakan
tantangan besar masyarakat dunia di masa mendatang. Hasil penelitian UNISDR dengan
Louvain University Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED)
menyebutkan, banjir merupakan bencana paling kerap terjadi di Asia sepanjang
2012, mencapai 44%. Bencana ini menimbulkan korban jiwa terbanyak dan kerugian
ekonomi terbesar. Sebanyak 54% korban tewas di Asia akibat banjir dan 56% dari
total kerugian ekonomi di Asia disebabkan banjir.
Bencana hidrologi itu berpengaruh
terhadap ekonomi dan kehidupan global. Banjir di Thailand tahun 2011
memerosotkan perekonomian negara itu. Banjir di Pakistan, Agustus 2010, menelan
korban 1.700 jiwa dan kerusakan 9,7 miliar dollar AS.
Selain banjir, badai menjadi
ancaman serius. Bahkan, tren bencana akibat siklon tropis meningkat 878% selama
1950-2010. Pekan lalu, di Filipina terjadi topan Bopha yang menewaskan lebih
dari 1.000 orang. Tak hanya berdampak pada negara berkembang, ancaman bencana
hidrometeorologi juga melanda negara maju. Banjir di Australia dan topan Sandy
di Amerika Scrikat pada Oktober 2012 menunjukkan negara-negara kaya pun tidak
kebal terhadap risiko bencana ini.
Perubahan iklim
Guru Besar Hidrologi Universitas
Gadjah Mada (UGM) Sudibyakto mengatakan, kejadian bencana hidrometeorologi diperkirakan
terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Hal ini sejalan dengan meningkatnya
suhu Bumi akibat perubahan iklim global. "Bencana hidrometeorologi adalah
bukti nyata bahwa perubahan iklim hadir di tengah kita," katanya. Meningkatnya suhu Bumi, menurut Sudibyakto,
menambah akumulasi awan, dan memicu sejumlah bencana hidrometeorologi.
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan
Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Edvin
Aldrian juga menduga, naiknya suhu Bumi meningkatkan frekuensi bencana
hidrometeorologi, khususnya puting beliung, sekalipun pembuktian langsung
secara ilmiah masih sulit dilakukan.
Sutopo mengatakan, perubahan
iklim meningkatkan bencana hidrometeorologi. Namun, untuk kasus banjir di
Pulau Jawa, faktor antropogenik dinilai lebih berperan. Kesimpulan ini dibuat
setelah menganalisis frekuensi dan curah hujan serta debit sungai di Jawa
dalam 30 tahun terakhir.
"Data yang ada menunjukkan
tren penurunan curah hujan. Data curah hujan maksimum tahunan juga stabil.
Tetapi, kenapa banjir meningkat?" kata Sutopo. "Artinya, faktor
antropogenik, khususnya perubahan penggunaan lahan, lebih dominan memicu
banjir di Jawa."
Sutopo menjelaskan, berkurangnya
kawasan resapan air, koefisien limpasan permukaan meningkat. Sebagian besar hujan
yang jatuh berpotensi menjadi banjir. Kondisi ini diperparah dengan
sungai-sungai yang semakin terdegradasi akibat sedimentasi dan okupasi
bantaran sungai untuk hunian.
Dibandingkan
bencana geologi seperti letusan gunung api dan gempa, yang murni karena faktor
alam, ada jejak manusia yang berperan meningkatkan bencana hidrometeorologi.
Melihat tren kerusakan alam yang kian pesat, suhu Bumi yang meningkat,
peringatan UNISDR bahwa bencana ini akan menjadi masalah besar bagi umat
manusia agaknya tak bisa diabaikan.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber
: Kompas, 21 Desember 2012
Berita lainnya :
Tsunami Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar