Kalah pada masa perang, menang pada masa damai, demikian ungkapan yang sering dilekatkan kepada bangsa Jepang. Pada masa Perang Dunia kedua, ekspansi militer Jepang berhasil dilumpuhkan tentara Sekutu, bahkan akibatnya negeri Jepang luluh lantak dan menyerah tanpa syarat. Tapi kini siapa yang sanggup menahan laju ekspansi Jepang dalam bidang ekonomi?
Oleh : Antar Venus Khadiz
Memang pendekatan rasional ala Barat, sebagaimana diungkapkan Ezra Vogel (1982), tidak akan pernah mampu memahami tradisi bisnis Jepang secara baik dan menyeluruh. Cara pengusaha Jepang mengelola bisnis memang tampak aneh. Di tengah arus globalisasi dewasa ini, orang Jepang tetap konsisten memegang nilai-nilai dan gaya bisnis khas Jepang, yang berakar kuat pada kepribadian dan adat istiadat mereka. Sukses Jepang dalam percaturan bisnis global menjadi fenomena menarik untuk dikaji, bukan hanya oleh negara-negara berkembang, tapi juga oleh negara-negara maju.
Dewasa ini banyak orang asing yang sengaja mempelajari ilmu dan praktik manajemen khas Jepang, citra dan budaya perusahaan, hubungan perburuhan, teknik produksi, ilmu pemasaran sampai kepada upaya mempelajari kepribadian khas Jepang. Melalui studi seperti ini banyak orang non-Jepang yang kemudian menyadari bahwa Jepang ternyata memiliki karakteristik dan konsep-konsep tersendiri tentang berbagai aspek dunia bisnis. Semua itu penting dipelajari untuk mengetahui rahasia sukses bisnis Jepang dan bagaimana kiat menembus pasar Jepang yang terkenal sukar dimasuki.
Selama dasawarsa yang lalu, pasar Jepang dianggap proteksionis. Tapi sejak diberlakukannya liberalisasi perdagangan dan kuatnya tekanan Amerika dan negara-negara Eropa terhadap Jepang agar meningkatkan pasaran domestik dan membuka kran impor selebar-lebarnya, maka Jepang tak dapat mengelak untuk membuka pasarnya secara sportif. Namun anehnya, ketika peluang pemasaran tersebut sudah terbuka, ternyata banyak pihak yang menganggap pasar Jepang sulit ditembus, bahkan banyak pebisnis internasional yang beranggapan bahwa pasar Jepang adalah pasar yang tertutup bagi produk-produk (industri) negara asing. Menurut Takashi Inoue (1988), anggapan seperti itu merupakan kesalahpahaman yang timbul karena tiadanya komunikasi yang empatik. Kebanyakan pebisnis asing datang ke Jepang tanpa pengetahuan tentang karakteristik bangsa Jepang, gaya manajemen dan model pemasaran khas Jepang. Sebaliknya pebisnis Jepang yang akan melakukan negosiasi atau hubungan bisnis dengan pengusaha asing senantiasa melengkapi dirinya dengan sejumlah besar informasi tentang mitra bisnisnya, mulai dari kebutuhan dan kondisi pasar, sampai kepada aspek-aspek budaya yang berpengaruh pada pemasaran dan transaksi bisnis mereka.
Dari sebuah survai diketahui bahwa kebanyakan kegagalan hubungan bisnis antara pebisnis asing dengan orang Jepang, disebabkan tidak dipahaminya karakteristik kepribadian Jepang dan miskinnya pengetahuan pebisnis asing tentang budaya "komunikasi bisnis" masyarakat Jepang.
Budaya Komunikasi Dalam Bisnis.
Pada dasarnya bangsa Jepang memiliki kepribadian yang mantap dan padu. Hal ini dapat terbentuk berkat politik isolasi selama 250 tahun di bawah Keshogunan Tokugawa. Selama masa pengasingan diri tersebut, bangsa Jepang relatif tertutup dari berbagai pengaruh luar, sehingga kontak antarbudaya yang terjadi terbatas di antara suku-suku yang berdiam di kepulauan Jepang. Tingginya intensitas interaksi selama ratusan tahun tersebut pada akhirnya mengkristal dan membentuk kepribadian Jepang memang berbeda dengan logika dan nilai yang berlaku bagi kebanyakan bangsa lain, khususnya Amerika.
Banyak kegagalan bisnis yang menimpa orang Amerika, disebabkan sikap mereka yang Amerika-sentris. Pebisnis Amerika (dan negara-negara Barat lainnya) seringkali menggunakan atau lebih tepatnya memaksakan "cara" Amerika dalam berbisnis dengan orang Jepang. Mereka menganggap remeh logika dan nilai-nilai Jepang. Tentu saja akhirnya kemacetan dan kegagalan yang lebih banyak dituai para pebisnis asing tersebut.
Tujuh kerangka landasan
Ada tujuh kerangka landasan yang mesti diperhatikan untuk cara memahami Jepang?, yakni:
1. Kompleksitas Bahasa. Bahasa Jepang dikenal demikian rumit, sehingga sering dinamakan "bahasa jin". Orang Jepang tidak terbiasa berbicara dengan bahasa yang terang dan langsung. Kata-kata yang digunakan seringkali bermakna ganda. Mereka lebih suka menggunakan bahasa nonverbal khas Jepang. Hal ini tentu saja membingungkan dan menyulitkan pebisnis asing.
2. Homogenitas Ras dan Budaya. Dalam konteks ras dan budaya, Jepang tergolong paling homogen di dunia. Itulah sebabnya orang Jepang dapat melakukan westernisasi tanpa mengubah kepribadian yang menjadi "jiwa Jepang" yang khas.
3. Menjunjung Harmoni. Orang Jepang mengagungkan konsensus sebagai cara terbaik menyelesaikan berbagai masalah. Mereka cenderung menghindari konfrontasi terbuka. Karena itu, berbagai konflik yang timbul diupayakan dapat diselesaikan dengan cara "musyawarah-mufakat".
4. Sikap Eksklusif. Orang Jepang memiliki in-group feeling yang sangat kuat, sehingga cenderung eksklusif. Satu-satunya cara untuk dapat diterima secara "penuh" adalah dilahirkan dalam masyarakat Jepang. Sikap eksklusif ini secara nyata dipengaruhi oleh terlalu lamanya mereka mengasingkan diri (politik isolasi). Hal ini membuat kebanyakan orang Jepang (umumnya generasi tua berusia 50 tahunan ke atas) menjadi kaku dalam berhubungan dengan orang asing.
5. Kuatnya Ikatan Kelompok. Peran kelompok dalam masyarakat Jepang begitu menonjol. Karena itu, kebanggaan, keterikatan, loyalitas dan tanggung jawab terhadap kelompok (dari keluarga hingga negara) begitu besar. Kohesivitas dalam kelompok begitu kental, sehingga tiap-tiap anggota senantiasa saling memperhatikan dan saling mendorong untuk maju bersama.
6. Komitmen Kesejahteraan. Orientasi dan komitmen terbesar orang Jepang adalah pada kesejahteraan masyarakat ketimbang kepada ideologi atau agama. Inilah yang menyebabkan orang Jepang mudah menerima perubahan.
7. Rasa Superioritas. Walaupun bersedia mengimpor gagasan, institusi, pengetahuan, dan teknologi asing, umumnya orang Jepang (khususnya generasi tua) kurang berminat melakukan kontak langsung dengan orang asing. Namun demikian, mereka merasa "superior" di antara bangsa-bangsa lain, (Christopher, 1984).
Tanpa memperhatikan dan memahami ketujuh karakteristik di atas, maka akan sulit bagi orang asing untuk bekerja atau berbisnis dengan orang Jepang. Di samping itu, masih terdapat sejumlah kekhasan Jepang lainnya, yang juga mesti diperhatikan dalam melakukan komunikasi bisnis dengan mereka.
Pernah terjadi seorang pengusaha wanita Amerika mengeluh karena pembicaraan bisnisnya yang pertama terasa sia-sia. Selama pembicaraan bisnis tersebut calon mitra bisnis Jepangnya lebih banyak berdiam diri. Selama dua puluh menit berlalu, pengusaha wanita Amerika itu yang lebih banyak mengambil inisiatif berbicara. Itu pun hanya membahas masalah cuaca, makanan dan pembicaraan remeh lainnya. Anehnya justru pembicaraan seperti itu yang ditanggapi calon mitra bisnis Jepang tersebut. Sedangkan pembicaraan "pokoknya" sendiri dibiarkan mengambang. Pengusaha wanita tersebut berkesimpulan bahwa mitra bisnisnya tersebut tidak menyukai rencana bisnis yang diajukan. Masalah yang sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Bagi orang Jepang kontak pertama dengan calon mitra bisnis biasanya didahului dengan percakapan ringan. Pembicaraan seperti itu diperlukan untuk membangun kenyamanan dan kesiapan berbicara secara serius. Pembicaraan ringan tersebut biasanya merupakan penjajakan awal untuk mengetahui dan menilai apakah calon mitra bisnis cocok dan bersahabat atau sebaliknya. Ritual kecil seperti itu merupakan bagian dari gaya komunikasi manusiawi khas Jepang.
Kebiasaan orang Jepang untuk menjaga harmoni dalam berbagai aktivitas kehidupan, membuat orang Jepang enggan melukai orang lain atau menolak sesuatu secara langsung. Bila dalam suatu pembicaraan, orang Jepang mengatakan Hai, kita tidak bisa langsung menyimpulkannya sebagai "setuju" (ya). Kata Hai dalam berbagai konteks dapat berarti: "saya mengerti" atau saya memperhatikan anda" atau sekadar "saya mendengarkan". Dalam situasi tertentu kata itu bahkan dapat berarti "tidak," bergantung pada struktur kalimat yang digunakan.
Bila orang asing hendak berkomunikasi dengan orang Jepang, maka janganlah menggunakan dua kata penyangkal (double negative) dalam kalimat-kalimat yang disampaikan, karena itu akan membingungkan lawan bicara anda yang orang Jepang itu.
Gaya bertutur orang Jepang juga perlu dipahami. Sebagaimana diuraikan di muka, kebanyakan orang Jepang tidak terbiasa berbicara dalam gaya yang jelas, langsung dan logis. Dalam berbagai aktivitas komunikasi, orang Jepang cenderung menggunakan pernyataan tak langsung dan ambigu (bermakna ganda). Ini berlaku baik dalam komunikasi sesama orang Jepang atau dengan orang non-Jepang.
Orang Jepang mengganggap berbicara secara langsung atau terus terang akan mengganggu kenyamanan perasaan dalam berkomunikasi dan membuka peluang konfrontasi. Padahal orang Jepang sangat menjaga harmoni dan hubungan baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam berkomunikasi orang Jepang sangat memperhatikan aspek perasaan (emosional), meskipun dalam berpikir mereka dikenal rasional.
Dalam pola komunikasi Jepang juga dikenal apa yang disebut konsep Hamgei (arti harfiahnya komunikasi tenaga dalam), yaitu komunikasi nonverbal yang berkaitan dengan bahasa wajah, gerak isyarat dan postur tubuh, jarak berkomunikasi sampai kepada dimensi waktu. Seorang Jepang (dan non-Jepang yang memahami kepribadian Jepang secara mendalam) bisa menentukan reaksi sesama orang Jepang dalam situasi tertentu hanya dengan memperhatikan ekspresi wajah lawan bicaranya, lamanya waktu berdiam diri, gerak isyarat, dan gerutu tanpa arti yang diungkapkan berulang-ulang.
Dengan demikian, mengharapkan jawaban langsung dari pertanyaan yang dilontarkan orang non-Jepang memang sukar diharapkan dari orang Jepang. Tentang hal ini, secara menarik Eddy Soetriyono (1988) memberikan contoh tentang "kasus Pierre." Pierre adalah Presiden Direktur sebuah perusahaan Barat yang membuka kantor cabang di Jepang. Pada awal tahun 1980-an, krisis minyak melanda dunia. Jepang merasakannya. Kegiatan ekonomi lesu. Sebaliknya, tuntutan buruh untuk mendapatkan kenaikan gaji semakin menggebu. Maka, suatu hari ia ke Tokyo untuk bertemu muka dengan para karyawan. Dalam pertemuan itu, Pierre menerapkan aturan debat gaya Barat, karena hanya itulah yang ia kuasai. la tidak memahami komunikasi nonverbal Haragei.
Setelah Pierre selesai bicara, ia memberikan kesempatan kepada para karyawan untuk bertanya. Tapi tak ada seorang pun yang mengacungkan tangan. Lalu, Pierre pun bertanya, apakah ada yang tidak setuju dengan yang diuraikannya barusan? Semua membisu. Dengan sikap defensive - karena tak seorang pun membuka mulut - Pierre melanjutkan, "Menurut hemat saya, anda semua mengerti dan menyetujui apa yang saya bicarakan barusan." Semua diam. Lalu Pierre melakukan sesuatu yang tabu. "Well, semua yang setuju dengan saya silakan angkat tangan". Tak seorang pun bergeming. "Apakah ini berarti anda semua tidak setuju dengan saya?" Mereka semua tetap membisu seribu basa. Pierre frustrasi. la tak habis pikir mengapa karyawan Jepang berperilaku seperti itu. Ketidakmampuan kebanyakan orang Jepang untuk memberikan jawaban secara langsung seringkali menjadi sumber frustrasi bagi orang asing. Jadi kalau anda ingin berkomunikasi secara efektif dan berhasil, maka yang diperlukan adalah kesabaran, kesungguhan, ketekunan dan kepandaian untuk berpikir serta berkomunikasi dengan gaya tak langsung. Telinga siap mendengar nuansa khas Jepang, dan mata tajam memperhatikan gerak tangan lawan bicara anda yang orang Jepang itu.
Bersambung ke Bagian 2
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi tambahan yang diambil dari internet.
Sumber bacaan : Buku Komunikasi Antar Budaya. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya - Bandung; 2003; Halaman 203-213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar