Pertarungan ke
depan adalah pertarungan dalam mengamankan pasokan pangan suatu negara bagi
penduduknya, pertarungan memperebutkan pasar pangan global.
Oleh : Dwi Andreas
Santosa - Guru Besar Fakultas Pertanian IPB dan Ketua Umum Asosiasi
Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI)
Control oil and
you control nations; control food and you control the people." Kalimat yang diucapkan Henry
Kissinger tersebut sangat relevan saat ini.
Pertarungan ke
depan adalah pertarungan dalam mengamankan pasokan pangan suatu negara bagi
penduduknya, pertarungan memperebutkan pasar pangan global, hingga pertarungan
dalam upaya memperebutkan dan mengakses sumber daya produktif berupa lahan
melalui apa yang dikenal dengan land grabbing.
Geopolitik sektor
pangan berbeda dengan geopolitik di sektor energi. Produsen energi, dalam hal
ini minyak bumi, kurang memiliki peran, sebaliknya justru pengguna energi yang
memegang peran besar dalam percaturan ekonomi dan politik global (The End of
Oil, Roberts 2005).
Pemakaian energi
menentukan hierarki negara-negara di dunia. Semakin besar suatu negara
mengonsumsi energi, semakin tinggi hierarki negara tersebut di dunia. Amerika
Serikat membakar sekitar 19,2 juta barrel minyak per hari, sedangkan Indonesia
hanya sekitar 1,4 juta barrel per hari. Pemakaian minyak bumi di China saat ini
sekitar 10,3 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 448% hanya dalam kurun
waktu dua dekade. India juga muncul
sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru di dunia. Negara tersebut mengonsumsi
minyak bumi sebesar 3,6 juta barrel per hari atau meningkat sebesar 300% dalam
dua dekade terakhir (US Energy Information Administration, 2012, The
Richest, 13/5/2013).
Di sektor pangan
yang terjadi sebaliknya. Dulu diasumsikan negara-negara yang mampu memproduksi
pangan untuk rakyatnya dan bahkan mengekspornya ke negara lain --yang
tahun 1960-an diwakili negara-negara berkembang -- justru dipandang kurang
maju. Berkaitan dengan asumsi ini, negara berkembang mulai mengalihkan
perhatiannya ke industri dan jasa dan melupakan sektor pertanian. Peran ini
kemudian diambil alih negara-negara maju yang saat ini menjadi produsen pangan
global. Korporasi mereka
menguasai semua lini, dari penyediaan sarana produksi, pengembangan benih,
pupuk, dan pestisida, hingga perdagangan pangan internasional.
Bersamaan dengan
itu, pertumbuhan permintaan pangan dan produk pertanian lainnya mulai meningkat
pesat di negara-negara berkembang. Saat ini terjadi peningkatan tajam konsumsi
gandum, beras, produk hewani, buah-buahan, dan sayuran akibat meningkatnya
pendapatan dan urbanisasi yang pesat.
Permintaan untuk
jagung juga meningkat tajam terutama untuk pakan dan bioenergi, yang menjadi
salah satu pemicu krisis pangan di 2008. Negara berkembang akan memainkan peran
besar bukan sebagai negara produsen pangan, melainkan justru menjadi pasar
global pangan. Diproyeksikan sekitar 86% peningkatan konsumsi serealia global
antara tahun 1995 hingga
2025 akan datang dan negara berkembang (International Food Policy Research Institute/IFPRI,
2002). Pertumbuhan permintaan serealia terbesar akan datang dari Asia,
terutama Asia Tenggara, India, dan China. Angka yang hampir mirip terjadi pada
pertumbuhan permintaan daging dan unggas serta produknya.
Tahun 2025 Asia
akan mengalami defisit serealia sebesar 135,4 juta metrik ton, China 39,8 juta
metrik ton, India 17,9 juta metrik ton, dan Asia Tenggara 5,8 juta metrik ton.
Angka defisit tersebut mengalami peningkatan drastis dibandingkan tahun 1995.
Pada tahun tersebut, seluruh wilayah Asia mengimpor serealia sebesar 67,8 juta
metrik ton, bahkan India pada tahun 1995 masih mendulang surplus sebesar 3,5
juta metrik ton (IFPRI, 2002) dan berlanjut hingga sekarang.
Negara berkembang
akan mengalami defisit serealia 239,7 juta metrik ton pada 2025 atau meningkat
lebih dari dua kali lipat dibandingkan 1995, yaitu 108,4 juta metrik ton. Tidak
hanya serealia, Asia dan negara berkembang lain semakin lama akan semakin
bergantung pada impor sumber pangan lainnya, seperti daging, kedelai, tepung, dan
umbi-umbian. Riset lain menghasilkan ramalan yang lebih mencemaskan. Pada 2025,
Asia Selatan akan mengalami defisit pangan 25,1 juta ton serta Asia Timur dan
Tenggara 126,9 juta ton. Seluruh dunia juga mengalami krisis pangan dengan
defisit 68,8 juta ton.
Geopolitik
pangan
Lalu, dari manakah
semua permintaan pangan tersebut terpenuhi? Jika tidak ada perubahan kebijakan
yang signifikan terkait pangan dan pertanian di negara-negara berkembang, maka
negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara, dan Australia akan semakin besar
peranannya dalam geopolitik pangan. Ironis, negara berkembang yang semula
eksportir pangan semakin lama akan semakin tergantung dari negara maju untuk
memenuhi kebutuhan paling dasar dari penduduknya.
Pada tahun 2025,
negara maju akan mengalami surplus produksi serealia 247,5 juta metrik ton,
yang meningkat hampir 2,5 kali dari 30 tahun sebelumnya, yaitu 107,6 juta
metrik ton. Produksi daging, tepung, dan umbi-umbian di negara maju akan
mengalami surplus masing-masing 3,9 juta metrik ton, 3 juta metrik ton, dan
19,8 juta metrik ton. Hanya kedelai yang akan mengalami defisit 7,6 juta metrik
ton. Surplus pangan yang sedemikian besar harus disalurkan ke wilayah lain
dengan mempertahankan sekuat tenaga politik perdagangan bebas ala WTO. Negara-negara
eksportir pangan dunia menggunakan berbagai upaya untuk menekan negara
importir pangan, terutama negara berkembang, agar terus bergantung pada impor
dari negara maju.
Hal tersebut
diperlihatkan dengan gamblang melalui pertarungan terbuka di pertemuan WTO di
Bali (3-6/12/2013) antara Amerika Serikat, yang didukung negara-negara maju dan
eksportir pangan lainnya, melawan India, yang berjuang sendirian. India
menginginkan subsidi pertanian lebih dari 10% dari total output pertanian
dan membayar hasil produksi petani India di atas harga pasar untuk produk yang
dibeli oleh pemerintah untuk cadangan pangan. Amerika Serikat menjadi oponen
vokal terhadap India dan mengecam India karena mengeluarkan usulan yang melawan
spirit perdagangan bebas yang secara umum bertujuan untuk mengurangi -- bukan
meningkatkan-- intervensi negara terhadap pasar. Ironis, negara-negara berkembang
lainnya termasuk Indonesia, yang seharusnya mendukung India, justru pada posisi
sebaliknya.
Amerika Serikat dan
negara maju lainnya menyubsidi petani kaya mereka dengan nilai yang luar
biasa besar, yaitu sekitar 360 miliar dollar AS per tahun (Brown, 2012) setara
Rp 4.140 triliun, yang jauh lebih besar dari total subsidi yang diberikan semua
negara berkembang untuk petaninya. Dengan subsidi yang sedemikian besar,
produksi pertanian mereka meningkat dan terjadi surplus pangan yang kemudian
dilepas ke pasar internasional dengan harga rendah artifisial yang
menghancurkan pertanian negara berkembang. Dominasi tersebut ingin terus
dipertahankan dengan menghambat upaya negara berkembang untuk melindungi
petaninya.
Sikap Indonesia
Meskipun ada
prasangka bahwa kerasnya India bertahan pada posisinya berkaitan dengan program
populis menghadapi pemilu India pada tahun depan, sikap India tersebut sangat
tepat karena menunjukkan dengan tegas pembelaan India terhadap petani kecil
mereka yang menyusun lebih dari setengah lapangan pekerjaan di India. Pembelaan
India terhadap petani kecilnya sudah cukup lama yang mewujud dalam peningkatan
produksi pangan di India.
India saat ini merupakan eksportir neto
pangan. Pada tahun 2011 India mampu mengekspor beras 4,5 juta ton, jagung 2,2
juta ton, dan tepung kedelai 4,2 juta ton.
Sikap India menjadi
pelajaran berharga bagi Indonesia yang menjadi importir belasan produk pangan
dari negara lain. Kita tidak bisa menggantungkan diri pada produksi pangan
dunia di masa depan.
Akibat penguasaan
sektor pertanian dan pangan yang semakin mengerucut ke perusahaan multinasional
dan spekulan pangan, harga pangan mulai merangkak naik. Dalam 10 tahun terakhir
ini harga semua serealia meningkat di atas 100% dan tiga krisis pangan terjadi
hanya dalam kurun waktu 5 tahun.
Jika negara-negara
maju menaati semua klausul di WTO dengan menurunkan subsidi bagi petani mereka,
maka harga pangan di masa depan akan semakin tinggi lagi. Iklim yang semakin
sulit diprediksi dan konversi pangan ke energi akan memperparah kondisi tersebut.
Semoga ini
menyadarkan kita dan terutama pemerintah untuk lebih memerhatikan sektor pangan
dan pertanian dan melindungi petani kecil kita dari politik pangan global yang
tidak adil.
Gambar
: sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
Sumber
bacaan : tulisan dalam Kompas tgl. 30 desember 2013.
Bacaan terkait :
Negara danPengelolaan Pangan (lihat pada
Label/Topik ‘pangan’)
Kelembagaan Pangan (lihat
pada Label/Topik ‘pangan’)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar