Jumat, 29 April 2011

Tanaman Komoditas (1) : Karet dan Kehidupan Para Petaninya


Karet (Hevea brasiliensis) adalah tanaman perkebunan tahunan berupa pohon dengan batang lurus dan hasil yang dimanfaatkan adalah getah sedangkan pemanfaatan kayu hanya sampingan saja untuk kayu bakar.  Bagaimana tingkat kehidupan para petaninya?


Klasifikasi botani
Klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut : Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Kelas Dicotyledonae, Keluarga Euphorbiaceae, Genus Hevea, Spesies Hevea brasiliensis

Tempat tumbuh
Pohon karet pertama kali hanya tumbuh di Brasil, Amerika Selatan, namun setelah percobaan berkali-kali oleh Henry Wickham, pohon ini berhasil dikembangkan di Asia Tenggara, malahan sekarang Asia merupakan sumber karet alami.
Di Indonesia, Malaysia dan Singapura tanaman karet mulai dicoba dibudidayakan pada tahun 1876. Di Indonesia mulai ditanam di Kebun Raya Bogor. Indonesia pernah menguasai produksi karet dunia, namun saat ini posisi Indonesia didesak oleh dua negara tetangga Malaysia dan Thailand.  Tanaman ini merupakan tanaman perkebunan yang tumbuh di berbagai wilayah di Indonesia.

Hasil produksi

Karet merupakan produk dari proses penggumpalan getah tanaman karet (lateks). Pohon karet normal disadap pada tahun ke-5. Produk dari penggumpalan lateks selanjutnya diolah untuk menghasilkan lembaran karet (sheet), bongkahan (kotak), atau karet remah (crumb rubber) yang merupakan bahan baku industri karet. Ekspor karet dari Indonesia dalam berbagai bentuk, yaitu dalam bentuk bahan baku industri (sheet, crumb rubber, SIR) dan produk turunannya seperti ban, komponen, dan sebagainya.
Hasil karet biasa dimanfaatkan atau diolah menjadi beberapa produk antara lain adalah : RSS I, RSS II, RSS III, Crumb Rubber, Lump, dan Lateks.
Hasil utama dari pohon karet adalah lateks yang dapat dijual atau diperdagangkan di masyarakat berupa lateks segar, slab/koagulasi, ataupun sit asap/sit angin.

Selanjutnya produk-produk tersebut akan digunakan sebagai bahan baku pabrik Crumb Rubber/Karet Remah, yang menghasilkan berbagai bahan baku untuk berbagai industri hilir seperti ban, bola, sepatu, karet, sarung tangan, baju renang, karet gelang, mainan dari karet, dan berbagai produk hilir lainnya. 
Catatan (boleh dibaca boleh tidak) : Dan … tentu saja tidak lupa hasil pengolahan produksinya yang berkaitan dengan pertambahan penduduk yaitu … alat kotrasepsi .. untuk yang ini tidak perlu penjelasan lebih lanjut termasuk cara penggunaan dan pemasangannya Tks
Lebih dari setengah karet yang digunakan sekarang ini adalah sintetik, tetapi beberapa juta ton karet alami masih diproduksi setiap tahun, dan masih merupakan bahan penting bagi beberapa industri termasuk otomotif dan militer.

Petani dan harga hasil produksi 

Untuk melihat kehidupan petani karet, berikut ini sebagai contoh adalah tingkat kehidupan kebanyakan (tentunya diluar kehidupan yang memiliki lahan luas) petani karet di Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan, yang mungkin untuk tempat-tempat lainnya di Indonesia (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) keadaannya kurang lebih sama.
Tentu saja antara hasil produksi sangat berkaitan erat dengan harga pasaran yang sekaligus keduanya akan mempengaruhi kehidupan para produsen (yang disoroti adalah produsen paling bawah yaitu petani penyadap pada umumnya), yang keadaannya sebagai berikut :
(a).  Sejak tahun 1900-an, karet adalah merupakan penyokong ekonomi kerakyatan terbesar di Kabupaten Musi Banyuasin, dimana da­ri 160.663 hektar kebun karet di kabupaten antara Sungai Musi dan Banyuasin itu, hanya 9.000 hektar yang dikelola PT Perkebunan Nusantara. 
Sebagian be­sar dikelola oleh masyarakat dan saat ini tercatat 98.000 keluarga menjadi petani karet de­ngan luas lahan antara 1-2 hek­tar, dikelola secara tradisional turun temurun.
Sistim yang digunakan dalam pembagian hasil petani antara lain sebagai ‘petani penyadap’ yaitu pe­tani karet yang menggarap kebun milik orang lain dengan sistem bagi hasil proan, atau setengah bagian dari hasil panen (fifty-fifty).
Keadaan pada tahun 2008-2009 harga karet relative rendah yaitu hanya Rp 3.000 - Rp 4.000 per kg dimana pendapatan petani penggarap kurang dari Rp 1 juta per bulan sehingga untuk biaya hidup saja terkadang tidak cukup.
Sejak Oktober 2010, harga ka­ret memang terus naik Hingga pada awal 2011, harga karet mencapai puncaknya sekitar Rp 30.000-Rp 40.000 per kilogram karet basah di tingkat pabrik. Di tingkat penyadap, harga tertinggi yang pernah mereka nikmati berkisar Rp 17.000-Rp 18.000 per kg akibat sistem tengkulak.
Dengan adanya kenaikan harga karet di beberapa bulan terakhir ini mereka bisa menikmatinya dengan penghasilan bisa lebih dari Rp 2 juta sebulan.
(b).  Pada saat harga melambung ini tentunya terdapat kekhawatiran yang terus mengintai yaitu harga karet bisa jatuh sewaktu-waktu, seperti halnya ketika konflik Timur Tengah berkecamuk dimana harga turun drastic.  Juga harus diwaspadai dengan adanya gempa bumi di Jepang yang merupakan salah satu negara tujuan ekspor karet terbesar.
Karena penghasilan yang kecil selama ini, para petani pe­nyadap tak pernah punya tabungan untuk berjaga-jaga di hari-hari susah. Ironisnya yaitu ketika harga melambung mereka relative konsumtif (membeli TV, belanja, kredit sepeda motor), tetapi ketika harga karet turun, mereka begitu mudah terbelit utang kepada tengkulak untuk makan sehari-hari.
(c).  Dilihat dari sisi kehidupan petani penyadap karet saat ini belum bisa dikatakan sejahtera dimana rumah mereka yang sangat sederhana, sebagian besar dibuat dari kayu hutan yang dipotong seadanya tanpa polesan, rata-rata rumah hanya berukuran 5 x 10 meter, nyaris tanpa perabot, barang mewah hanya seperangkat televisi dan parabola yang memang dibutuhkan un­tuk menangkap siaran, sedangkan kamar mandi masih dianggap sebuah kemewahan.

Permasalahan
(a).  Masih tingginya ketergantungan kepada tauke yang membuat harga ka­ret rendah di tingkat petani.
(b).  Minimnya modal petani, seperti untuk meremajakan karet­ yang seharusnya diremajakan pada umur memasuki 25 tahun yang mengakibatkan hasil karet sa­ngat rendah.
(c).  Kesulitan mendapat pinjaman bank karena tak mempunyai jaminan cukup
(d). Banyak yang mengalami pemiskinan karena menjual lahan yang dimilikinya dan terpaksa menjadi petani penya­dap di kebun seorang tauke.

Program pemerintah
Beberapa program diluncurkan guna mengembangkannya, salah satunya (di Kabupaten Banyuasin) adalah program pengadaan satu juta bibit karet dengan maksud un­tuk membantu para petani me­remajakan kebun.  Disamping itu Pemerintah kabupaten membangun jalan-jalan perkebunan untuk mempermudah distribusi hasil kebun.

Catatan : Untuk membedakan di lapangan (atau dari atas/citra satelit) antara tanaman karet rakyat dan tanaman karet perkebunan (besar) 'biasanya' untuk tanaman karet perkebunan (terutama tajuk daun yang belum menutup permukaan tanah) ditanam dengan teratur sehingga merupakan alur-alur yang tertata rapih dan keadaan tanaman bawah lebih bersih.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber : “Karet, Penyangga Ekonomi Musi Banyuasin oleh Irene S. artikel pada Harian Kompas tgl. 14 April 2011 dan habibiezone.wordpress.com/2009/12/07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar