Mengapa pangan di
negeri ini selalu dirundung masalah? Seperti penyakit laten, pelbagai masalah
pangan timbul-tenggelam.
Oleh : Khudori - Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat (2010-2014)
Saya sepenuhnya
setuju atas lima hal pokok - pola makan yang keliru, beleid
berorientasi pasar, penyerahan semua urusan pangan ke daerah, hanya memikirkan
konsumen, dan alpa memikirkan konsekuensi keberhasilan - yang ditulis Sapuan
Gafar (Kompas, 1/8/2012) yang membuat pangan selalu berselimut kemelut.
Tiga hal yang
dielaborasi Prof Ahmad Erani Yustika (Kompas, 19/7/2012), yaitu
ketergantungan impor, konsentrasi distribusi, dan lemahnya peran stabilisasi
Bulog, membuat potret acak-adul pangan kian komplet. Namun, elaborasi itu belum
cukup untuk membongkar apa sesungguhnya akar masalah pangan kita. Ada satu
sumbu utama yang membuat pangan acak-adul: keterputusan kelembagaan pangan.
Kontradiktif
Kelembagaan adalah
aturan main, baik bersifat struktural maupun kultural. Kelembagaan lebih luas
dari sekadar organisasi. Sebagai aturan dan bak yang tegas memberikan naungan,
sanksi, dan konstrain terhadap individu-individu dan kelompok dalam menentukan
pilihan. Kelembagaan dapat diprediksi, stabil, dan dapat diaplikasikan pada
situasi berulang (Arifin, 2012).
Sebagai kebijakan
publik, kelembagaan, (pangan) bisa disidik dari tiga tingkatan:
politis-strategis (kebijakan), organisasi (institusi dan aturan main), dan
implementasi (untuk evaluasi dan umpan balik). Pada level politis-strategis,
UUD 1945 mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang layak bagi warga,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan, akses pendidikan, dan hak dipeh'hara
bagi fakir miskin dan anak-anak telantar. Pendek kata, konstitusi" mengakui
pangan merupakan kebutuhan dasar yang asasi. Pemenuhannya menjadi kewajiban
(mutlak) negara.
Masalahnya, UUD
1945 tidak selalu jadi acuan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan
yang mencakup kebijakan dan tata kelola organisasi pemerintah di bidang pangan
meletakkan pangan sekadar "soal teknis". Pangan hanya diletakkan pada
satu sudut (sektor) bukan masalah sentral. Seharusnya, sebagai bagian usaha
negara memenuhi hak warga, pangan hams diperlakukan sebagai soal hidup-mati,
seperti disampaikan Bung Karno saat meletakkan batu pertama Fakulteit Pertanian
IPB, 27 April 1952. Sebagai soal hidup-mati, pangan merupakan masalah bangsa,
bukan sektoral.
Pada level
organisasi, Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang diketuai Presiden dan secara
harian diketuai Menteri Pertanian merupakan kelembagaan tertinggi di bidang
pangan. Selain Bulog dan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota), DKP
melibatkan 14 menteri yang terkait langsung soal pangan.
Di Thailand,
lembaga serupa bernama National Food Commision (NFC) membawahkan 11
kementerian. Berkat kinerja NFC, pangan di Thailand maju luar biasa. Indonesia
sebaliknya. Masalah terjadi karena gerak DKP sehari-hari diserahkan kepada
eselon I: Ketua Badan Ketahanan Pangan (BKP) di Kementerian Pertanian. Jangankan
menggerakkan menteri terkait, mengoordinasikan sesama peja-bat eselon I lintas
kementerian saja BKP tak berdaya.
Akhirnya,
teriadilah kontradiksi yang tidak masuk akal: pangan yang amat strategis dan
multi-sektoral hanya diurus pejabat setingkat dirjen. Ketua DKP yang mestinya
dirjen justru mati suri. Jadi, secara organisasi masalahnya bukan pada
kewenangan, melainkan soal kepemimpinan.
Pada level implementasi,
karena tak ada lembaga yang merumuskan kebijakan dan mengoordinasikan kegiatan
pangan, pelbagai kontradiksi, komplikasi kebijakan, dan egosektoral selalu
berulang. Tak ada evaluasi dan umpan balik Masalah-masalah prinsip yang
potensial membuat aneka kebijakan pangan lumpuh tanpa intervensi. Misalnya, di level hulu bagaimana Kementerian
Pertanian seolah berjalan sendiri mencapai target surplus 10 juta ton beras,
swasembada gula jagung, kedelai, dan daging sapi pada 2014. Untuk mencapai itu,
mutlak perlu tambahan lahan dan ketersediaan air. Namun, Kementerian Kehutanan
justru mengobral lahan (hutan) untuk segelintir pengusaha tambang, HPH, HTI,
atau perkebunan. Target pembangunan dan perbaikan infrastruktur (irigasi,
jalan, pelabuhan, dan lain-lain) Kementerian PU juga tak nyambung dengan
target-target swasembada.
Penuh paradoks
Teriadilah paradoks
yang tidak masuk akal. Program peningkatan daya saing, peningkatan produksi dan
kesejahteraan petani selalu didehgungkan, tetapi pada saat yang sama degradasi
sumber daya tanah, air, dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya
implementasi tata ru-ang akibat intervensi pemodal kuat/pejabat dengan argumen
sumber devisa terus berlangsung nir-intervensi.
Daya tampung dan
distribusi daerah aliran sungai juga kian memburuk karena infrastruktur irigasi
tak pernah dibenahi. Waduk-waduk besar di Jawa airnya kritis. Mungkinkah
menanam kalau air tak tersedia cukup? Pupuk, bibit unggul, dan semua input tak
akan optimal tanpa air. Berlanjutnya konversi lahan produktif membuat investasi
irigasi dan jalan jadi muspro ‘sia-sia'.
Di hilir,
kondisinya makin parah. Bukan saja tak terkoordinasi, kepentingan setiap
kementerian justru bertolak belakang. Semua pihak berpikir untuk kepentingan
sektoral. Ketika Kementerian Pertanian mati-matian menggenjot produksi,
Kementerian Perdagangan justru mengobral izin impor. Keputusan mengimpor 1 juta ton
beras pada saat panen masih berlangsung dan pemangkasan subsidi pupuk dari 10
juta ton jadi 8,5 juta ton untuk menambal defisit APBN hanya contoh kecil dari
aneka kontradiksi itu. Nihilnya dukungan bank, pencabutan subsidi, tidak
fokusnya perencanaan SDM pertanian, liberalisasi kebablasan, dan tidak
bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani akhirnya membuat
berbagai upaya menjadi sia-sia.
Yang paling parah,
sejak otonomi daerah, Kementerian Pertanian seperti anak tiri karena tak punya
"tangan dan kaki" di daerah. Apalagi para elite daerah tak menjadikan
pertanian dan pangan sebagai driver pencitraan. Mustahil berharap inovasi pembangunan
pertanian-pangan lahir dari daerah. Padahal, implementasi dan eksekusi program
ada di daerah. Dalam kondisi seperti itu, petani miskin dan gurem berjuang
sendiri. Sampai kapan ini berlangsung? Mungkinkah menumpukan pangan kepada
petani miskin-gurem?
Saat ini,
pemerintah-DPR tengah menuntaskan revisi UU No 7/1996 tentang Pangan. Dalam
Pasal 113 RUU Pangan, diusulkan pembentukan Kementerian Negara Urusan Pangan.
Kementerian bertugas merumuskan dan melakukan koordinasi kebijakan pangan
nasional, menjamin ketersediaan, akses, stabilisasi, dan keamanan pagan
nasional. Akankah masalah pangan usai dengan pembentukan kelembagaan ini? Tentu
tidak, selain kelembagaan, lebih penting lagi adalah keberpihakan, keberpihakan
pada petani dan produksi domestic. Tanpa keberpihakan, kelembagaan hanya macan
ompong.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil
dari internet
Sumber : Kompas tgl.
27 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar