Senin, 01 Desember 2014

Pabrik Gong di Pancasan Bogor



Dikemas oleh : isamas54
Di kota Bogor (Jawa Barat) terdapat sebuah pabrik gong tertua di Jawa Barat  yang tetap eksis dalam menunjang kesenian gamelan tradisional Nusantara.
 
Pabrik gong di kota Bogor (Jawa Barat) tersebut letaknya di Jalan Pancasan No. 17, tidak jauh dari kawasan Empang atau berjarak sekitar 2 kilometer dari Taman Raya Bogor Botanical Garden dan Museum Zoologi Bogor.


Sebelum lanjut …..
Gong (Sunda : goong) adalah merupakan alat music pukul pengiring yang telah dikenal di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Jenis gong antara lain: gong besar, gong sedang/siyem (biasa berpasangan dengan gong besar), gong gantung (berbagai ukuran sedang), dan gong kecil-kecil yang biasanya diletakan  mendatar (kempul, kenong, ketuk dan kempyang)
Nada gong (besar) dalam iringan music atau nada, biasanya dibunyikan sebagai akhir dari satuan kelompok dasar lagu.
Penggunaan gong yaitu selain sebagai pengiring music juga biasa digunakan dalam simbolik peresmian suatu kegiatan, pembangunan, dimulai/akhir suatu acara, atau cenderamata.
Penyetelan nada gong dilakukan setelah dibilas dan dibersihkan (hasil tempaan) dengan cara mengerok untuk mengatur ketebalan tipisnya, gong yang baru baru ditempa belum bisa ditentukan nadanya.






Digemari Turis
Pabrik gong di pancasan Bogor ini merupakan alternatif tujuan baru bagi turis yang berkunjung ke kota Bogor. Setiap harinya pabrik gong ini antara lain selalu didatangi turis asing (berasal dari berbagai Negara seperti Australia, Amerika, Asia Timur, atau Eropa) dengan tujuan beragam.  Jumlahnya mulai dua orang hingga enam orang atau atau sekitar 200 turis asing per bulannya. Hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak, dengan rombongan sekitar enam orangan.
Pemerintah Kota Bogor, sempat merencanakan pabrik gong dijadikan sebagai wahana wisata dengan memungut retribusi bagi turis asing yang berkunjung, namun untuk hal ini pemilik pabrik merasa keberatan.
Para turis asing tersebut sebagian hanya melihat dari dekat cara pembuatan gamelan, sebagian lain membeli sebagai koleksi dan kenang-kenangan untuk dibawa pulang ke negeri asal.

Kelestarian usaha dan budaya
Pembuatan gong untuk gamelan ini tidak cukup berdasarkan keahlian semata tetapi juga membutuhkan kekuatan dedikasi dan cinta pada seni dan budaya bangsa. Jumlahnya saat ini hanya tinggal dua di Pulau Jawa (1 Jawa Barat dan 1 di Jawa Tengah).
Pabrik Gong di Pancasan Bogor yang telah berdiri ini nyatanya masih tetap eksis dan tetap menggema sejak 2,5 abad yang lalu, serta tidak hilang digerus waktu walau menghadapi badai kapitalisme, krisis ekonomi, dan lunturnya nilai nasionalisme.  
Selama masih ada yang menggunakan alat musik tradisional berupa gamelan dan adanya penilaian budaya, tentu masih dibutuhkan keberadaan pengrajin gong.
Regenerasi
Pengeloaan pabrik gong ini, termasuk lokasinya, sudah memasuki keturunan generasi ketujuh, secara turun temurun dari ayah ke anak dan tidak pernah berpindah jalur keturunan.  Pemilik kerajinan Gong Pancasan ini sekarang adalah Sukarna bin Jufri (85), seorang seniman Sunda yang merupakan keturunan keenam, menggantikan usaha ayahnya, dan saat ini sudah sudah lebih 40 tahun mengelola pabriknya.
Atas kesadarannya, saat ini dia telah  mulai menurunkan pekerjaannya kepada anak–anaknya.  Tongkat estafet pabrik belum saatnya diserahkan kepada orang lain, karena anak ketiganya, Krisna Hidayat (31), telah menetapkan hati untuk meneruskannya, dia berjanji akan mengembangkan usaha pembuatan gong warisan leluhurnya.
Para pekerja kebanyakan masih terkait turunan kekerabatan dan memiliki hubungan darah dengan keluarga pemilik pabrik.  Dulu bapaknya sekarang anaknya atau keponakan, bahkan sampai ada cucunya.  Bagi pemula biasa diberi tugas yang ringan sambil belajar, seperti cara memegang palu yang tidak asal pukul.
Sistem kerja di pabrik ini memegang prinsip kekeluargaan, dimulai kerja sekitar jam 7 sampai jam 4 sore.  Mengingat pekerjaan berdekatan dengan api, maka suasana kerja dibikin santai dan adem jangan sampai dibikin panas juga.
Tanpa pesaing
Menurut penuturan Sukarna, tempat pabriknya ini dulu merupakan kawasan yang dikelilingi perkebunan coklat.  Saat itu terdapat dua pabrik gong, namun satu pabrik tutup karena pemiliknya meninggal dan tidak ada yang meneruskannya.  Jadilah pabrik miliknya berjalan sendiri tanpa pesaing. 
Dulu, di Jawa Barat ini ada 6 pabrik gong, tiga di antaranya ada di kawasan Pancasan.   Persaingan cukup ketat waktu itu, bahkan sejumlah karyawan terbaiknya sempat pindah ke pabrik lain.  Namun dengan berpindahnya karyawan-karyawan tidak membuat Sukarna patah arang, apapun yang terjadi, mempertahankan pabrik adalah keharusan.  Termasuk mempertahankan kualitas gong tidak boleh turun meskipun permintaan menurun, maka hasilnya dengan konsistensi mempertahankan mutu membuat pabriknya tidak pernah kehilangan pesanan.
"Setahu saya, sekarang hanya ada dua pabrik gong di pulau Jawa, satu di sini (Jawa Barat) dan satunya lagi di Solo (Jawa Tengah). Itu pun memiliki karakter gong yang sangat berbeda, sehingga memiliki pangsa pasar masing-masing”, jelas Sukarna.
Beradaptasi dengan teknologi
Tidak adanya pesaing saat ini bukan berarti Sukarna bisa dengan mudah menghidupkan pabriknya.  Karena di tengah perkembangan teknologi musik yang kian pesat dan canggih, dia harus memikirkan bagaimana supaya alat musik Gamelan Degung bisa tetap bertahan dan dilirik. Karena ketika gamelan degung tidak lagi dimainkan, otomatis permintaan akan berkurang dan mengancam kelangsungan pabrik.
Beruntung dia bisa membuat dua jenis gamelan degung yaitu diatonis dan pentatonic, sehingga tidak jarang gamelan degung juga dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.
Melalui media internet maka diharapkan pabrik gong miliknya ini bisa lebih dikenal tidak hanya di tingkat lokal tapi juga internasional. "Saat ini memang banyak wisatawan asing yang datang untuk melihat proses pembuatan gong, tapi mereka tidak membeli. Itu yang menjadi target saya berikutnya," jelas Sukarna.
Sedangkan menurut Krisna, anaknya : "Walaupun pesanan tetap ada, sulit bagi pabrik ini untuk bertahan jika hanya menunggu pembeli. Kita harus menjemput bola. Karena itu saya sudah membeli domain di internet untuk membuat situs pabrik gong ini dan sekarang dalam proses penyelesaian,".

Pabrik dan produk
Jalan Pancasan sendiri begitu padat dilalui kendaraan yang datang dan pergi meninggalkan kota Bogor. Dari  luar penampilan pabrik biasa saja, sama seperti rumah pada umumnya, tidak mewah dan tidak luas.  Pelataran parkir pabrik gong ini hanya cukup untuk dua mobil.  Dari luar hanya terdapat papan nama yang tergantung di dindingnya bertuliskan  “Gong Factory” yang jelas berwarna merah di tembok kuning yang sudah hampir pudar, masyarakat Bogor lebih mengenalnya sebagai Gonghom. Pabrik berukuran 17 kali 18 meter ini telah berusia kurang lebih dua abad dan dikelola turun temurun.
Pintu kayu tak bercat pun terbuka, mengizinkan suara dentuman dari dalam bergelora keluar ruang.   Nampak semburan dan bercak lidah api melambung di kegelapan tanpa lampu, suhu ruangan dirasakan terasa cukup panas bagi yang tidak terbiasa.


Dalam ruangan ini terdapat dua pembakaran di dapur pengapian, masing-masing dilengkapi mesin blower untuk membuat api membara. Tempat ini terasa sangat pengab dan panas, tidak ada penerangan cukup sehingga banyak nyamuk, berlantai tanah, dengan sirkulasi udara yang tidak baik.  Sekitar 20 pekerja berkeringat panas untuk membuat gong, tanpa sehelai baju pun dikenakannya karena panasnya ruangan.
Pekerja di dalamnya berkumpul memegang palu besi, bergiliran menempa sebuah lingkaran besar berwarna merah memutih, barulah kemudian dikeluarkan dari liputan api membara. 


Tahapan pembuatan
(a).  Para pekerja melakukan proses pembakaran tembaga dan mencampurkannya dengan timah sebagai bahan dasar gong, dalam bara api yang menyala. 
(b).  Kemudian menuangkan bahan cair tersebut ke dalam cetakan yang terbuat dari tanah liat. 
(c).  Menempanya sehingga membentuk gong yang masih kasar berwarna hitam kelam.  Biasanya, ada sekitar tujuh pekerja untuk menempa perunggu yang akan dibuat gong berukuran 50 sentimeter. Mereka bergantian, empat orang menempa  (memukul dengan palu besar bertalu-talu untuk membentuk sesuatu) perunggu yang berpijar merah membara, satu orang bertugas membolak-balik perunggu di atas tungku api, dua orang menjaga nyala api yang berkobar di atas arang.  Besi lingkaran itu pun kembali dimasukkan ke dalam tungku api bersuhu 400 derajat Celsius.
(d).  Membersihkan dari kerak oksidasi yang menghitam dengan menyerut permukaannya hingga warna keemasan muncul.
 
(e).  Selanjutnya melakukan proses penghalusan dengan menyerut dan mengikir sehingga membentuk gong hamper jadi yang sudah halus dan penyetelan nada yang diinginkan.
(f). Setelah gong jadi maka dibuatkan tempat kedudukannya yang terbuat kayu dan berukir.
Peralatan
Tehnik peralatannya masih sangat sederhana, walau sekarang telah dibantu mesin penghalus. Nyatanya, serutan adalah alat yang sudah berusia lebih dari dua ratus lima puluh tahun dan digunakan di tempat ini.
Cetakan untuk membuat gong disebut kenyi, yang terbuat dari tanah liat.  Bahan cair panas dituangkan dalam kenyi dengan ukuran sesuai yang diinginkan dari jenis-jenis perkusi daalam satu set gamelan, seperti untuk jenis gong, bonang, atau saron.
Cetakan yang telah terbakar dengan suhu tinggi akan menjadi batu hitam yang disebut karawa.  Bahan ini dapat digunakan sebagai cetakan ulang setelah ditumbuk menjadi bubuk tanah dan dibentuk kembali.
Penyetelan nada
Di sini juga terdapat bagian pengecekan yang dikerjakan oleh para seniman, mereka biasa mengecek suara dan nada dari gong-gong yang sudah selesai dibuat. Gong sendiri adalah bernada gamelan atau pentatonic, namun ada juga gong yang dipesan dengan nada diatonis atau biasa dikenal dengan sebutan nada do-re-mi-fa-sol-la-si-do. "Tergantung daerahnya, seperti gambang kromong-nya betawi nadanya do-re-mi tapi banyaknya gamelan itu ya pentatonis.
Bila tidak sesuai, gong akan diperbaiki dengan mengubah ukuran lebar permukaan gong. "Pernah paket gong-nya sudah sampai ternyata nadanya salah. Akhirnya dikirim balik ke sini dan kita perbaiki,"
ujar Karna.
Produk yang dihasilkan
Setiap hari setidaknya pabrik bisa menghasilkan 6 gong kecil buat gamelan. Kalau gong ukuran besar biasa memakan waktu 2 hari. Bahan yang digunakan juga tergantung kelas dan harganya. Perunggu lebih mahal sehingga kelasnya nomor satu, di bawahnya adalah kuningan.  Terkadang pabrik juga menggunakan bahan besi untuk membuat gong, semua tergantung pemesanan.
Sedangkan untuk menyelesaikan satu set gamelan siap pakai lengkap beserta dudukan gong, bonang, dan saron yang berukir maka perlu satu bulan penuh dengan tiap hari kerja.
Bahan baku
Bahan baku yang paling baik untuk membuat gong adalah perunggu yaitu campuran antara timah dan tembaga.  Bahan baku timah berasal dari Bangka Belitung, hal inilah yang membuat harga gong cukup mahal.


Pesanan
Pesanan gong datang dari berbagai kalangan, kebanyakan adalah sanggar seni, sekolahan, atau kalangan pemda. "Biasa kalau ada pilkada bupati atau wali kota tuh ramai pesanan he-he-he," ucap Karna. Tidak terkecuali juga turis asing. "Kalau turis biasanya tahu dari internet. Datang beli satuan buat suvenir saja," sambungnya.
Masih ada masyarakat yang melestarikan budaya musik tradisional, membuat pabrik ini tetap berjalan. Tidak jarang pesanan itu datang dari pulau Jawa seperti Lampung, Aceh, Maluku hingga Sulawesi.
 
Harga
Setiap set gamelan harganya beragam, kisaran Rp 15 juta sampai Rp 75 juta.  Gong terkecil seberat 3 kg 2 Rp 900.000,  ukuran sedang seberat 7 Kg @ Rp 2 juta, berukuran besar seberat 10 kg dijual Rp 3 juta, dan yang sangat besar (20 kg) dijual Rp 6 juta
Untuk satu set Gamelan Degung berbahan dasar perunggu yang terdiri dari Bonang, Saron, Jengglong, satu gong kecil (diameter 50 cm) dan satu  gong besar (ukuran 75-85 cm) membutuhkan waktu pembuatan selama tiga minggu, mematok harga Rp 35 juta hingga Rp 40 juta.
Dengan harga sebesar itu (mungkin sudah berubah), tidak pernah pabrik ini tidak mendapatkan pesanan sama sekali.

Catatan akhir penulis
Pabrik gong yang telah berumur 2,5 abad ini masih tetap berdiri di tengah himpitan modernisasi dengan segudang karya budaya yang indah.
Selama masih ada yang memainkan gong dan gamelan degung, atau perhatian terhadap nilai budaya gong maka suara besi tempa di Pancasan masih akan bertalu.  Dari tempat inilah antara lain gong yang merupakan alat musik gamelan terus lestari di tanah air. 
Pengrajin gong di Pancasan Bogor ini adalah merupakan salah satu asset kekayaan budaya masyarakat Sunda dan Indonesia, yang kiranya perlu perhatian bagi siapa dan instansi manapun untuk turut menjaga dan melestarikannya. 

Keterangan gambar : diambil dari internet
Sumber antara lain : tempo.co; tekno.kompas.com 2011/09/22; indonesia.travel; travel.kompas.com 2010/07/31 & 2014/11/26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar