Dikemas oleh : isamas54
Di kota Bogor (Jawa Barat) terdapat sebuah pabrik gong tertua di Jawa Barat yang tetap eksis dalam menunjang kesenian
gamelan tradisional Nusantara.
Pabrik gong di kota Bogor (Jawa Barat) tersebut letaknya di Jalan
Pancasan No. 17,
tidak jauh dari
kawasan Empang atau berjarak sekitar 2 kilometer dari Taman Raya Bogor
Botanical Garden dan Museum Zoologi Bogor.
Sebelum lanjut …..
Gong
(Sunda : goong) adalah merupakan alat music pukul pengiring yang telah dikenal
di Asia Tenggara dan Asia Timur.
Jenis
gong antara lain: gong besar, gong sedang/siyem (biasa berpasangan dengan gong
besar), gong gantung (berbagai ukuran sedang), dan gong kecil-kecil yang
biasanya diletakan mendatar (kempul,
kenong, ketuk dan kempyang)
Nada
gong (besar) dalam iringan music atau nada, biasanya dibunyikan sebagai akhir
dari satuan kelompok dasar lagu.
Penggunaan gong yaitu selain sebagai pengiring music juga biasa
digunakan dalam simbolik peresmian suatu kegiatan, pembangunan, dimulai/akhir
suatu acara, atau cenderamata.
Penyetelan
nada gong dilakukan setelah dibilas dan dibersihkan (hasil tempaan) dengan cara
mengerok untuk mengatur ketebalan tipisnya, gong yang baru baru ditempa belum
bisa ditentukan nadanya.
Digemari Turis
Pabrik gong di
pancasan Bogor ini merupakan alternatif tujuan baru bagi turis yang berkunjung
ke kota Bogor. Setiap harinya pabrik gong ini antara lain selalu didatangi
turis asing (berasal dari berbagai Negara seperti Australia, Amerika, Asia
Timur, atau Eropa) dengan tujuan beragam.
Jumlahnya mulai dua orang hingga enam orang atau atau sekitar 200 turis
asing per bulannya. Hari Sabtu dan Minggu biasanya lebih banyak, dengan rombongan
sekitar enam orangan.
Pemerintah Kota
Bogor, sempat merencanakan pabrik gong dijadikan sebagai wahana wisata dengan memungut
retribusi bagi turis asing yang berkunjung, namun untuk hal ini pemilik pabrik
merasa keberatan.
Para turis asing
tersebut sebagian hanya melihat dari dekat cara pembuatan gamelan, sebagian
lain membeli sebagai koleksi dan kenang-kenangan untuk dibawa pulang ke negeri
asal.
Kelestarian
usaha dan budaya
Pembuatan gong
untuk gamelan ini tidak cukup berdasarkan keahlian semata tetapi juga
membutuhkan kekuatan dedikasi dan cinta pada seni dan budaya bangsa. Jumlahnya
saat ini hanya tinggal dua di Pulau Jawa (1 Jawa Barat dan 1 di Jawa Tengah).
Pabrik Gong di
Pancasan Bogor yang telah berdiri ini nyatanya masih tetap eksis dan tetap
menggema sejak 2,5 abad yang lalu, serta tidak hilang digerus waktu walau
menghadapi badai kapitalisme, krisis ekonomi, dan lunturnya nilai nasionalisme.
Selama masih ada
yang menggunakan alat musik tradisional berupa gamelan dan adanya penilaian
budaya, tentu masih dibutuhkan keberadaan pengrajin gong.
Regenerasi
Pengeloaan pabrik
gong ini, termasuk lokasinya, sudah memasuki keturunan generasi ketujuh, secara
turun temurun dari ayah ke anak dan tidak pernah berpindah jalur
keturunan. Pemilik kerajinan Gong
Pancasan ini sekarang adalah Sukarna bin Jufri (85), seorang seniman Sunda yang
merupakan keturunan keenam, menggantikan usaha ayahnya, dan saat ini sudah
sudah lebih 40 tahun mengelola pabriknya.
Atas kesadarannya,
saat ini dia telah mulai menurunkan
pekerjaannya kepada anak–anaknya.
Tongkat estafet pabrik belum saatnya diserahkan kepada orang lain, karena
anak ketiganya, Krisna Hidayat (31), telah menetapkan hati untuk meneruskannya,
dia berjanji akan mengembangkan usaha pembuatan gong warisan leluhurnya.
Para pekerja
kebanyakan masih terkait turunan kekerabatan dan memiliki hubungan darah dengan
keluarga pemilik pabrik. Dulu bapaknya
sekarang anaknya atau keponakan, bahkan sampai ada cucunya. Bagi pemula biasa diberi tugas yang ringan
sambil belajar, seperti cara memegang palu yang tidak asal pukul.
Sistem kerja di
pabrik ini memegang prinsip kekeluargaan, dimulai kerja sekitar jam 7 sampai
jam 4 sore. Mengingat pekerjaan
berdekatan dengan api, maka suasana kerja dibikin santai dan adem jangan sampai
dibikin panas juga.
Tanpa pesaing
Menurut penuturan
Sukarna, tempat pabriknya ini dulu merupakan kawasan yang dikelilingi
perkebunan coklat. Saat itu terdapat dua
pabrik gong, namun satu pabrik tutup karena pemiliknya meninggal dan tidak ada
yang meneruskannya. Jadilah pabrik
miliknya berjalan sendiri tanpa pesaing.
Dulu, di Jawa Barat
ini ada 6 pabrik gong, tiga di antaranya ada di kawasan Pancasan. Persaingan cukup ketat waktu itu, bahkan
sejumlah karyawan terbaiknya sempat pindah ke pabrik lain. Namun dengan berpindahnya karyawan-karyawan
tidak membuat Sukarna patah arang, apapun yang terjadi, mempertahankan pabrik
adalah keharusan. Termasuk
mempertahankan kualitas gong tidak boleh turun meskipun permintaan menurun, maka
hasilnya dengan konsistensi mempertahankan mutu membuat pabriknya tidak pernah
kehilangan pesanan.
"Setahu saya,
sekarang hanya ada dua pabrik gong di pulau Jawa, satu di sini (Jawa Barat) dan
satunya lagi di Solo (Jawa Tengah). Itu pun memiliki karakter gong yang sangat
berbeda, sehingga memiliki pangsa pasar masing-masing”, jelas Sukarna.
Beradaptasi dengan teknologi
Tidak adanya
pesaing saat ini bukan berarti Sukarna bisa dengan mudah menghidupkan
pabriknya. Karena di tengah perkembangan
teknologi musik yang kian pesat dan canggih, dia harus memikirkan bagaimana
supaya alat musik Gamelan Degung bisa tetap bertahan dan dilirik. Karena ketika
gamelan degung tidak lagi dimainkan, otomatis permintaan akan berkurang dan
mengancam kelangsungan pabrik.
Beruntung dia bisa
membuat dua jenis gamelan degung yaitu diatonis dan pentatonic, sehingga tidak
jarang gamelan degung juga dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.
Melalui media internet
maka diharapkan pabrik gong miliknya ini bisa lebih dikenal tidak hanya di
tingkat lokal tapi juga internasional. "Saat ini memang banyak wisatawan
asing yang datang untuk melihat proses pembuatan gong, tapi mereka tidak
membeli. Itu yang menjadi target saya berikutnya," jelas Sukarna.
Sedangkan menurut
Krisna, anaknya : "Walaupun pesanan
tetap ada, sulit bagi pabrik ini untuk bertahan jika hanya menunggu pembeli.
Kita harus menjemput bola. Karena itu saya sudah membeli domain di internet
untuk membuat situs pabrik gong ini dan sekarang dalam proses
penyelesaian,".
Pabrik dan produk
Jalan Pancasan
sendiri begitu padat dilalui kendaraan yang datang dan pergi meninggalkan kota
Bogor. Dari luar penampilan pabrik biasa saja, sama seperti
rumah pada umumnya, tidak mewah dan tidak luas.
Pelataran parkir pabrik gong ini hanya cukup untuk dua mobil. Dari luar hanya terdapat papan nama yang
tergantung di dindingnya bertuliskan “Gong Factory” yang jelas berwarna merah di
tembok kuning yang sudah hampir pudar, masyarakat Bogor lebih mengenalnya
sebagai Gonghom. Pabrik berukuran 17 kali 18 meter ini telah
berusia kurang lebih dua abad dan dikelola turun temurun.
Pintu kayu tak
bercat pun terbuka, mengizinkan suara dentuman dari dalam bergelora keluar
ruang. Nampak semburan dan bercak lidah
api melambung di kegelapan tanpa lampu, suhu ruangan dirasakan terasa cukup panas
bagi yang tidak terbiasa.
Dalam ruangan ini
terdapat dua pembakaran di dapur pengapian, masing-masing dilengkapi mesin
blower untuk membuat api membara. Tempat ini terasa sangat pengab dan panas,
tidak ada penerangan cukup sehingga banyak nyamuk, berlantai tanah, dengan
sirkulasi udara yang tidak baik. Sekitar
20 pekerja berkeringat panas untuk membuat gong, tanpa sehelai baju pun
dikenakannya karena panasnya ruangan.
Pekerja di dalamnya
berkumpul memegang palu besi, bergiliran menempa sebuah lingkaran besar
berwarna merah memutih, barulah kemudian dikeluarkan dari liputan api membara.
Tahapan
pembuatan
(a). Para pekerja
melakukan proses pembakaran tembaga dan mencampurkannya
dengan timah sebagai bahan dasar gong, dalam bara api yang menyala.
(b). Kemudian menuangkan
bahan cair tersebut ke dalam cetakan yang terbuat dari tanah liat.
(c). Menempanya sehingga membentuk gong yang masih
kasar berwarna hitam kelam. Biasanya,
ada sekitar tujuh pekerja untuk menempa perunggu yang akan dibuat gong
berukuran 50 sentimeter. Mereka bergantian, empat orang menempa (memukul dengan palu besar bertalu-talu untuk
membentuk sesuatu) perunggu yang berpijar merah membara, satu orang bertugas
membolak-balik perunggu di atas tungku api, dua orang menjaga nyala api yang
berkobar di atas arang. Besi lingkaran
itu pun kembali dimasukkan ke dalam tungku api bersuhu 400 derajat Celsius.
(d). Membersihkan dari kerak oksidasi yang
menghitam dengan menyerut
permukaannya hingga warna keemasan muncul.
(e). Selanjutnya melakukan proses
penghalusan dengan
menyerut dan mengikir sehingga membentuk gong hamper jadi
yang sudah halus dan penyetelan nada yang diinginkan.
(f). Setelah gong jadi maka dibuatkan tempat kedudukannya yang
terbuat kayu dan berukir.
Peralatan
Tehnik peralatannya
masih sangat sederhana, walau sekarang telah dibantu mesin penghalus. Nyatanya,
serutan adalah alat yang sudah berusia lebih dari dua ratus lima puluh tahun
dan digunakan di tempat ini.
Cetakan untuk membuat
gong disebut kenyi, yang terbuat dari tanah liat. Bahan cair panas dituangkan dalam kenyi
dengan ukuran sesuai yang diinginkan dari jenis-jenis perkusi daalam satu set
gamelan, seperti untuk jenis gong, bonang, atau saron.
Cetakan yang telah terbakar
dengan suhu tinggi akan menjadi batu hitam yang disebut karawa. Bahan ini dapat digunakan sebagai cetakan
ulang setelah ditumbuk menjadi bubuk tanah dan dibentuk kembali.
Penyetelan
nada
Di sini juga
terdapat bagian pengecekan yang dikerjakan oleh para seniman, mereka biasa
mengecek suara dan nada dari gong-gong yang sudah selesai dibuat. Gong sendiri
adalah bernada gamelan atau pentatonic, namun ada juga gong yang dipesan dengan
nada diatonis atau biasa dikenal dengan sebutan nada do-re-mi-fa-sol-la-si-do. "Tergantung daerahnya, seperti gambang
kromong-nya betawi nadanya do-re-mi tapi banyaknya gamelan itu ya pentatonis.
Bila tidak sesuai, gong akan diperbaiki dengan mengubah ukuran lebar permukaan gong. "Pernah paket gong-nya sudah sampai ternyata nadanya salah. Akhirnya dikirim balik ke sini dan kita perbaiki," ujar Karna.
Bila tidak sesuai, gong akan diperbaiki dengan mengubah ukuran lebar permukaan gong. "Pernah paket gong-nya sudah sampai ternyata nadanya salah. Akhirnya dikirim balik ke sini dan kita perbaiki," ujar Karna.
Produk
yang dihasilkan
Setiap hari
setidaknya pabrik bisa menghasilkan 6 gong kecil buat gamelan. Kalau gong
ukuran besar biasa memakan waktu 2 hari. Bahan yang digunakan juga tergantung
kelas dan harganya. Perunggu lebih mahal sehingga kelasnya nomor satu, di
bawahnya adalah kuningan. Terkadang pabrik juga menggunakan bahan besi
untuk membuat gong, semua tergantung pemesanan.
Sedangkan untuk
menyelesaikan satu set gamelan siap pakai lengkap beserta dudukan gong, bonang,
dan saron yang berukir maka perlu satu bulan penuh dengan tiap hari kerja.
Bahan baku
Bahan baku yang
paling baik untuk membuat gong adalah perunggu yaitu campuran antara timah dan tembaga. Bahan baku timah berasal dari Bangka Belitung,
hal inilah yang membuat harga gong cukup mahal.
Pesanan
Pesanan gong datang
dari berbagai kalangan, kebanyakan adalah sanggar seni, sekolahan, atau
kalangan pemda. "Biasa kalau ada pilkada bupati atau wali kota tuh ramai
pesanan he-he-he," ucap Karna. Tidak terkecuali juga turis asing.
"Kalau turis biasanya tahu dari internet. Datang beli satuan buat suvenir
saja," sambungnya.
Masih ada
masyarakat yang melestarikan budaya musik tradisional, membuat pabrik ini tetap
berjalan. Tidak jarang pesanan itu datang dari pulau Jawa seperti Lampung,
Aceh, Maluku hingga Sulawesi.
Harga
Setiap set gamelan
harganya beragam, kisaran Rp 15 juta sampai Rp 75 juta. Gong terkecil seberat 3 kg 2 Rp 900.000, ukuran sedang seberat 7 Kg @ Rp 2 juta,
berukuran besar seberat 10 kg dijual Rp 3 juta, dan yang sangat besar (20 kg)
dijual Rp 6 juta
Untuk satu set
Gamelan Degung berbahan dasar perunggu yang terdiri dari Bonang, Saron,
Jengglong, satu gong kecil (diameter 50 cm) dan satu gong besar (ukuran
75-85 cm) membutuhkan waktu pembuatan selama tiga minggu, mematok harga Rp 35
juta hingga Rp 40 juta.
Dengan harga
sebesar itu (mungkin sudah berubah), tidak pernah pabrik ini tidak mendapatkan
pesanan sama sekali.
Catatan akhir penulis
Pabrik gong yang
telah berumur 2,5 abad ini masih tetap berdiri di tengah himpitan modernisasi dengan
segudang karya budaya yang indah.
Selama masih ada
yang memainkan gong dan gamelan degung, atau perhatian terhadap nilai budaya
gong maka suara besi tempa di Pancasan masih akan bertalu. Dari tempat inilah antara lain gong yang
merupakan alat musik gamelan terus lestari di tanah air.
Pengrajin gong di
Pancasan Bogor ini adalah merupakan salah satu asset kekayaan budaya masyarakat
Sunda dan Indonesia, yang kiranya perlu perhatian bagi siapa dan instansi manapun untuk turut menjaga dan
melestarikannya.
Keterangan
gambar : diambil dari internet
Sumber antara lain : tempo.co; tekno.kompas.com 2011/09/22; indonesia.travel; travel.kompas.com 2010/07/31 & 2014/11/26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar