Banjir tahun 2007 melanda Tangerang, Bekasi, dan Karawang, sehingga diperkiranan 60% s/d 70% wilayah DKI yang luasnya 661 km2 terendam banjir? Betulkah banjir-banjir di Jakarta kiriman dari Bogor?.
Wilayah Jakarta dengan sungai-sungainya
Kota Jakarta (dulu Batavia) yang sebelumnya lagi disebut Jayakarta, merupakan wilayah yang terletak di bibir teluk dengan kawasan berawa yang rendah dengan Muara Kali Ciliwung menjadi pusat Batavia empat abad silam. Dari abad ke abad Batavia pun tumbuh menjadi Jakarta yang berada di dataran rendah dengan sejumlah sungai-sungainya.
Dari daerah Puncak mengalir Sungai Ciliwung sepanjang sekitar 60 kilometer. Di sebelah timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran Sunter, dan Cipinang, yang panjang badannya tidak lebih dari 30 kilometer. Di pusat dan barat ada Sungai Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, juga Angke, yang berhulu di selatan Jakarta, 20-30 kilometer dari pantai.
Dari daerah Puncak mengalir Sungai Ciliwung sepanjang sekitar 60 kilometer. Di sebelah timur ada Sungai Cakung, Jati Kramat, Buaran Sunter, dan Cipinang, yang panjang badannya tidak lebih dari 30 kilometer. Di pusat dan barat ada Sungai Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, juga Angke, yang berhulu di selatan Jakarta, 20-30 kilometer dari pantai.
Meski pendek, pada musim banjir, sungai-sungai itu bisa menggila. Jika mengamuk, debit Kali Angke, misalnya, bisa mencapai 160 meter kubik per detik. Ciliwung bisa mengalirkan 250 meter kubik per detik. Sedangkan Kali Sunter 120 meter kubik per detik. Curah hujan yang tinggi adalah satu-satunya penyebab amukan sungai itu.
Sejarah banjir
Sejarah banjir
Beberapa kali banjir besar melanda kota Jakarta dan merenggut korban jiwa serta harta penduduk, antara lain tahun 1621, 1654, dan 1918 (semasa pemerintahan kolonial Belanda), tahun 1976, 1996, 2002 (era pasca-kemerdekaan), dan terakhir tahun 2007 yang mengakibatkan korban jiwa 29 orang.
Banjir tahun 2007 telah melampaui bencana banjir Jakarta tahun 2002 yang diperkirakan ''hanya'' 24%. Banjir tersebut merupakan aliran air kiriman yang mengalir deras melalui Kali Ciliwung, Cisadane, Sunter, Cipinang, dan Kali Bekasi. Ditambah di kota Jakarta hujan tak kalah hebat.
Kalau dulu, dari setiap 100 mm air hujan yang jatuh di Jakarta, sekitar 40 mm terserap ke dalam tanah, sedangkan saat ini air limpasan yang hanya 60 mm yang terserap paling banyak hanya 15 mm alias 15%, sehingga air limpasan pun makin menggila.
Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Hal itu terjadi karena daerah terbuka di Jakarta merosot dari tahun ke tahun. RTH yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air, dengan cepat terdesak oleh arus pembangunan fisik.
Data Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan, tahun 1985 Jakarta masih memiliki RTH seluas 29%. Angka itu turun menjadi 25% pada 1995. Bahkan, mulai tahun 2000, angka RTH ini terjun bebas hingga tersisa 9,4% saja. Jauh dari kondisi ideal minimum yang 27,5%.
Kondisi di hulu sama runyamnya. Pada 1992, kawasan yang terbangun (untuk permukiman, wisata, infrastruktur jalan, dan keperluan lain) masih sekitar 101.000 hektare. Tahun 2006, wilayah ini mekar menjadi 225.000 hektare. Pada saat yang sama, kawasan bervegetasi merosot dari 665.000 hektare ke angka 541.000 hektare. Jelas, dari segi tata air, kapasitas daerah ini sudah tak memadai.
Musim Banjir
Kota Jakarta kedatangan banjir ini memiliki pola waktu yang sama, yakni jatuh di awal tahun utamanya Januari hingga awal Februari dimana pada kedua bulan pembuka ini, curah hujan mencapai angka tertinggi.
Selain itu dari riwayat banjir terlihat jelas bahwa dari zaman ke zaman frekuensi kedatangannya semakin kerap, dimana pada zaman kolonial Belanda frekuensinya pada kisaran 20 tahun, berikutnya menjadi per 10 tahun, dan kini lima tahunan. Perilaku ini tak lepas dari perubahan iklim global dan tata lingkungan Jakarta serta daerah-daerah penyangga di sebelah selatan.
Upaya penanggulangan
Upaya penanggulangan
Upaya penanggulangan sudah berlangsung sejak zaman dulu, paling tidak tahun 1854 telah berdiri badan khusus yang bertugas mengurusi banjir, yakni Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW yang cikal bakal Departemen PU.
Instansi tersebut tidak bisa diharapkan ketika menghadapi perilaku sungai-sungai tropis yang variasi debitnya begitu tinggi, misalnya Ciliwung, di musim kemarau hanya 1-2 meter kubik per detik, tetapi ketika terjadi banjir debit air langsung tak terkendali, puncaknya terjadi pada 1873, ketika hampir seluruh kota Batavia terendam hingga satu meter, sehinggga untuk hal ini warga memelesetkan BOW menjadi Batavia Onder Water.
Baru pada 1920 muncul konsep penanggulangan banjir yang komplet dari tim yang dipimpin Prof. H. van Breen. Konsep ini lahir setelah Jakarta dilanda banjir hebat pada 1918. Saat itu, Van Breen memperkenalkan konsep pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Selain itu, Breen juga menyarankan penimbunan daerah-daerah rendah.
Baru pada 1920 muncul konsep penanggulangan banjir yang komplet dari tim yang dipimpin Prof. H. van Breen. Konsep ini lahir setelah Jakarta dilanda banjir hebat pada 1918. Saat itu, Van Breen memperkenalkan konsep pengendalian aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta. Selain itu, Breen juga menyarankan penimbunan daerah-daerah rendah.
Saluran
Van Breen menyarankan ada saluran kolektor di pinggiran selatan kota untuk menampung limpahan air, dan selanjutnya dialirkan ke laut menyusuri tepian barat kota. Ini ditujukan untuk membelokkan aliran air, sehingga tidak langsung menerjang pusat kota. Saluran kolektor yang mulai dibangun pada 1922 ini di kemudian hari dikenal sebagai Banjir Kanal Barat (BKB).
Sungai buatan itu dibangun mulai dari titik aliran Sungai Ciliwung di Manggarai, kemudian membelok ke barat memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran ke dalam kota, BKB dilengkapi beberapa pintu air. Ada Pintu Air Manggarai untuk mengatur debit Sungai Ciliwung menuju kota dan Pintu Air Karet untuk mengatur aliran Kali Krukut dan Kali Cideng yang menuju Kali Angke.
Proyek penanggulangan banjir Breen itu cukup tangguh, setidaknya untuk kurun 40 tahun, dimana selama waktu itu, bisa dibilang Jakarta bebas dari banjir dahsyat.
Sungai buatan itu dibangun mulai dari titik aliran Sungai Ciliwung di Manggarai, kemudian membelok ke barat memotong Sungai Cideng, Sungai Krukut, Sungai Grogol, terus ke Muara Angke. Untuk mengatur debit aliran ke dalam kota, BKB dilengkapi beberapa pintu air. Ada Pintu Air Manggarai untuk mengatur debit Sungai Ciliwung menuju kota dan Pintu Air Karet untuk mengatur aliran Kali Krukut dan Kali Cideng yang menuju Kali Angke.
Proyek penanggulangan banjir Breen itu cukup tangguh, setidaknya untuk kurun 40 tahun, dimana selama waktu itu, bisa dibilang Jakarta bebas dari banjir dahsyat.
Setelah era kemerdekaan
Setelah era kemerdekaan, beban Jakarta makin berat dimana permukiman menjamur, terutama di kawasan timur dan selatan yang berada di luar jangkauan BKB. Sejak itulah, Jakarta kembali selalu terancam banjir.
Pemerintah RI pun lantas membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta atau disingkat Kopro Banjir pada Februari 1965. Karena keterbatasan dana, Kopro Banjir hanya bisa sedikit mengembangkan konsep Breen. Mereka lebih memfokuskan pada pembangunan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompanisasi.
Hasil kerja mereka antara lain Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, dan Waduk Grogol. Ada juga Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat dan Timur. Kopro juga mengerjakan pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan gorong-gorong Jalan Sudirman.
Upaya lebih serius berlangsung ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, lahir Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan pada 1973 --karena itu, lebih dikenal sebagai Master Plan 1973. Konsep Breen masih menjadi acuan. Dalam Master Plan 1973 ini tertuang langkah menambah saluran BKB ke arah barat, yang kini dikenal sebagai Cengkareng Drain.
Satu lagi yang paling penting dari Master Plan 1973 adalah rencana pembuatan saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.
Tapi, lagi-lagi, ketidakadaan dana membuat proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa rampung tahun 2010, yang akan membentang sepanjang 23,5 kilometer dengan rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter dan kedalaman tiga meter.
Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta, serta di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Pemerintah menetapkan berdasarkan nilai jual objek pajak, rata-rata Rp 500.000 per meter persegi, namun bagi warga harga itu terlalu rendah. Proses pembebasan pun terganjal dan hingga kini proyek BKT baru merangkak sepanjang 7,7 kilometer.
Lahan tangkapan air itu terus menyusut, tersudut oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok. Alternative lain pernah diusulkan konsultan dari Prancis dan Jepang yang menyarankan, untuk meredam banjir perlu dibangun sejumlah reservoar yang bisa menampung sementara aliran air, selain itu, direkomendasikan untuk merevitalisasi situ-situ yang sudah ada.
Pemerintah RI pun lantas membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta atau disingkat Kopro Banjir pada Februari 1965. Karena keterbatasan dana, Kopro Banjir hanya bisa sedikit mengembangkan konsep Breen. Mereka lebih memfokuskan pada pembangunan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompanisasi.
Hasil kerja mereka antara lain Waduk Setia Budi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, dan Waduk Grogol. Ada juga Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setia Budi Barat dan Timur. Kopro juga mengerjakan pembuatan sodetan Kali Grogol, Kali Pesanggrahan, dan gorong-gorong Jalan Sudirman.
Upaya lebih serius berlangsung ketika Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ketika itu, lahir Master Plan Pengendalian Banjir yang disahkan pada 1973 --karena itu, lebih dikenal sebagai Master Plan 1973. Konsep Breen masih menjadi acuan. Dalam Master Plan 1973 ini tertuang langkah menambah saluran BKB ke arah barat, yang kini dikenal sebagai Cengkareng Drain.
Satu lagi yang paling penting dari Master Plan 1973 adalah rencana pembuatan saluran kolektor di sebelah timur atau Banjir Kanal Timur (BKT). Saluran BKT rencananya dibangun memotong Sungai Cipinang, Sunter, Buaran, dan Cakung. Seluruh aliran empat sungai itu akan ditampung di BKT, untuk kemudian dibuang ke ke laut melalui daerah Marunda.
Tapi, lagi-lagi, ketidakadaan dana membuat proyek BKT tak kunjung terwujud. Baru pada 10 Juli 2003, setahun setelah banjir hebat 2002, proyek BKT dicanangkan dan ditargetkan bisa rampung tahun 2010, yang akan membentang sepanjang 23,5 kilometer dengan rata-rata lebar sungai sekitar 100 meter dan kedalaman tiga meter.
Dalam tahap pelaksanaannya, lagi-lagi proyek strategis ini terbentur kendala. Terutama oleh perkara pembebasan tanah, yang sebagian besar dimiliki warga dan pihak swasta, serta di beberapa tempat sering terjadi tumpang tindih penguasaan lahan. Pemerintah menetapkan berdasarkan nilai jual objek pajak, rata-rata Rp 500.000 per meter persegi, namun bagi warga harga itu terlalu rendah. Proses pembebasan pun terganjal dan hingga kini proyek BKT baru merangkak sepanjang 7,7 kilometer.
Lahan tangkapan air itu terus menyusut, tersudut oleh pembangunan, baik di Puncak, Bogor, maupun Depok. Alternative lain pernah diusulkan konsultan dari Prancis dan Jepang yang menyarankan, untuk meredam banjir perlu dibangun sejumlah reservoar yang bisa menampung sementara aliran air, selain itu, direkomendasikan untuk merevitalisasi situ-situ yang sudah ada.
Musim Penghujan 2011
Menurut Deputi Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam di Jakarta, (22/9/2011), bahwa musim penghujan tahun 2011 diperkirakan akan telat atau mundur sekitar bulan November, namun perlu diwaspadai musim hujan ini akan berlangsung cukup lama.
Bila dilihat dari pemantauan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), Indonesia akan memasuki musim basah karena musim hujan akan lama sampai 2012, ini akan berpengaruh pada musim tanam, banjir, infrastruktur, lalu lintas perairan, dan lainnya.
Bila dilihat dari pemantauan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), Indonesia akan memasuki musim basah karena musim hujan akan lama sampai 2012, ini akan berpengaruh pada musim tanam, banjir, infrastruktur, lalu lintas perairan, dan lainnya.
Catatan :
Polusi atau pencemaran sungai di Jakarta bagi kita sepertinya sudah tidak asing lagi ketika melintas (jalan kaki atau naik mobil) di tepi sungai terlihat airnya kotor, menghitam, banyak sampah, dan berbau.
Bagi orang Bogor terkadang sudah bisa meramalkan akan terjadinya banjir di Jakarta ketika terlihat Sungai Ciliwung yang terletak ditengah kota airnya coklar keruh dengan aliran yang tinggi dan deras (istilah Bogor-na ‘caina umpal-umpalan’), lebih lengkap lagi ditambah banjir Cisadane yang berada di wilayah Bogor bagian selatan yang bermuara di daerah Tanggerang.
Banjir Jakarta bukan merupakan penyebab satu-satunya kiriman air banjir dari Bogor.
Banjir Jakarta bukan merupakan penyebab satu-satunya kiriman air banjir dari Bogor.
Harus diwaspadai sebelumnya yaitu ketika musim hujan tiba dimana perkiraan banjir sudah diketahui sehingga telah dipersiapkan upaya penanggulangan dan berbagai kemungkinannya.
Progran kali bersih tetap sangat diperlukan.
Progran kali bersih tetap sangat diperlukan.
TAMAT.
Keterangan Gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber editing bacaan a.l : kaliciliwung.blogspot.com 31/10/2007 dari Majalah Gatra - 08-14 Februari 2007; bataviase.co.id 23/9/2011
Bacaan sebelumnya: Bagian 2 >> Bacaan selanjutnya Selesai
Sungai besar yang melintasi banyak pemukiman dan wilayah ini sering menjadi momok sangat disayangkan..
BalasHapus