Jumat, 07 Oktober 2011

Ciliwung (Bagian 2) : Pencemaran Sungai

Dikemas oleh : isamas54
Selain Kali Ciliwung dan beberapa cabangnya. Jakarta dipotong-potong oleh lebih dari 15 saluran, yang baru dibuat dan juga warisan zaman Belanda. Semakin ke utara kualitas semua saluran air, yang menjadi buangan limbah rumah tangga sebagian penduduk Jakarta, semakin menurun/hilir untuk hidup biota saja susah.

Pencemaran
Kali Besar yang merupakan  sambungan Kali Krukut  warna airnya hitam pekat dan apabila diperhatikan baik-baik, dari dasar kali banyak dilepaskan gelembung udara ke permukaan, berbau busuk menusuk akibat keluarnya gas hasil produksi bakteri anaerob itu. Dari segi ilmiah kali itu memang dikategorikan kali mati, tidak ada lagi mahluk yang bisa hidup di situ karena tidak ada oksigen sama sekali. 

Kali yang dikategorikan tidak digunakan untuk keperluan bahan baku air minum, perikanan atau peternakan. Tetapi, air itu (seharusnya) bisa dimanfaatkan untuk keperluan pertanian, usaha perkotaan, industri, dan pembangkit tenaga listrik.  Selain itu air kali tetap harus memenuhi syarat yang memungkinkan biota air hidup.
Berdasarkan survey Kompas, 1 dari 2 warga bantaran Ciliwung bagian tengah dan hilir membuang sampah sisa-sisa aktivitas seperti plastic, kaleng ke sungai , sedangkan di daerah hulu mayoritas (75%) menimbun, membakar, dan mengumpulkan sampah untuk diangkut petugas, hal ini dikarenakan masih banyaknya lahan terbuka.
Hasil penelitian Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2007, di hulu dan hilir sumber pencemaran dari penilaian BOD (Biological Oxygen Demand) –ukuran kebutuhan Oksigen (O2) oleh bakteri dan mikroba untuk menguraikan bahan organik - adalah 39% dan 85% , dimana BOD makin kecil kandungan Oksigen di sungai maka kondisi sungai semakin tercemar.  Sedangkan di daerah tengah yaitu di daerah Bogor-Depok banyak tercemar oleh limbah industry dengan COD (Chemical Oxygen Demand) –ukuran kebutuhan Oksigen (O2) oleh bakteri dan mikroba untuk menguraikan bahan kimia - adalah sangat tinggi 85% dan 95%.
Panjang sungai Ciliwung adalah 130 km memiliki 62 anak-anak sungai
Kali Ciliwung yang debitnya hanya 13,14 - 21,80 m3/detik di musim kemarau dan 28.16 m3/detik di musim hujan, banyak menampung limbah padat dari penduduk DKI dan lim­bah cair hasil metabolisme (tinja, air kencing), air mandi, air mencuci, dan air memasak. Selain limbah rumah tangga, ke dalam Ciliwung juga dibuang limbah industri besar dan kecil.

Biota Sungai
Jika bahan organiknya masih sedikit, jasad renik mampu mengubahnya menjadi gas dan garam-garam dengan memanfaatkan oksigen yang tersedia di Ciliwung. Tetapi jika bahan organik yang harus diubahnya terlalu banyak, tumbuhan air yang akan lebih cepat tumbuh karena bahan organik adalah nutriennya, misalnya detergen banyak mengandung fosfat.  Adapun tumbuhan air bisa dijadikan petunjuk pencemaran bahan organik tinggi adalah banyaknya eceng gondok dan ganggang.
Tahap selanjutnya, tumbuhan air yang semakin banyak walaupun bisa mengambil ba­han organik akan mengakibatkan air kali dangkal dan kekurangan oksigen, jika oksigen berkurang lama kelamaan bakteri aerob (bakteri yang memakan bahan organik pada keadaan ada oksigen) banyak yang mati karena oksigen yang terbatas. Keadaan itu tumbuhan air yang semakin banyak, oksigen yang semakin menipis dan bakeri aerob berkurang terus berlanjut.  Pada satu titik tidak ada lagi oksigen dan bakteri aerob yang mampu mengurangi pencemaran bahan organik maka bakteri anaerob yang menggantikannya.  Jika oksigen tidak ada, ti­dak ada pula makhluk hidup selain bakteri anaerob (bakteri yang hidup dan bahan organik dalam keadaan tidak ada oksigen),  ini artinya kali itu sudah menjadi kali mati.  Air kali berwarna hitam pekat dan baunya menusuk hidung.


Bakteri anaerob memang bisa menguraikan bahan organik ju­ga, tetapi hasil sampingannya adalah gas-gas beracun. Bahan organik yang mengandung karbon akan diubah oleh bakteri anaerob menjadi gas metana (CH4) yang beracun. Hidrogen dalam bahan organik juga akan diubahnya menjadi metana dan air. Sulfur akan diubahnya menjadi hidrogen sulfida (H2S) yang baunya menusuk hidung, seperti bau busuk. Nitrogen akan diubahnya menjadi amonia (NH3) yang baunya lebih tidak tertahankan lagi. Untuk manusia pun, kali yang kondisinya sudah seperti ini tidak bisa dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Bahkan bila air sungai ini merembes ke sumur-sumur penduduk di sepanjang kali, sumur yang tercemar ini pun tidak bisa diman­faatkan lagi.

Menyusuri Kali Ciliwung
Berdasarkan hasil Penyelusuran kali Ciliwung yang telah dilakukan oleh 53 orang pelajar dan mahasiswa yang menaiki perahu (Kompas, 18 Juli 1993), yaitu :
Arus Ciliwung masih kuat di belahan Condet, dengan kondisi air masih segar, alam yang masih indah, di kiri-kanan tepian masih banyak pohon. Pohon bambu, pohon pisang dan berbagai jenis pohon lainnya, termasuk pohon salak. Pohon-pohon hijau itu yang menciptakan kesegaran. Di air yang coklat itu juga tidak ditemukan sampah yang menumpuk. Te­pian Ciliwung yang hijau masih dominan sebelum melin­tas kawasan Kali Bata. Di sela kerimbunan pohon dalam jarak beberapa puluh meter bisa dijumpai ibu-ibu sedang mencuci pakaian dengan air Ciliwung yang coklat itu.
Semakin menuju ke pusat kota, setelah melintasi jembatan Kali Bata, dimana kepadatan penduduk semakin terasa, tumbuhan semakin sedikit, tepian kali kalau tidak ada rumah yang berdempet-dempetan, paling-paling hanya ditumbuhi rumput. Badan kali semakin menyempit bukan saja karena adanya endapan, tetapi juga termakan oleh bangunan beton yang kuat sampai rumah bambu kumuh.  Kepadatan rumah sepanjang kali semakin nyata ketika pe­rahu mulai memasuki kawasan Kelurahan Bidara Cina, kawas­an Kampung Melayu, Kelurah­an Kebon Manggis, Kelurahan Pegangsaan, sampai pintu air Manggarai.
Sejalan dengan se­makin penuhnya perumahan kumuh, sampah-sampah sema­kin banyak jumlahnya. Bukan saja yang dibuang di tepian kali, tetapi juga yang sudah mengambang di kali seakan ikut berpacu dengan perahu karet Tumpukan sampah di sepanjang tepian kali bisa dijumpai hampir setiap seratus meter. Masyarakat sepanjang kali tampak sekali sangat tergantung pada air Kali Ciliwung walaupun sudah semakin tercemar. Rumah-rumah kumuh itu selain memiliki pintu ke jalan raya juga ada pintu ke kali. Di tepian Kali mereka membuat getek-getek untuk tempat mencuci. Di ujung hilir dibuat kotak untuk membuang hajat. 


Rupanya semua kebiasaan penduduk sekitar kali itu tidak berubah sejak zaman Belanda. Hanya kondisi kalinya yang berbeda. Sampai abad ke-19 seperti ditulis dalam buku Batavia, air Kali diminum orang Belanda. Air Ciliwung ditampung dulu dalam semacam waduk yang ada pancurannya. Air itu kemudian diangkut dengan perahu, melalui Ciliwung, untuk dijajakan di Kota. Air Ciliwung juga dimanfaatkan untuk mencuci pakaian. Karena Ciliwung juga menjadi penampungan limbah penduduk Batavia, dasa warsa pertama abad ke-19 pernah berjangkit disentri, tipus dan kolera.  Suasana Ciliwung berubah setelah melewati pintu air Manggarai. Bantaran kiri-ka­nan Ciliwung sudah permanen dibeton. Air Ciliwung yang me­nuju ke Matraman lebih surut dibandingkan cabang Ciliwung ke arah Kali Malang. Di bebera­pa tempat endapan tanah hitam muncul ke permukaan dan ditumbuhi rumput.
Di kawasan Kelurahan Pe­gangsaan, Kelurahan Kenari, Kelurahan Kwitang. Kelurahan Senen, tidak lagi dijumpai masyarakat perumahan kumuh yang memanfaatkan langsung Ciliwung. Tidak ada lagi rumah penduduk yang menjorok ke kali, kecuali di sekitar jalan Pejambon dan Perwira Di daerah itu masih ada rumah liar menempel di sisi gedung tinggi. Rumah dan badan kali dipisahkan oleh jalan raya. Di beberapa tempat tersedia MCK yang permanen, walaupun buangannya masih saja masuk.  Sikap masyarakatnya juga berbeda dibandingkan pendu­duk di bagian hulu. Kalau di bagian hulu anak-anak spontan benkomentar, di bagian hilir masyarakat hanya menonton saja atau acuh tak acuh sama sekali. 

Itu adalah penelusuran hampir dua puluh tahun yang lalu, tidak tahu kalau keadaan sekarang yaitu dengan perkembangan jumlah penduduk, perumahan dan bangunan lain, yang tentunya akan lebih mengubah wajah Kali Ciliwung.
Lebih dari 80% limbah yang mengotori kali di Jakarta berasal dari limbah rumah tang­ga, hanya 20% yang berasal dari industri.  Jika menginginkan Ciliwung dan kali lainnya hidup kembali semua limbah rumah tangga sebelum dibuang di kali seperti juga limbah industri, harus diolah dulu sam­pai memenuhi syarat lingkungan. 


Tetapi mengurangi beban pencemaran limbah rumah tangga tidak semudah yang dibayangkan, karena permasalahannya menjadi rumit jika sudah menyangkut manusia.
Bersambung ke Bagian 3

Keterangan Gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber : Harian Kompas tanggal 18 Juli 1993); books.google.co.id (Ekspedisi Ciliwung  “Mata Air, Air Mata”– Laporan Jurnalistik Kompas)

Bacaan sebelumnya : Bagian 1 >> Bacaan selanjutnya : Bagian 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar