Sejak putus sekolah lima tahun silam, Ridwan (20) menjalani hari-hari dengan membantu ayahnya melaut.
Oleh : ASWIN RIZAL HARAHAP
Jika cuaca ekstrem, pemuda tamatan SMP itu bermain gitar bersama teman-temannya di Pulau Sabutung (Gambar atas), Desa Mattiro Kanja, Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara, Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.
Aktivitas yang dilakukan berulang-ulang itu nyaris membuat Ridwan tak pernah bermimpi memiliki masa depan lebih baik. Namun, jalan hidup putra pasangan Daeng Baco (48) dan Mustikah (45) itu mulai berubah ketika Balai Pengembangan Pendidikan Non-formal dan Informal (BPPNFI) Regional V Makassar memperkenalkan program Rintisan Balai Belajar Bersama (BBS) pada tahun lalu.
Selain membuka perpustakaan umum agar warga setempat mengenal aksara, BBS juga memberikan bekal kecakapan hidup bagi remaja putus sekolah dan orang dewasa. Ridwan bersama 15 rekannya menjadi peserta program pendidikan dan latihan untuk mempelajari cara merakit mesin tempel dan metode penggunaan las listrik
Berbekal sertifikat yang dikantongi setelah menjalani Diklat sebulan, Ridwan kini menjadi anak buah kapal.
Sejak enam bulan lalu, ia bertugas sebagai penanggung jawab mesin di Kapal Motor Seruni yang biasa mengangkut berbagai komoditas dari Makassar menuju Tarakan, Kalimantan Timur.
Dari pekerjaan itu, ia mendapat gaji Bp 756.000,- per minggu. Penghasilan itu tertambah jika kapal bisa bolak-balik Makassar-Tarakan lebih dari empat kali dalam sebulan.
Dengan pendapatan yang relatif realtif tetap setiap bulan . Ridwan pun mulai mantap menata masa depan.
Selain Ridwan, enam pemuda putus sekolah lain dari Desa Mattiro Kanja kini juga bekerja di kapal. Mereka berbekal sertifikat yang dikeluarkan Balai Latihan Kerja Pemerintah Kabupaten Pangkep. Menurut Sekretaris Program BBS Zaenal Abidin, kerja sama dengan pemerintah setempat dilakukan agar kapabilitas warga diakui meski hanya mengenyam pendidikan nonformal.
Program diklat tahap kedua akan kembali dilanjutkan tahun ini. BPPNFI Regional V Makassar mengalokasikan dana Bp 200 juta untuk mendatangkan instruktur, menyiapkan peralatan, sekaligus membuka bengkel sederhana di Pulau Sabutung. Pulau seluas 72 hektar itu merupakan satu dari 117 pulau yang tersebar di Kabupaten Pangkep. Pulau berpenduduk 2.873 jiwa itu dapat dicapai menggunakan kapal dari dermaga Mattiro Baji di Kecamatan Labakkang, Pangkep, sekitar kurang lebih 50 kilometer arah utara Kota Makassar. Penyeberangan dari dermaga memakan waktu sekitar 30 menit.
Menjadi solusi
Di Pangkep, BPPNFI juga mengembangkan program BBS di Pulau Saugi, 5,4 kilometer arah utara Pulau Sabutung. Upaya memperkenalkan pendidikan nonformal di kedua pulau itu dilakukan dengan Kapal Tonro Kassi. Kapal bantuan Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007 itu berfungsi untuk mengunjungi warga di kepulauan.
"Saat ini program BBS baru kami kembangkan di dua pulau di Pangkep karena keterbatasan anggaran," kata Kepala BPPNFI Begional V Makassar Muhammad Hasbi. Alokasi anggaran untuk program BBS di kepulauan tahun ini tidak sampai Rp 500 juta.
Anggaran ini juga digunakan untuk program RB3 di beberapa pulau di Kota Makassar yang lebih dulu digagas, seperti Pulau Kodingareng, Lae-lae, dan Samalona. Begitu pula dengan anak-anak di kawasan pesisir Kota Makassar yang setiap pagi mengenyam pendidikan di sekolah alternatif "Sokola".
Mereka diajari menulis, membaca, menggambar, dan mengaji di rumah panggung yang dibangun pada 2006. Di kolong rumah panggung terdapat arena permainan untuk anak berusia empat tahun ke bawah.
Kendati anggaran terbatas, Hasbi optimistis program BBS tahun depan bisa dikembangkan di beberapa pulau lain, seperti Lompo, Karompa, dan Lanyuakan.
"Jalur nonformal atau pendidikan luar sekolah perlu dioptimalkan untuk memperluas akses pendidikan. Masyarakat di kepulauan yang umumnya bermata pencarian sebagai nelayan dan merupakan suku terasing membutuhkan pendidikan yang tak berbasis persekolahan agar mereka bisa menjalaninya tanpa mengganggu waktu mencari nafkah," ujar Hasbi.
Pendidikan nonformal juga menjadi solusi minimnya akses bagi warga kepulauan. Di Pulau Sabutung, yang terbesar dibandingkan dengan pulau-pulau di sekitar, misalnya, hanya ada satu SD negeri dan satu madrasah tsanawiyah negeri (setara SMP). Adapun rencana pembangunan SMA negeri terus tertunda meski telah tersedia lahan seluas 0,5 hektar.
Arman (38), Kepala Desa Mattiro Kanja, mengatakan, ketiadaan jenjang pendidikan setelah SMP memengaruhi cara pandang orangtua.
Mereka umumnya membiarkan anak-anak tidak melanjutkan sekolah karena faktor ekonomi dan lokasi SMA yang jauh. Berkumpul dan mengobrol akhirnya jadi kegiatan sehari-hari yang lumrah dilakukan remaja putus sekolah atau kaum ibu.
Kebiasaan itu perlahan-lahan terkikis seiring dengan masuknya program BBS....
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber :Harian Kompas tg. 18 April 2011
Berita terkait (mengenai Pangkep) : Kota Pangkep Sulsel dengan Dunia Fantasinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar