Dalam perspektif desain dan kebudayaan, situasi hubungan dalam keluarga (rumah tangga) memiliki korelasi dengan bagaimana rumah dibangun (tangga rumah), dimana ketertutupan (komunikasi) mesti dimaknai sebagai kerenggangan dan ketegangan hubungan dalam keluarga.
Oleh : Acep Iwan Saidi - Dosen Desain dan Media Sekolah Pascasarjana ITS dan Ketua Forum Studi Kebudayaan Seni Rupa lTB
M Syarif, pelaku bom bunuh diri di Cirebon (15/4/2011), diidentifikasi sebagai sosok berkepribadian tertutup, terutama dalam keluarganya. Ayahnya jarang berkomunikasi dengan Syarif, istrinya juga tidak pernah tahu pekerjaan suaminya (terutama minggu-minggu sebelum peristiwa Cirebon), tetapi, di luar rumah (sebagaimana disiarkan media) Syarif tampak sebagai sosok yang beringas dan berani menyerang polisi.
Pribadi tertutup seperti Syarif ternyata juga ditunjukkan oleh beberapa pelaku peledakan bom sebelumnya, demikian pula dengan remaja-remaja yang dilaporkan direkrut menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NIl), mereka semua nyaris sama pribadi yang tertutup di rumah. Fenomena kepribadian para pelaku menarik untuk ditandai - bukan untuk dicurigai dimana sejauh ini merupakan sifat bawaan - melainkan untuk introspeksi hubungan kekeluargaan secara keseluruhan.
Dalam hal ini, ketertutupan mesti dimaknai sebagai kerenggangan dan ketegangan hubungan dalam keluarga, karena tidak berjalannya fungsi keluarga. Penyebabnya mungkin konflik di dalam, tetapi bisa dari luar rumah.
Berawal dari rumah
Dalam perspektif desain dan kebudayaan, situasi hubungan dalam keluarga (rumah tangga) memiliki korelasi dengan bagaimana rumah dibangun (tangga rumah). Pada fase awal kemunculannya rumah adalah bangunan yang berfungsi untuk melindungi penghuninya dari akan (hujan, panas) dan serangan binatang buas atau makhluk lain.
Salah satu perwujudan dari cara berpikir manusia bagaimana mereka harus tetap hidup (mekanisme bertahan), dalam perkembangannya ternyata juga mendefinisikan keluarga (hanya anggota sekerabat yang tinggal di dalamnya). Anggota sekerabat ini pun lantas meriut lagi menjadi hanya terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Rumah pun kini hanya menjadi penanda suatu keluarga inti (batih).
Pergeseran pemaknaan (signifikasi) rumah rupanya juga diikuti dengan pergeseran perspektif mengenai ruang interiornya, awalnya terdiri atas ruang-ruang besar, selanjutnya ditata dengan sekat-sekat menjadi ruang tidur, keluarga, tamu, dapur, dan seterusnya.
Situasi demikian pada satu sisi memberikan keleluasaan (privasi) kepada setiap anggota keluarga, namun, hal itu telah mengubah pola-pola hubungan emosional, seperti : kakak dan adik kamar yang berbeda, tidak bisa semena-mena masuk kamar saudara, barang-barang yang bersifat sangat pribadi (seperti handuk dan sikat gigi) tidak digunakan bersama.
Maka hal-hal yang bersifat kebersamaan akan semakin berkurang, apalagi bila jam-jam keberadaan anggota keluarga di rumah tidak sama. Dampaknya adalah makin sedikit interaksi antar anggota keluarga, dimana fungsi rumah sebagai penanda kebersamaan semakin berkurang. bahkan di dalamnya justru terjadi perpecahan.
Francis Fukuyama, dalam The Great Disruption; HumanNature and the Reconstitutipn qf Social Order (1999), mensinyalir bahwa guncangan besar yang terjadi dalam tatanan masyarakat dunia menuju tata sosial baru dimulai dari pergeseran fungsi dan hubungan dalam keluarga.
Fukuyama memang tidak melihat guncangan itu selalu dalam logika negatif. Menurut dia, penciutan pola-pola hubungan keluarga juga membawa pengaruh positif dengan berkurangnya nepotisme dalam dunia kerja Akan tetapi, ia percaya bahwa berbagai kejahatan yang terjadi di luar rumah diniscayakan oleh "terguncangnya" pola hubungan dalam keluarga, yang disebutnya sebagai unit kerja sama sosial yang paling elementer.
Kontrol berkurang
Penyempitan pola-pola hubungan keluarga yang berkorelasi dengan penataan ruang dalam rumah modern membuat kontrol orangtua terhadap anak menjadi berkurang, Anak seolah-olah menjadi pihak lain sebaliknya, si anak juga menjadi merasa berjarak dengan orangtuanya.
Anak mungkin menjadi tertutup (persepsi orangtua), padahal pandangan serupa juga bisa terjadi pada anak meng-anggap orangtuanya tertutup. Karena situasi demikian, orangtua cenderung menyerahkan persoalan anak ke tembaga-lembaga di luar rumah, misalnya ke sekolah, psikolog, atau bahkan polisi.
Sebaliknya anak juga merasa tidak perlu mengadukan segala persoalan di luar rumah kepada orangtua, orangtua hanya menegur jika anak melakukan kesalahan. Jika pola hubungan orangtua dengan anak semacam itu semakin menjadi umum dalam tatanan keluarga masyarakat, maka kita tidak bisa mengharapkan terbentuknya modal social (hukum social) yang akan lebih efektif ketimbang hukum formal.
Kembali ke berbagai kasus peledakan bom dan isu-isu mengenai NIl sebagaimana disinggung di awal, kita tahu nyaris semua pelakunya adalah remaja. Ini jelas sebuah penanda bahwa sedang terjadi hal yang tidak beres dalam kontrol orang dewasa (orang tua) terhadap remaja (anak) di rumah.
Oleh sebab itu :
(a). Sebelum semua kasus itu menjadi pekerjaan polisi, kiranya orang tua harus lebih bekerja keras di rumah dalam mengontrol anak-anaknya,
(b). Mungkin bisa mulai dari penataan ruang interior rumah (tidak mengembalikan desain ke rumah masa lalu) dengan lebih mengoptimalkan fungsi substansial rumah sebagai tempat berlindung dari serangan pihak luar (seperti prinsip dasar pada masa lalu), bedanya jika dulu yang dianggap musuh adalah keganasan alam dan binatang buas tetapi kini musuh yang dihadapi abstrak alias tidak kasatmata, yang ternyata juga lebih berbahaya.
(c). Pergeseran nilai dan pola-pola hubungan sosial, termasuk yang terjadi pada rumah, meminjam klausa Anthony Giddens, memang konsekuensi dari modernitas. Akan tetapi, justru karena itulah tatanan kehidupan modern perlu terus-menerus dikoreksi agar konsekuensi negatifnya bisa ditekan sampai pada titik yang paling minimal.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber editing bacaan : “Rumah dan Runtuhnya Keluarga Batih” – artikel pada Harian Kompas tgl. 27 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar