Intervensi militer Barat atas krisis Libya sudah diramalkan, tetapi ketika hal itu benar-benar dilaksanakan, banyak orang dibuat terperangah. Apa pun pertimbangannya, setiap penggunaan kekuatan militer selalu mengundang kekhawatiran tentang kemungkinan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit.
Operasi Rahasia AS
Pemimpin Libia Moamar Khadafi mendapat hantaman besar setelah salah satu pejabat yang paling mengerti rahasia taktiknya mengundurkan diri dan membelot ke kubu pemberontak. Bahkan, operasi serangan balasan yang dilancarkan pasukan Khadafi juga mendapat ancaman baru setelah berbagai laporan menyatakan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengesahkan operasi rahasia dan intilejen AS untuk membantu pemberontak Libia.
Di tengah memanasnya situasi, otoritas Gereja Katolik se-Dunia (Vatikan) di Tripoli, Kamis (31/3) mengabarkan serangan udara koalisi Barat terhadap Libia menewaskan sedikitnya 40 warga sipil, khususnya di kawasan permukiman di Buslim- Tripoli. Laporan itu mendorong NATO (North Atlantic Treaty Organization) yang baru saja memulai resmi operasi militernya di Libia menyatakan akan menyelidiki kasus yang dilaporkan Vatikan itu.
Hari Rabu (30/3), Menteri Luar Negeri (Menlu) Libia Moussa Koussa - mantan kepala intelijen Libia yang mengetahui taktik-taktik sekaligus ujung tombak Khadafi mempropagandakan kepentingannya di tingkat internasional - membelot dan melarikan diri ke London, Inggris, sebagai protes atas kekejaman Khadafi terhadap warga sipil. Pembelotan Koussa ini dinilai akan melemahkan Khadafi, sebab Koussa selama ini penasihat paling dipercaya Khadafi.
Koussa memulai pembelotannya dengan melarikan diri ke Tunisia, Senin (28/3), lalu terbang menuju Farnborough, bandara di Inggris bagian selatan. Langkah Koussa ini disambut baik oleh negara-negara Barat, hal ini mendorong pejabat-pejabat kunci Libia lainnya melakukan tindakan serupa sehingga posisi Khadafi makin tak berdaya. Menurut Geoff Porter, pengamat politik Afrika Utara, di depan Kongres AS menyatakan pembelotan Koussa pertanda elite pemerintahan Khadafi pecah, hal senada diakui oleh kubu pemberontak Libia.
Walau selama dua pekan diserang oleh jet-jet tempur koalisi internasional, pasukan Khadafi dengan persenjataan berat selama dua hari terakhir berhasil menggempur mundur pasukan pemberontak yang mencoba memperluas posisi ke arah barat demi menguasi Tripoli, ibu kota Libia.
Dari kekalahan ini, tampak jelas selain kalah dari segi persenjataan, pasukan pemberontak juga lemah kedisiplinan dan kepemimpinan, namun, di tengah kekalahan ini, mereka menjadi bersemangat setelah berbagai kabar menyebutkan bahwa, Presiden AS Barack Obama mengesahkan dikirimkannya operasi rahasia dinas intelijen AS.
Para pengamat militer menilai operasi rahasia ini hanya bersifat bantuan bagi serangan udara pasukan NATO. Namun, pengakuan Gedung Putih atas kabar tersebut mengindikasikan kemauan AS membantu pemberontak Libia. Sementara itu, satu per satu kota yang semula diduduki pemberontak akhimya kembali ke tangan pasukan Khadafi. Kota-kota itu ialah Nawfaliyah, Bin Jawad, dan Ras Lanuf.
Surat Khadafi Untuk Obama
Pemimpin Libia Moamar Khadafi sangat disegani dan disanjung di negaranya. Dalam kondisi normal, tak seorang pun berani membantah keinginannya. Namun di tengah guncangan aksi protes sebagian rakyat Libia dan tekanan negara lain, sejumlah anggota kelompok oposisi kini berani menantangnya.
Kendati sedang dibombardir, Khadafi tetap tegar. Rasa percaya diri dan kesombongannya pun seakan tidak pernah luntur. Bahkan dia tidak takut dengan ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Hal itu terungkap dalam surat Khadafi yang dikirim ke Obama sebelum pesawat tempur AS, Inggris, dan Francis membombardir Libia, Sabtu (19/3).
Jika membaca surat Khadafi, orang Amerika mungkin bisa marah karena dinilai sebagai pelecehan. Namun, bisa juga tersenyum atau malah tertawa. Pasalnya surat pemimpin Libia itu bak lelucon. Terutama, saat dia menyebut Obama sebagai 'anakku'.
Beginilah isi surat Khadafi untuk Obama.
"Untuk anakku, yang mulia, Obama, Saya telah mengatakan kepada Anda sebelumnya, bahkan jika Libia dan Amerika Serikat memasuki satu peperangan, kendati Tuhan melarangnya, Anda akan selalu tetap seorang anak. Anda tidak akan berubah." Sungguh 'manis' ucapan yang dilontarkan Khadafi. Rangkaian kalimat yang disusunnya menggambarkan tidak terjadi apa-apa kecuali konfrontasi kimia yang terjadi pada benak Khadafi. Namun, pada surat itu juga ada kalimat dari pria berusia 68 tahun itu yang isinya lebih memesona. Sebagaimana diungkapkan Khadafi sebelumnya bahwa oposisi dan pemberontak antipemerintah Libia di belakangnya disokong kelompok Al-Qaeda. "Al-Qaeida adalah organisasi bersenjata yang melintasi melalui Aljazair, Mauritania, dan Mali. Apa yang Anda lakukan jika Anda tahu mereka mengendalikan kota-kota di Amerika dengan kekuatan senjata? Apa yang akan Anda lakukan sehingga saya dapat mengikuti contoh Anda."
Namun, tampaknya surat itu tidak mendapat tanggapan dari Obama. Tidak ada jawaban resmi dari Presiden AS tersebut. Kendati begitu Khadafi kembali menulis surat. "Libia bukan milik Anda. Libia untuk semua orang Libia,” tulis Khadafi.
"Ini tidak adil, ini jelas agresi, dan ini risiko yang tidak diperhitungkan konsekuensinya bagi Mediterania dan Eropa. Anda akan menyesalinya jika mengambil langkah intervensi dalam hubungan internal."
Tampaknya tulisan surat kedua menggambarkan kekecewaan besar atas tindakan pemerintah AS. Kolonel Khadafi menyebut Obama dengan 'anakku' dalam suratnya sebagai bentuk ungkapan kekeluargaan.
Namun, apa boleh buat, 'kata manis' Khadafi belum cukup menggoyahkan hati Obama. Justru jawabannya suatu yang tidak diharapkan.
AS malah mengirimkan pesawat-pesawat tempumya untuk mernberi peringatan kepada Khadafi yang terus membantai warganya sendiri.
Padahal Presiden Amerika Serikat Barack Obama berjabat tangan dengan pemimpin tertinggi Libia Moamar Khadafi saat pertemuan G-8 di LAquila, Italia, 9 Juli 2009.
Aksi Militer Bukan Opsi Terbaik
Intervensi militer Barat atas krisis Libya sudah diramalkan, tetapi ketika hal itu benar-benar dilaksanakan, banyak orang dibuat terperangah. Apa pun pertimbangannya, setiap penggunaan kekuatan militer selalu mengundang kekhawatiran tentang kemungkinan jatuhnya korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit.
Kekhawatiran itu sudah menjadi kenyataan di Libya, serangan roket dan rudal Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris pada tahap awal sudah menewaskan puluhan orang. Ada yang menyebut angka 48 orang tewas. Tentu saja intervensi militer ketiga negara Barat itu tidak datang tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang.
Semula dunia Barat dan seluruh masyarakat internasional berharap Libya dapat mengakhiri persoalannya sendiri, namun, tindakan brutal pasukan Libya untuk membela Presiden Moammar, Khadafy, yang sudah berkuasa 41 tahun, menimbulkan keprihatinan mendalam. Hal itu terutama karena korban terus berjatuhan di kalangan oposisi dan kaum demonstran.
Berbagai desakan sudah disampaikan kepada Khadafy agar segala bentuk kekejaman terhadap rakyatnya dihentikan, tetapi tidak digubris. Juga tidak digubris resolusi Dewan Keamanan PBB pekan lalu yang menetapkan zona larangan terbang di Libya.
Dengan dalih menjaga pelaksanaan zona larangan terbang, AS, Perancis, dan Inggris melancarkan serangan ke Libya, akhir pekan lalu. Intervensi militer dimaksudkan untuk memastikan pesawat Libya tidak terbang lagi dalam misi menyerang kaum penentang Khadafy.
Tindakan Khadafy yang begitu represif dan berdarah tidak dapat dibenarkan. Patut dikecam sikap Khadafy yang tidak peduli terhadap desakan internasional untuk segera menghentikan kekejaman atas rakyatnya sendiri. Kebrutalan pasukan Khadafy tidak boleh dibiarkan berlanjut, namun, bagaimana caranya? Tidak gampang untuk memilih cara terbaik.
Sesuai Tajuk Rencana Kompas (21/3/2011) :
(a). Apapun alasannya, penggunaan aksi militer, lebih-lebih yang bersifat intervensi merupakan opsi terburuk dari segala pilihan, dipandang mengandung potensi memperburuk keadaan yang senantiasa mengundang korban jiwa dan kerugian harta benda yang tidak sedikit.
(b). Tetap menjadi pertanyaan, apakah serangan ke Libya segera menghentikan keganasan pasukan Khadafy. Dalam reaksinya, Khadafy menyatakan tidak mau tunduk terhadap tekanan Barat, antara lain dengan mempersenjatai rakyatnya,
(c). Perlawanan Khadafy dikhawatirkan akan membuat situasi di Libya bertambah runyam. Sudah pasti pula gelombang serangan pertama AS, Perancis, dan Inggris tidak akan menjadi yang terakhir karena akan diikuti kedua dan seterusnya, sementara reputasi buruk atas intervensi militer sudah terlihat dalam kasus Irak dan Afganistan.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber : Harian Kompas tgl. 21 Maret 2011 dan Harian Koran Jakarta tgl. 1 April 2011.
Catatan : untuk informasi situasi dan kondisi mengenai Libya selanjutnya bisa diikuti melalui sumber lain.
TAMAT.
Bacaan sebelumnya : Bagian 3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar