Saat banyak orang mengkhawatirkan paparan radiasi dari ledakan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi Jepang, tanpa kita sadari, tubuh kita terpapar radiasi setiap hari. Sumber radiasi itu berasal dari alam dan teknologi untuk membantu manusia.
Sumber radiasi dari alam itu berasal dari radiasi kosmik, sinar matahari, kulit bumi, gas radioaktif radon, serta makanan dan minuman yang kita konsumsi. Tubuh manusia juga mengandung zat radioaktif, yaitu karbon-14, potasium-40, dan polonioum-210.
Total radiasi dari alam yang tak bisa dihindari ini mencapai 2,4 milisieverts (mSv). Radiasi paling tinggi berasal dari radon yang berasal dari peluruhan uranium di kulit bumi sebesar 1,3 mSv.
Adapun sumber radiasi yang berasal dari teknologi buatan manusia di antaranya berasal dari penggunaan radiasi untuk dunia medik, sisa uji coba bom atom dan PLTN, hasil pembakaran batu bara, hingga penggunaan produk-produk yang memancarkan radiasi.
Jumlah paparan radiasi non-alami ini berbeda pada tiap orang, tergantung interaksinya dengan tempat, jenis pekerjaan, hingga penggunaan benda-benda yang bersifat radiatif. Paparan yang diderita pilot, petugas radiologi rumah sakit, hingga petugas di reaktor nuklir tentu jauh lebih tinggi dibandingkan masyarakat biasa.
Tingkat radiasi dari penggunaan produk teknologi ini umumnya rendah. Untuk sumber radiasi nonalami, paparan tertinggi berasal dari penggunaan alat-alat medik sebesar 0,4 mSv per tahun.
Sumber-sumber Radiasi di Sekitar Kita
Tingkat radiasi dari penggunaan produk teknologi ini umumnya rendah. Untuk sumber radiasi nonalami, paparan tertinggi berasal dari penggunaan alat-alat medik sebesar 0,4 mSv per tahun.
Salah satu teknologi yang menggunakan zat radioaktif adalah detektor logam dan mesin pemindai barang yang ada di terminal bandar udara.
Deputi Bidang Pengkajian Keselamatan Nuklir Badan Pengawas Tenaga Nuklir Khoirul Huda, Rabu (16/3) di Jakarta, mengatakan, meski dirancang dengan radioaktif minim, jika terpapar radiasi dari alat itu cukup lama, tetap akan berbahaya. "Ketika melintasi detektor logam, disarankan segera beranjak dari bawahnya," katanya.
Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) menetapkan dosis radiasi bagi masyarakat umum adalah 1 mSv setahun. Hal itu untuk keamanan manusia.
"Dalam kondisi darurat, dosis ini bisa ditingkatkan menjadi 20-50 mSv sesuai standar bagi pekerja di reaktor nuklir," kata Deputi Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional Bidang Pengembangan Teknologi Daur Bahan Nuklir dan Rekayasa Djarot S Wisnubroto.
Di Indonesia, kata Khoirul, paparan radioaktif di atas 20 mSv pernah ditemukan pada peneliti radioisotop yang bekerja terlalu lama di dekat reaktor riset di Bandung. Untuk sementara peneliti itu tidak boleh berada di dekat reaktor.
Tingkat radiasi
Harian The Wall Street Journal edisi Rabu menyebutkan, tingkat radiasi akibat ledakan hidrogen yang disertai pelepasan sejumlah zat radioaktif di PLTN Fukushima Daiichi mencapai 3,1 mSv per jam pada Senin (14/3) dan meningkat menjadi 400 mSv per jam pada, Rabu pagi. Pada hari yang sama, tingkat radiasi zat radioaktif ini saat tiba di Tokyo yang berjarak sekitar 250 kilometer tinggal 0,000809 mSy per jam.
Djarot mengatakan, paparan radiasi sebesar 0,000809 mSv per jam itu tidak dapat diartikan setara dengan 7,1 mSv dalam setahun. Penyebabnya, tingkat radiasi sumber terus berubah, arah angin yang membawa udara yang tercemar zat radioaktif juga tidak sama.
Selain itu, manusia tidak mungkin terpapar 24 jam dan 365 hari terus-menerus dengan zat radioaktif. Saat di dalam rumah, potensi manusia terpapar radiasi kecil karena sebagian zat radioaktif tidak mampu menembus tembok biasa.
Untuk kepentingan medik yang menggunakan cobalt-60, dinding kamar tempat penggunaan zat radioaktif jenis ini harus memiliki ketebalan khusus.
“itu sebabnya warga yang berada pada jarak 20-30 km dari PLTN Fukushima Daiichi diminta tinggal di rumah," kata Djarot.
Guru Besar Reaktor Nuklir Institut Teknologi Bandung Zaki Su'ud menyatakan, tingkat konsentrasi zat radioaktif akan semakin kecil jika daerah yang terpapar makin luas.
Ketua Jurusan Teknik Fisika Universitas Gadjah Mada Sihana mengatakan, walau zat radioaktif terbawa angin, gerak angin tidak selamanya lurus. Jika gerak angin turun, zat radioaktif pun turun. Hujan juga membuat zat radioaktif tersebut jatuh ke tanah.
Oleh karena itu, masyarakat tak perlu khawatif berlebihan dengan dampak radiasi dari PLTN Fukushima Daiichi. Selain letak Indonesia cukup jauh, alam memiliki sejumlah mekanisme untuk mengurangi tingkat radiasi dari ledakart di PLTN itu.
Keterangan : gambar di bawah judul sbg ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber : Harian Kompas tanggal17 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar