Indonesia kerap
disebut negara kaya sumber daya alam, termasuk energi. Jika ditinjau dari
keanekaragaman jenis sumber daya energinya, mungkin sebutan itu ada benarnya.
Namun, sebutan itu terkadang mengecoh: benarkah Indonesia kaya energi?
Oleh : Herman
Agustiawan - Anggota Dewan Energi Nasional
RI
Hingga
saat ini, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi
sekitar 4 miliar barel, gas bumi 104 tcf, dan batubara 21 miliar ton. Laju produksi minyak saat ini sekitar 900.000
barel per hari (bph), gas sekitar 1,5 juta barel setara minyak (bsm), dan
batubara 340 juta ton. Sementara konsumsi domestik minyak sekitar 1,3 juta bph,
gas 750.000 bsm, dan batubara 67 juta ton.
Selama ini, jika
produksi berlebih, kelebihannya diekspor seperti yang terjadi pada batubara dan
gas. Sebaliknya, jika produksi kurang, kekurangannya diimpor, seperti pada crude dan produk lainnya, Minyak bagian
pemerintah (government entitlement) sebagian
besar digunakan untuk kilang domestik Ekspor minyak (kalau memang ada)
jumlahnya hanya sedikit dan biasanya terjadi jika spesifikasinya tidak cocok
untuk kilang domestik.
Rentan
energi
Pengelolaan sumber
daya minyak dan gas bumi, mulai dari eksplorasi hingga eksploitasi, butuh
waktu sekitar delapan tahun. Ini belum termasuk penyediaan infrastruktur
pengolahan, penampungan, pendistribusian, dan lain sebagainya.
Lantas,
apakah Indonesia rentan energi? Sebagai ilustrasi, konsumsi energi primer per
kapita kita pada 2006 sekitar 0,6 ton setara minyak (tsm; 1 tsm -1.100 liter
setara minyak/lsm). Artinya, setiap individu hanya mengonsumsi energi primer
(minyak, gas, batubara, dan sebagainya) rata-rata 660 Ism per tahun atau 1,81
Ism per hari. Sementara di negara maju, konsumsi energi primer per kapitanya
mencapai 4,7 tsm, seperti Jepang 4,04 tsm, Korea Selatan 4,27 tsm, bahkan
Singapura 5,55 tsm. Begitu pun dengan konsumsi listrik per kapita yang hingga
kirii masih sangat rendah, 591 kWh per tahun (1 orang = 1,62 kWh per hari).
Bandingkan, misalnya, dengan Thailand (2.080 kWh), Malaysia
(3.499 kWh), dan Singapura (8.185 kWh).
Selama kurun waktu
1998-2008 nyaris tidak ada pembangkit listrik yang dibangun. Demikian halnya
dengan kilang minyak, hampir tidak ada penambahan kapasitas. Baru sekitar tiga
tahun terakhir sejak proyek percepatan 10.000 MW tahap pertama mulai ada
pembangunan PLTU batubara. Jadi, tidak heran jika konsumsi energi per kapita
Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju, bahkan di
Asia sekalipun. Jika konsumsi energi per kapita kita demikian rendah, masih
pantaskah Indonesia berpredikat kaya energi?
Faktor pendukung
ketahanan energi suatu bangsa, antara lain, ketersediaan, daya beli, infrastruktur,
dan acceptability (penerimaan
masyarakat, lingkungan). Keempat faktor ini mencerrhinkan "daya
tahan" (resilience) terhadap
berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Untuk
kemudahan pemahaman, misalnya produksi kita 1 juta bph atau 365 juta barel per
tahun, berarti dengan cadangan 4 miliar barel, minyak kita akan habis sekitar
11 tahun. Namun, jangan lupa, konsumsi kita sekitar 1,3 juta bph dan cenderung
meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi, terutama penambahan jumlah
kendaraan bermotor.
Ini berarti akan
ada selisih yang semakin "jomplang" antara produksi dan konsumsi.
Pertanyaannya, bagaimana kalau produksi menurun terus alias tidak tetap 1 juta
bph setiap tahunnya? Maka, peningkatan konsumsi akan mengakibatkan kelangkaan
pasokan crude dan bahan bakar minyak
(BBM) yang sangat dahsyat.
Terkait konflik di
Timur Tengah, di mana Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz sebagai balasan
embargo minyaknya oleh negara-negara Barat, jika ini benar terjadi, pasokan crude dan produk dari Timur Tengah ke
sejumlah negara pengimpor --termasuk Indonesia-- akan
terganggu. Sebab, Selat Hormuz merupakan jalur pengapalan sekitar 20 persen crude (17 juta bph), 30 persen LNG (130
mmscfd), dan sekitar 2 juta bph produk lainnya.
Bagi negara dengan
ketahanan energi yang kokoh, persoalan ini relatif mudah diatasi karena telah
memiliki "cadangan minyak strategis". Umumnya negara-negara maju
telah memiliki cadangan selama 90-120 hari impor. Bagaimana dengan Indonesia?
Dari uraian di atas
jelas bahwa Indonesia masuk dalam kategori rentan energi. Hingga kini Indonesia
masih belum memiliki "cadangan minyak strategis", yaitu stok nasional
yang hanya boleh digunakan dalam kondisi krisis dan darurat. Ketika kondisi
kembali normal, cadangan strategis itu harus diisi kembali: tidak boleh
dibiarkan kosong!
Enam
langkah
Memiliki ketahanan
energi memang mahal dan sulit, tetapi tidak ada pilihan lain selain memulainya.
Lantas bagaimana mengatasinya?
Pertama,
pemerintah perlu mengoptimalkan produksinya untuk konsumsi domestik. Hal ini
tentu dengan harga yang pantas bagi kontraktor.
Kedua,
pelaku usaha hilir/industri yang padat BBM, termasuk retailer BBM asing, sudah
saat-nya menaikkan cadangan operasionalnya. Jika perlu, pemerintah bisa
menitipkan "cadangan minyak strategis"-nya dengan rnembayar biaya
penyimpanan. Selama ini hanya mengandalkan cadangan operasional Pertamina yang
terbatas. Selama ini kita memanfaatkan Singapura sebagai salah satu trading hub
terbesar dunia (di samping London, Geneva, dan Dubai) yang didukung oleh kilang
dan penyimpanan yang sangat besar. Namun, ke depan tentu secara bertahap harus
dikurangi sampai akhirnya kita bisa memiliki "cadangan minyak
strategis" sendiri untuk mendukung ketahanan energi nasional.
Ketiga,
pemerintah, dan DPR perlu memperketat dan mengawasi pemakaian BBM subsidi untuk
mengantisipasi terganggunya pasokan crude dan BBM.
Keempat,
guna meningkatkan kapasitas kilang dalam negeri, sebaiknya Pertamina (atau
perusahaan nasional lainnya?) bekerja sama dengan entitas bisnis asing yang bisa
menjamin crude untuk intake kilang domestik secara kontinu. Kerja sama ini sangat
strategis guna menjamin ketersediaan sekaligus mengatasi krisis pasokan BBM.
Kelima,
suka atau tidak, pemerintah dan DPR sudah saatnya "mengembalikan"
harga premium seperti pada 2008 (Rp 6.000) secara bertahap ataupun sekaligus.
Penghematan subsidi yang terjadi harus digunakan untuk penambahan sarana
angkutan umum dan untuk kaum miskin yang layak dibantu.
Keenam,
pemerintah didukung oleh DPR perlu segera menjalankan program diversifikasi
BBM dengan energi alternatif, seperti bahan bakar gas untuk sektor transportasi
serta energi baru dan terbarukan untuk listrik.
Bauran energi kita
yang gemuk dengan minyak ibarat bom waktu. Dulu, ketika gas masih murah, kita
ekspor karena minyak juga murah dan berlimpah, Namun, sekarang minyak sudah
mahal dan langka, beralih ke gas adalah langkah yang tepat meskipun agak
terlambat.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi tambahan yang diambil dari internet
Sumber :
Kompas tgl. 14 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar