Minggu, 30 Juni 2013

Meningkatkan Ketahanan Energi


Indonesia kerap disebut negara kaya sumber daya alam, termasuk energi. Jika ditinjau dari keanekaragaman jenis sumber daya energinya, mungkin sebutan itu ada benarnya. Namun, sebutan itu terkadang mengecoh: benarkah Indone­sia kaya energi?
Oleh : Herman Agustiawan - Anggota Dewan Energi Nasional RI


Hingga saat ini, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi sekitar 4 miliar barel, gas bumi 104 tcf, dan batubara 21 miliar ton.  Laju produksi minyak saat ini sekitar 900.000 barel per hari (bph), gas sekitar 1,5 juta barel setara mi­nyak (bsm), dan batubara 340 juta ton. Sementara konsumsi domestik minyak sekitar 1,3 juta bph, gas 750.000 bsm, dan batu­bara 67 juta ton.
Selama ini, jika produksi berlebih, kelebihannya diekspor seperti yang terjadi pada batubara dan gas. Sebaliknya, jika produksi kurang, kekurangannya diimpor, seperti pada crude dan produk lainnya, Minyak bagian peme­rintah (government entitlement) sebagian besar digunakan untuk kilang domestik Ekspor minyak (kalau memang ada) jumlahnya hanya sedikit dan biasanya terjadi jika spesifikasinya tidak cocok untuk kilang domestik.

Rentan energi
Pengelolaan sumber daya mi­nyak dan gas bumi, mulai dari eksplorasi hingga eksploitasi, butuh waktu sekitar delapan tahun. Ini belum termasuk penyediaan infrastruktur pengolahan, penampungan, pendistribusian, dan lain sebagainya.
Lantas, apakah Indonesia rentan energi? Sebagai ilustrasi, konsumsi energi primer per kapita kita pada 2006 sekitar 0,6 ton setara minyak (tsm; 1 tsm -1.100 liter setara minyak/lsm). Artinya, setiap individu hanya mengonsumsi energi primer (minyak, gas, batubara, dan sebagainya) rata-rata 660 Ism per tahun atau 1,81 Ism per hari. Sementara di negara maju, konsumsi energi primer per kapitanya mencapai 4,7 tsm, seperti Jepang 4,04 tsm, Korea Selatan 4,27 tsm, bahkan Singapura 5,55 tsm. Begitu pun dengan konsumsi listrik per ka­pita yang hingga kirii masih sangat rendah, 591 kWh per tahun (1 orang = 1,62 kWh per hari). Bandingkan,   misalnya,   de­ngan Thailand (2.080 kWh), Ma­laysia (3.499 kWh), dan Singa­pura (8.185 kWh).
Selama kurun waktu 1998-2008 nyaris tidak ada pembangkit listrik yang dibangun. Demikian halnya dengan kilang minyak, hampir tidak ada penambahan kapasitas. Baru sekitar tiga tahun terakhir sejak proyek percepatan 10.000 MW tahap pertama mulai ada pembangunan PLTU batubara. Jadi, tidak heran jika konsumsi energi per kapita Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara maju, bahkan di Asia sekalipun. Jika konsumsi energi per kapita kita demikian rendah, masih pantaskah Indonesia berpredikat kaya energi?
Faktor pendukung ketahanan energi suatu bangsa, antara lain, ketersediaan, daya beli, infra­struktur, dan acceptability (penerimaan masyarakat, lingkungan). Keempat faktor ini mencerrhinkan "daya tahan" (resi­lience) terhadap berbagai gangguan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Untuk kemudahan pemahaman, misalnya produksi kita 1 juta bph atau 365 juta barel per ta­hun, berarti dengan cadangan 4 miliar barel, minyak kita akan habis sekitar 11 tahun. Namun, jangan lupa, konsumsi kita sekitar 1,3 juta bph dan cenderung meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan ekonomi, terutama penambahan jumlah kendaraan bermotor.
Ini berarti akan ada selisih yang semakin "jomplang" antara produksi dan konsumsi. Pertanyaannya, bagaimana kalau produksi menurun terus alias tidak tetap 1 juta bph setiap tahunnya? Maka, peningkatan konsumsi akan mengakibatkan kelangkaan pasokan crude dan bahan bakar minyak (BBM) yang sangat dahsyat.
Terkait konflik di Timur Tengah, di mana Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz sebagai balasan embargo minyaknya oleh negara-negara Barat, jika ini benar terjadi, pa­sokan crude dan produk dari Ti­mur Tengah ke sejumlah negara pengimpor --termasuk Indone­sia-- akan terganggu. Sebab, Selat Hormuz merupakan jalur pengapalan sekitar 20 persen crude (17 juta bph), 30 persen LNG (130 mmscfd), dan sekitar 2 juta bph produk lainnya.
Bagi negara dengan ketahanan energi yang kokoh, persoalan ini relatif mudah diatasi karena telah memiliki "cadangan minyak strategis". Umumnya negara-negara maju telah memiliki cadang­an selama 90-120 hari impor. Bagaimana dengan Indonesia?
Dari uraian di atas jelas bahwa Indonesia masuk dalam kategori rentan energi. Hingga kini In­donesia masih belum memiliki "cadangan minyak strategis", yaitu stok nasional yang hanya boleh digunakan dalam kondisi krisis dan darurat. Ketika kondisi kembali normal, cadangan strategis itu harus diisi kembali: tidak bo­leh dibiarkan kosong!

Enam langkah
Memiliki ketahanan energi memang mahal dan sulit, tetapi tidak ada pilihan lain selain memulainya. Lantas bagaimana mengatasinya?
Pertama, pemerintah perlu mengoptimalkan produksinya untuk konsumsi domestik. Hal ini tentu dengan harga yang pantas bagi kontraktor.
Kedua, pelaku usaha hilir/industri yang padat BBM, termasuk retailer BBM asing, sudah saat-nya menaikkan cadangan operasionalnya. Jika perlu, pemerintah bisa menitipkan "cadangan minyak strategis"-nya dengan rnembayar biaya penyimpanan. Selama ini hanya mengandalkan cadangan operasional Pertamina yang terbatas. Selama ini kita memanfaatkan Singapura sebagai salah satu trading hub terbesar dunia (di samping London, Geneva, dan Dubai) yang didukung oleh kilang dan penyimpanan yang sangat besar. Namun, ke depan tentu secara bertahap harus dikurangi sampai akhirnya kita bisa memiliki "cadangan minyak strategis" sendiri untuk mendukung ke­tahanan energi nasional.
Ketiga, pemerintah, dan DPR perlu memperketat dan mengawasi pemakaian BBM subsidi untuk mengantisipasi terganggunya pasokan crude dan BBM.
Keempat, guna meningkatkan kapasitas kilang dalam negeri, sebaiknya Pertamina (atau perusahaan nasional lainnya?) bekerja sama dengan entitas bisnis asing yang bisa menjamin crude untuk intake kilang domestik se­cara kontinu. Kerja sama ini sa­ngat strategis guna menjamin ke­tersediaan sekaligus mengatasi krisis pasokan BBM.


Kelima, suka atau tidak, pe­merintah dan DPR sudah saatnya "mengembalikan" harga premi­um seperti pada 2008 (Rp 6.000) secara bertahap ataupun seka­ligus. Penghematan subsidi yang terjadi harus digunakan untuk penambahan sarana angkutan umum dan untuk kaum miskin yang layak dibantu.
Keenam, pemerintah didu­kung oleh DPR perlu segera menjalankan program diversifikasi BBM dengan energi alternatif, seperti bahan bakar gas untuk sektor transportasi serta energi baru dan terbarukan un­tuk listrik.

Bauran energi kita yang gemuk dengan minyak ibarat bom waktu. Dulu, ketika gas masih murah, kita ekspor karena mi­nyak juga murah dan berlimpah, Namun, sekarang minyak sudah mahal dan langka, beralih ke gas adalah langkah yang tepat meskipun agak terlambat.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi tambahan yang diambil dari internet
Sumber :  Kompas  tgl. 14 Maret 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar