Senin, 24 Juni 2013

Iptek : Keping-keping yang Mengubah Wajah Bumi


"llmu pengetahuan tak memiliki negara." - Louis Pasteur
Oleh : Brigita Isworo Laksmi


Sang penemu teori bakteri yang sekaligus pencipta vaksin ini paham benar, ilmu pengetahuan tak kenal "kewarganegaraan". Tentu termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang gempa bumi.
Lebih dari 200 tahun terakhir para ahli terus  coba menyingkap misteri gempa. Pemahaman tentang gempa, setapak demi setapak, sejengkal demi sejengkal, pun mengalami kemajuan.
Perkembangan ilmu mengenai gempa (seismologi) secara signifikan dibedakan pada era sebelum ilmu pengetahuan modern berkembang, era prakomputer tahun 1880-1960,  dan era komputer sejak 1960 (USGS, Seismology History).
Berbagai mitos mewarnai pengetahuan manusia akan fenomena gempa. Secara antropologis, pengetahuan yang kental dengan mi­tos itu berbeda antara satu lokasi dan lokasi lain. Di India, misalnya, tiga jenis hewan, yaitu gajah, kura-kura, dan ular, diyakini sebagai penyangga Bumi secara bersusun-susun de­ngan ular sebagai dasar penyangga. Peran hewan sebagai penyangga Bumi juga diyakini masyarakat Siberia. Anjing penyangga Bumi yang menggaruk-garuk punggungnya adalah penyebab gempa.
Sebelum ilmu pengetahuan modern berkembang, mitos-mitos tersebut mulai digeser oleh pemikiran Buddha, lima abad sebelum Masehi, yang melibatkan pengujian dan analisis untuk menemukan kebenaran akan sesuatu. Sezaman dengan Buddha, filsuf Yunani, Thales, mulai menyatakan bahwa bumi mengambang di atas lautan. Jika lautan bergolak, terjadilah gempa.
Pemahaman akan kemengapungan yang ditemukan Archimedes dan konsep alam semesta oleh Ptolomeus -- yang menempatkan Bumi sebagai pusat semesta-- merupakan hal-hal penting dalam perkembangan ilmu alam. Pe­mikiran besar William Gilbert (1540-1603) bahwa Bumi adalah magnet, antara lain, menjadi cikal bakal dari lahirnya Teori Tektonik Lempeng. Teori ini telah mengombinasikan dua teori terdahulu, yaitu Teori Pengapungan Benua (Continental Drift) dari Alfred Wegener (1912) dan Pemekaran Lantai Samudra (Seafloor Spreading) yang diperkenalkan oleh Harry Hammond Hess, ditandai dengan bukunya, History of Ocean Basins, yang terbit pada 1962.
Dengan ketiga teori tersebut, digambarkan, kerak Bumi atau kulit Bumi telah terpecah-pecah menjadi kepingan-kepingan yang terdiri dari bagian daratan (continental crust) dan bagian dasar laut (lantai samudra). Keping-keping ini mengambang di atas lapisan astenosfer yang kental. Di tengah-tengah di antara dua benua, lantai samudra merekah dan terus mendorong ke daratan karena rekahan tersebut diisi oleh material vulkanik yang cair dari lapisan mantel bumi di bawah kerak Bumi. Di rekahan di tengah samudra, tumpukan materi vulkanik disebut sebagai punggungan samudra (oceanic ridges), sementara cekungan dalam tempat masuknya kerak samudra ke kerak benua disebut palung (oceanic trenches). Punggungan samudra ditemukan di tengah Samudra Atlantik dan di bagian timur Samudra Pasifik, sementara palung ditemukan di sekitar Samudra Pa­sifik.
Pergerakan menerus dari kerak samudera tersebut terus mendorong masuk ke bawah kerak benua di daerah subduksi.  Ketika tenaga dorongan telah melebihi ketahanan lokasi pertemuan kedua lempeng, terjadilah gempa.
Deretan gunung api, jika ditarik garis, akan sejajar dengan garis pertemuan lempeng sa­mudra dan lempeng benua Ketika terjadi gempa bisa terjadi patahan di sepanjang garis subduksi.  Patahan terbesar adalah Patahan San Andreas di California Patahan Sumatera yang membujur dari utara ke selatan Pulau Sumatera merupakan patahan terbesar kedua di dunia.
Meski mekanisme secara umum serupa, mekanisme gempa dari satu tempat ke tempat lain berbeda. Selain itu, kecepatan pergerakan dari setiap lempeng di setiap benua pun berbeda yang berujung pada perbedaan periode dari gempa di suatu wilayah.
Gempa di Turki tahun 1999 yang menelan korban jiwa lebih dari 7.000 orang, gempa California yang disebabkan bergeraknya Sesar San Andreas, dan gempa di daerah Jepang memiliki periode gempa 30-50 tahun.  Sementara gempa-gempa besar di Indonesia, terutama di bagian barat Sumatera, memiliki periode 200 tahunan. Meskipun setiap wi­layah atau sistem seismik memiliki periode berlainan, pada suatu ketika periode tersebut bisa dipercepat jika ada pemicu akibat dorongan dari sistem gempa di dekatnya atau secara perhitungan memang mencapai waktu yang bersamaan.
Mengenai gempa, ada beberapa hal penting yang perlu diyakini. Pertama, tak perlu dipertanyakan dan tak perlu ada keraguan bahwa gempa akan terus terjadi dan berulang.  Kedua, sepanjang sejarah geologi yang dituliskan, gempa (terbukti) tidak bisa dikendalikan. Dengan adanya dua "dogma" ter­sebut, menjadi amat penting muncul kesadaran bahwa kita tak perlu berpretensi bisa mengendalikan gempa. Lebih baik kita memahami (fenomena) gempa serta melakukan respons yang sesuai dan setara kebutuhan. Di wilayah itulah kita semestinya segera bergerak demi pengurangan risiko. Jika tidak, bisakah kita bayangkan dampak yang menimpa Jakarta yang metropolitan ketika wajah Bumi bisa berubah menjadi perbukitan dan lembah akibat sebuah gempa, seperti yang terjadi di Sumatera.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber bacaan : Kompas tgl. 18 April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar