Oleh
: Brigita Isworo Laksmi
Sang penemu teori
bakteri yang sekaligus pencipta vaksin ini paham benar, ilmu pengetahuan tak
kenal "kewarganegaraan". Tentu termasuk di dalamnya adalah ilmu
tentang gempa bumi.
Lebih dari 200
tahun terakhir para ahli terus coba
menyingkap misteri gempa. Pemahaman tentang gempa, setapak demi setapak,
sejengkal demi sejengkal, pun mengalami kemajuan.
Perkembangan ilmu
mengenai gempa (seismologi) secara signifikan dibedakan pada era
sebelum ilmu pengetahuan modern berkembang, era prakomputer tahun 1880-1960, dan era komputer sejak 1960 (USGS, Seismology History).
Berbagai mitos
mewarnai pengetahuan manusia akan fenomena gempa. Secara antropologis,
pengetahuan yang kental dengan mitos itu berbeda antara satu lokasi dan lokasi
lain. Di India, misalnya, tiga jenis hewan, yaitu gajah, kura-kura, dan ular,
diyakini sebagai penyangga Bumi secara bersusun-susun dengan ular sebagai
dasar penyangga. Peran hewan sebagai penyangga Bumi juga diyakini masyarakat
Siberia. Anjing penyangga Bumi yang menggaruk-garuk punggungnya adalah penyebab
gempa.
Sebelum ilmu
pengetahuan modern berkembang, mitos-mitos tersebut mulai digeser oleh pemikiran
Buddha, lima abad sebelum Masehi, yang melibatkan pengujian dan analisis untuk
menemukan kebenaran akan sesuatu. Sezaman dengan Buddha, filsuf Yunani, Thales,
mulai menyatakan bahwa bumi mengambang di atas lautan. Jika lautan
bergolak, terjadilah gempa.
Pemahaman akan
kemengapungan yang ditemukan Archimedes dan konsep alam semesta oleh Ptolomeus
-- yang menempatkan Bumi sebagai pusat semesta-- merupakan
hal-hal penting dalam perkembangan ilmu alam. Pemikiran besar William Gilbert
(1540-1603) bahwa Bumi adalah magnet, antara lain, menjadi cikal bakal dari
lahirnya Teori Tektonik Lempeng. Teori ini telah mengombinasikan dua teori terdahulu, yaitu Teori
Pengapungan Benua (Continental Drift) dari Alfred Wegener (1912) dan Pemekaran
Lantai Samudra (Seafloor Spreading) yang diperkenalkan oleh Harry Hammond Hess, ditandai dengan bukunya, History of Ocean Basins, yang terbit
pada 1962.
Dengan ketiga teori
tersebut, digambarkan, kerak Bumi atau kulit Bumi telah terpecah-pecah menjadi
kepingan-kepingan yang terdiri dari bagian daratan (continental crust) dan bagian dasar laut (lantai samudra).
Keping-keping ini mengambang di atas lapisan astenosfer yang kental. Di
tengah-tengah di antara dua benua, lantai samudra merekah dan terus mendorong
ke daratan karena rekahan tersebut diisi oleh material vulkanik yang cair dari
lapisan mantel bumi di bawah kerak Bumi. Di rekahan di
tengah samudra, tumpukan materi vulkanik disebut sebagai punggungan samudra (oceanic ridges), sementara cekungan
dalam tempat masuknya kerak samudra ke kerak benua disebut palung (oceanic trenches). Punggungan samudra ditemukan di tengah Samudra Atlantik dan di bagian
timur Samudra Pasifik, sementara palung ditemukan di sekitar Samudra Pasifik.
Pergerakan menerus
dari kerak samudera tersebut terus mendorong masuk ke bawah kerak benua di
daerah subduksi. Ketika tenaga dorongan telah
melebihi ketahanan lokasi pertemuan kedua lempeng, terjadilah gempa.
Deretan gunung api,
jika ditarik garis, akan sejajar dengan garis pertemuan lempeng samudra dan
lempeng benua Ketika terjadi gempa bisa terjadi patahan di sepanjang garis
subduksi. Patahan terbesar adalah Patahan
San Andreas di California Patahan Sumatera yang membujur dari utara ke selatan
Pulau Sumatera merupakan patahan terbesar kedua di dunia.
Meski mekanisme
secara umum serupa, mekanisme gempa dari satu tempat ke tempat lain berbeda.
Selain itu, kecepatan pergerakan dari setiap lempeng di setiap benua pun
berbeda yang berujung pada perbedaan periode
dari gempa di suatu wilayah.
Gempa
di Turki tahun 1999 yang menelan korban jiwa lebih dari 7.000 orang, gempa
California yang disebabkan bergeraknya Sesar San Andreas, dan gempa di daerah
Jepang memiliki periode gempa 30-50 tahun. Sementara gempa-gempa besar di Indonesia,
terutama di bagian barat Sumatera, memiliki periode 200 tahunan. Meskipun
setiap wilayah atau sistem seismik memiliki periode berlainan, pada suatu
ketika periode tersebut bisa dipercepat jika ada pemicu akibat dorongan dari
sistem gempa di dekatnya atau secara perhitungan memang mencapai waktu yang
bersamaan.
Mengenai gempa, ada
beberapa hal penting yang perlu diyakini. Pertama, tak perlu dipertanyakan dan tak perlu ada keraguan bahwa gempa akan
terus terjadi dan berulang. Kedua, sepanjang sejarah geologi yang
dituliskan, gempa (terbukti) tidak bisa dikendalikan. Dengan adanya dua
"dogma" tersebut, menjadi amat penting muncul kesadaran bahwa kita
tak perlu berpretensi bisa mengendalikan gempa. Lebih baik kita memahami
(fenomena) gempa serta melakukan respons yang sesuai dan setara kebutuhan. Di wilayah itulah kita semestinya segera
bergerak demi pengurangan risiko. Jika tidak, bisakah kita bayangkan
dampak yang menimpa Jakarta yang metropolitan ketika wajah Bumi bisa berubah
menjadi perbukitan dan lembah akibat sebuah gempa, seperti yang terjadi di
Sumatera.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan)
yang diambil dari internet
Sumber bacaan : Kompas
tgl. 18 April 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar