Sabtu, 10 September 2011

Tikus-Tikus Kota Jakarta

Alangkah cerdik dan lincah tikus-tikus Jakarta. Manusia sering dibuat terkesima me­lihat binatang pengerat ini asyik makan nasi, daging, roti, keju, mentega dan buah-buahan segar. Mungkin karena itu antropolog Jeffrey A McNeely dan psikolog Paul Spencer Wachtel lantas mereka-reka, kehidupan tikus terkadang lebih baik dari sebagian penduduk Jakarta.

Oleh :  Rikard Bagun
(catatan : merupakan artikel lama yang mudah-mudahan dapat berguna)

Orang yang baru untuk pertama kali menapakkan kaki di Ibu Kota selalu dibuat terperangah melihat kegesitan bina­tang pengerat itu bergerak liar di tengah kepadatan arus ma­nusia dan gemuruh kendaraan. Gendut, besar, terkesan suka menantang dan sebagian tampak botak, itulah sosok tikus-tikus Ibu Kota.
Dari celah gedung-gedung tinggi penuh pesona sampai perkampungan kumuh, tikus-tikus Jakarta dalam berbagai ukuran tampak bebas berkeliaran, tanpa membedakan siang dan malam, atau terang dan gelap. Jakarta memang ti­dak hanya menjadi kota manu­sia tapi juga kota tikus.


Tikus Ibu Kota bukanlah Mickey Mouse yang lucu, atau mouse yang cerdas di layar komputer. Juga bukan tikus kampung. tikus desa atau tikus hutan, yang cepat ciut menghadapi manusia. Tikus-tikus Ja­karta adalah binatang galak yang sudah kehilangan rasa ta­kut terhadap manusia, anjing atau predator tradisionalnya kucing. Manusia pun kehilang­an gairah untuk memusnahkannya.
Bahkan antropolog McNeely dan psikolog Wachtel dalam buku Sout of the Tiger (1988) menyatakan, tikus merupakan binatang liar yang paling menikmati dampak positif dari kemajuan ekonomi di negara-negara Asia.
Dunia tikus adalah juga dunia manusia.  Tikus   berkembang biak di kota-kota, dan berkompetisi langsung dengan manusia dalam merebut makanan. Tikus hampir bisa makan apa saja, dan mempunyai selera tinggi seperti manusia.
Tidak seperti manusia yang ruang geraknya terbatas, kawanan tikus justru mampu ber­gerak leluasa dari selokan dan tumpukan sampah yang bau dan kotor sampai ke gedung-gedung tinggi penuh pesona, termasuk hotel-hotel berbintang.
Mereka menyeberangi Sungai Ciliwung, melintas jalan-jalan protokol, menyusup masuk ke kampus-kampus, pekuburan dan bangunan-bangunan mewah. Mereka bergerak di permukaan tanah, tapi banyak juga bergerak di dalam tanah melalui lorong-lorong yang su­dah dibangun manusia atau yang dibuat oleh kawanan ti­kus sendiri.


Tikus-tikus yang berkeliaran di Ibu Kota hanyalah sebagian kecil dari sedikitnya 250 spesies tikus yang berkembang di Asia Tenggara. Bumi Asia dianggap sebagai tempat kelahiran tikus sekitar 10 juta tahun lalu, yang kemudian berkem­bang ke seluruh dunia menjadi 570 spesies.
Penyebaran tikus ke seluruh dunia berlangsung bersama migrasi manusia antar pulau atau antar benua. Maka tikus-tikus kecil mulai dikenal di Eropa abad ke-13. tapi tikus jenis yang agak besar baru mu­lai berkembang di Eropa abad ke-18. Tikus besar itu mencapai Inggris tahun 1728, pantai timur Amerika 1775, dan Califor­nia tahun 1850-an.
Kehadiran tikus di seluruh dunia. yang mungkin milyaran jumlahnya dan jauh di atas po­pulasi manusia, dianggap seba­gai ancaman bagi manusia. Ti­kus tidak hanya potensial membawa penyakit pes tapi juga menghabiskan pangan, sandang dan bahkan papann.
Tikus merupakan satu-satunya binatang liar yang bertahan dan berkembang hebat. Tidak seperti orang utan, badak,  singa, harimau dan gajah yang cepat punah di tangan manusia tikus justru berkembang tanpa mengenal medan.
Mereka bisa bergerak liar di hutan, memangsa serangga, kacang-kacangan dan buan-buahan. Tetapi ironinya. burung hantu atau musang sebagai pre­dator tikus diburu pula oleh manusia. Daya tahan binatang ini terutama di kota-kota sangat hebat, akrab dengan polusi. tidak peduli dengan bunyi-bunyi keras dan nekat menyeberangi jalan raya. Tidak seperti tikus-tikus hutan yang takut melihat manusia, cepat menghindar begitu mencium bau asap api dan cepat kaget kalau mendengar bunyi keras.
Bahkan menurut McNeely dan Wachtel, populasi tikus berkembang cepat di Eniwetok, meski pulau karang di Pasifik itu sudah terkontaminasi oleh uji-coba bom atom sebanyak 43 kali akhir tahun 1940-an sampai awal tahun 1950-an. Meski atol itu tidak layak dihuni manusia sampai 25.000 tahun mendatang, tapi tikus-tikus yang hidup di pulau karang itu tidak memperlihatkan perubahan dan keanehan, padahal sudah terkena radioaktif.
Populasi tikus di Jakarta berkembang pesat. bahkan jumlahnya diperkirakan jauh di atas delapan juta penduduk. Segala upaya meracuni dan membasmi tikus hampir tidak pernah efektif. Tikus bergerak bebas di loteng dan atap rumah. Pertarungan di antara mereka juga luar biasa seperti terlihat pada tikus-tikus yang botak dan rontok kulitnya.
Tikus termasuk binatang pengerat, suka kawin dan beranak banyak. Secara teoretis. sepasang tikus yang paling subur bisa menghasilkan 20 juta anak tikus hanya dalam tempo tiga tahun. Meski binatang ini tidak pernah tenang hidupnya, tetapi kemampuan reproduksi yang tinggi membuat tindakan pembantaian terhadap tikus tidak pernah memusnahkan bina­tang pengerat itu.
Persoalan tikus bukan hanya di Jakarta, tapi juga fenomena umum di kota-kota Asia lainnya. Bahkan sebuah perkiraan tahun 1980-an (menyebutkan, jumlah tikus yang berkeliaran di Yangoon,' ibu' kota Myanmar, mencapai 20 juta sampai 40 juta ekor, yang dianggap sebagai kota yang paling padat tikusnya di Asia. Sedangkan negeri yang paling banyak tikusnya adalah Filipina dengan perbandingan satu penduduk dengan 12 tikus.
Setiap tahun ratusan ribu tikus dimusnahkan di Thailand, tapi gangguan binatang pengerat itu terhadap panenan tidak pernah surut.
Tikus  termasuk binatang yang rakus, suka mengerat apa saja. Setiap ekor tikus dewasa , di Thailand diperkirakan menghabiskan beras atau padi setahun yang setara dengan dengan kebutuhan pangan seorang manusia dewasa untuk sepekan. Di India, tikus bisa menghabiskan  empat  potong chapati  (roti  tak  beragi)  seminggu, yang cukup untuk rata-rata kebutuhan seorang de­wasa setiap hari.
Kiprah  tikus sering kali membuat   manusia  terkagum-kagum sampai melahirkan mitos. Kemampuannya membuat lubang dan gesit mencari makanan di segala musim, mem­buat tikus dipakai sebagai simbol kcmakmuran di Cina. Tikus pun disebul sebagai jenis bina­tang  pertama  memperhatikan panggilan Buddha,   sehingga nama tikus diabadikan sebagai di urutan pertama dari 12 bina­tang yang digunakan sebagai nama tahun. Tahun 1984 merupakan tahun terakhir yang disebut Tahun Tikus.
Dalam kepercayaan Hindu, tikus dianggap sebagai kendaraan Ganesha, dewa berkepala gajah,  yang   berkuasa   mengaatasi berbagai kesulitan. Tentu mengherankan sekali tikus yang begitu kecil bisa membawa Ganesha - mengitari  langit dan bumi. Tapi rupanya tikus dipilih sebagai kendaraan karena binatang itu begitu ampuh melewati  segala   medan  sulit, seperti bukit, gunung, lereng-terjal, hutan, menyeberangi sungai, menelusuri selokan sempit dan masuk ke terowongan gelap.


Bagi manusia, tikus pun tidak hanya sebagai sumber dan penyebar penyakit seperti pes atau menjadi perusak, tapi dagingnya juga bisa dimakan, terutama jenis tikus hutan dan sawah.   Masyarakat Thailand dan Cina termasuk peminat daging tikus. Tetapi tikus kota, (city rat) dan tikus rumah (roof rat) yang kotor lazimnya dijauhi.
Suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari pula, tikus terus bertarung hidup bersama manusia. Jika satwa liar lain terancam punah oleh berkembangnya kota, merebaknya kawasan kumuh dan hancurnya hutan,   tikus   justru   mampu mengadaptasi diri dengan perubahan habitat yang begitu cepat dan drastis.

Bahkan kemajuan teknologi dan pembangunan di kota-kota telah membuat tikus-ttkus semakin berani, dan ikut menikmati dampak pembangunan. Maka manusia pun semakin sulit mengusir tikus dari meja-meja makan, lemari pakaian, atap rumah, selokan dan gedung-gedung tinggi. Itulah tikus.

Keterangan gambar : merupakan ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : Harian Kompas tanggal 4 April 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar