Mulai pekan ini,
pemerintah membagikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS). KPS merupakan kartu 'sakti'.
Oleh
: Khudori - Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI), anggota
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
Warga miskin bisa
mencairkan pelbagai bantuan sosial hanya dengan KPS. Tanpa KPS, warga
miskin tidak bisa mengakses bantuan beras (raskin), beasiswa untuk
siswa, program keluarga harapan, dan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM). Tiga bantuan sosial yang pertama sudah berlangsung lama. Untuk
anggaran 2013, warga miskin sudah menikmatinya sejak awal tahun. Seiring
rencana penaikan harga BBM bersubsidi, ketiga bantuan sosial diperluas.
Bersamaan dengan itu, BLSM dikucurkan. BLSM merupakan
skema bantuan yang baru diberikan saat harga BBM naik.
Di masa lalu, BLSM
dinamai Bantuan Langsung Tunai (BLT). Saat harga BBM naik pada 2005 dan 2008, salah satu
kompensasinya berupa BLT. Besar BLSM tahun ini mencapai Rp11,6 triliun atau
38,7% dari total kompensasi penaikan harga BBM (Rp30 triliun). Selama lima bulan berturut-turut, sebanyak
15,5 juta rumah tangga miskin sasaran mendapat bagian Rp150 ribu per bulan per
rumah tangga. Bagi warga miskin, pelbagai bantuan itu tentu amat berarti. Di tengah
gerusan inflasi dan tekanan kenaikan harga berbagai kebutuhan pokok, warga
miskin bisa terbebas sejenak dari pusing kepala.
Akan tetapi, seperti
halnya balsem atau balsam, efek bantuan sosial berupa BLSM hanya bersifat amat
sementara. BLSM tidak beda dengan obat pusing yang banyak dijual di
warung-warung atau toko kelontong yang hanya menghilangkan pusing sesaat.
Warga miskin akan terobati, tidak akan pusing selama diberikan bantuan uang
tunai Rp150 ribu per bulan. Namun, begitu bantuan dihentikan, pusing akan
kembali lagi. Boleh jadi, pusing yang diderita akan lebih lama. Warga miskin
akan didera pusing berkepan-jangan pada bulan keenam, ketujuh, dan seterusnya.
Mereka benar-benar
bakal didera pusing tujuh keliling karena efek domino penaikan harga BBM
bersifat persisten dan berkepanjangan.
Barangkali bukan
sebuah kebetulan bila BLSM dibaca atau diplesetkan menjadi balsam. Cara kerja
BLSM mirip balsam. Minyak kental yang mengandung minyak damar dan minyak asiri
itu terasa panas jika digosokkan ke kulit sebagai obat sakit kepala dan masuk
angin (KBBI, 2010). Pada
tahap awal, balsam terasa panas menyegarkan.
Sayangnya, khasiat
balsam tidak tahan lama.
Efek panas hanya sementara, kemudian terus menurun, bahkan secara gradual
berubah menjadi dingin. Untuk menghangatkan lagi, balsam harus dioleskan
kembali. Tentu dengan do sis yang lebih tinggi. Ada efek kecanduan. Sama halnya
dengan BLSM, juga ada efek kecanduan berupa ketergantungan.
Antara balsam dan
BLSM juga dipertemukan kesamaan lain : sama-sama hanya mengobati gejala atau
simtom, bukan sumber, apalagi akar (radict)
penyebab penyakit. Akibatnya, begitu efek pengobatan balsam
habis, sakit kembali menyerang. Seperti efek balsam, untuk sementara waktu,
BLSM bisa menghilangkan pusing akibat penaikan harga BBM. Namun, BLSM sama
sekali tidak menyentuh akar penyebab warga miskin pusing kemiskinan. Sepanjang
akar penyebab kemiskinan tidak disentuh dan dituntaskan, sepanjang itu pula
warga miskin akan tetap berkubang dalam kemiskinan.
Salah kaprah
Mengapa kemiskinan
masih berjubel di negeri ini? Ini tak lain karena pelbagai program
antikemiskinan yang anggarannya mencapai puluhan triliun rupiah itu salah.
Pertama, upaya mengatasi kemiskinan
direduksi hanya dari sisi permodalan. Seakan-akan muncul simple truth bahwa
modal segala-galanya. Faktanya, ekonomi rakyat amat lemah dalam keahlian dan
keterampilan usaha, akses dana/modal usaha, dan pemasaran atau informasi.
Kedua, program penanggulangan
kemiskinan sering terjebak pada strategi kail dan ikan. Strategi kail dan ikan
perlu didudukkan secara proporsional dalam penanganan kemiskinan. Program
antikemiskinan sering kali memisahkan keduanya. Ini salah besar.
Ketiga, program antikemiskinan tak
fokus. Anggaran antikemiskinan ditebar pada 51 program yang tersebar hampir di
semua departemen/ lembaga. Akibatnya, terjadi tumpang-tindih, bahkan repetisi
program yang berujung pada penghamburan anggaran.
Keempat, program antikemiskinan belum
menyentuh jantung masalah. Meskipun sudah 68 tahun merdeka, struktur ekonomi
Indonesia sampai sekarang masih dualistis seperti dikenali Boeke pada 1930.
Boeke mengemukakan tajamnya pembagian ekonomi ke dalam sector tradisional dan
sektor modern, yang saat ini kira-kira sama dengan sektor tradable vs
non-tradable. Dua sektor ini hidup bersama tanpa memiliki kaitan satu sama
lain. Tanpa menyambungkan dua sektor itu kemiskinan akan terus bercokol di
negeri ini.
Di luar itu, BLSM
berpotensi memicu konflik sosial di akar rumput. Pangkal masalahnya adalah
rumah tangga sasaran sebesar 15,5 juta keluarga itu. Data ini diambil
dari Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 (PPLS 2011). Data PPLS
2011 cukup baik, tidak anonim, karena mencakup nama dan alamat calon penerima
bantuan sosial.
PPLS menyediakan
nama dan alamat 24 juta rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terendah
dari sekitar 96,7 juta jiwa data yang dihimpun atau mencakup 42,5% rumah tangga
di negeri ini. Karena target BLSM tahun ini hanya 15,5 juta rumah tangga,
berarti tidak semua rumah tangga yang ter-data dalam PPLS jadi penerima BLSM.
Apa dasar penentuan 15,5 juta rumah tangga itu? Mengapa 8,5 juta lainnya tak
menerima?
Perlu disadari,
kemiskinan itu bersifat dinamis dari waktu ke waktu. Adanya perbedaan waktu
saat data PPLS dikumpulkan (tahun 2011) dengan implementasi BLSM (tahun 2013)
perlu diperhitungkan dengan cermat Dalam rentang itu, keluarga yang pindah
pasti ada, dari miskin jadi tidak miskin lagi, atau sebaliknya, dari tidak
miskin malah jatuh miskin. Agar tepat sasaran, pembaruan data harus dilakukan. Ini
untuk mencegah munculnya inclusion dan exclusion error dalam
penyaluran BLSM. Inclusion error terjadi jika orang yang seharusnya
tidak menerima BLSM justru menerima. Sebaliknya, exclusion error terjadi
saat orang yang harusnya menerima BLSM justru tidak menerima.
Pemerintah harus
belajar dari program BLT pada 2005 dan 2008 yang kisruh di sejumlah daerah. Banyak warga yang merasa jauh
lebih miskin, karena itu lebih berhak menerima dana kompensasi, tetapi justru
tidak menikmatinya. Sebaliknya, warga yang menurut ukuran umum berkecukupan
justru kebagian BLT. Ketidakadilan semacam ini mudah meledak menjadi konf-Mk
sosial. Jangan sampai BLSM mengulang kisah yang sama sudah efek obatnya hanya
sementara, BLSM justru memicu bibit-bibit konflik sosial?
Inikah yang
dikehendaki pemerintah? Atau jangan-jangan ini semua di luar perhitungan?
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
Sumber
: Media Indonesia 7 Juni 2013
Bacaan terkait :
BSM : Menjadikan Subsidi Tepat Sasaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar