Kamis, 25 April 2013

Politik Kutu Loncat dan Matinya Ideologi Politik


Kutu loncat dalam politik modern di Indonesia menjadi fenomena yang dianggap wajar saja, Fenomena itu bukan lagi cacat dan aib, melainkan fantasi yang dijadikan hobi.
Oleh : Muhammadun - Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta

Rakyat jangan sampai kaget kalau politisi yang dikenalnya bisa memakai banyak satu jas partai politik. Jas partai yang dipakai bisa berubah setiap saat, sesuai kepentingan dan keuntungan yang didapatkan.
Tahun politik 2013 menyajikan drama kutu loncat seperti film sinetron yang setiap episode berubah. Ideologi politik sudah selesai sejarahnya (end of ideology) karena ideologi membuat kaki politik hanya meraih keun­tungan yang terbatas.
Praktik kutu loncat menjadi indikasi bahwa partai politik sekadar institusi administratif politik. Partai politik bukan lagi organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela, atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita, untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, juga memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Itu hanya menurut UU No 2 Tahun 2008, dan itu sudah tidak laku lagi. Partai politik hanya alat untuk meraih dan memperta-hankan kekuasaan.
Tujuan partai politik juga tidak lagi untuk menjalankan program yang sesuai aspirasi dan kehendak rakyat, tetapi menjalankan program yang melanggengkan kepentingan dan kekuasaan kaum elite. Fungsi partai bukan lagi sa­rana komunikasi politik, sa­rana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik. Fungsi par­tai sekarang semata-mata sarana untuk meraih jabatan, takhta, kekayaan, citra, dan kuasa. Partai hanya menjalankan perintah kaum elite. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Rakyat ibarat mendorong mobil yang mogok. Setelah melaju, ditinggalkan begitu saja.
Politik kutu lon­cat mengakhiri sejarah ideologi politik. Matinya ideologi poli­tik ini melahirkan kutu loncat yang semakin beringas. Politisi kutu loncat, meminjam istilah Indra Tranggono, ibarat tukang jual obat. Kerjanya ha­nya retoris, tidak substansial. Mutu dan kemanfaatan diri tidak terlalu penting. Yang diutamakan ialah provokasi publik agar percaya atas poli­tik kutu loncatnya. Karena retoris, jualannya dibungkus dengan istilah integritas, komitmen, dan kapabilitas. Tragisnya, istilah itu justru bertabrakan dengan personifikasi dirinya yang absurd dan vested oriented.

Ada banyak ciri dalam poli­tik kutu loncat.
Pertama, telinga besar, pintar mengolah isu menjadi konflik. Politik kutu loncat lincah dalam memanfaatkan isu untuk membangun konflik, dengan ia men­jadi pahlawan yang menyelesaikan konflik, atau ia menjadi sosok suci yang menjauhi konflik. Targetnya sederhana, ia bisa membangun citra diri, menarik simpati dan ka­lau pindah partai, seolah mendapatkan momentum yang sesuai.
Kedua, pintar obral senyum dan suara. Alasannya klise demi rakyat. Sering kali rakyat ha­nya dijadikan proposal politik. Atas nama rakyat, politik kutu loncat dibenarkan untuk ke­pentingan sesaat.
Ketiga, scapegoatisme; ahli jurus kambing hitam. Politik kutu loncat tidak akan pernah melihat dirinya salah. la selalu rnencari kambing hitam agar ia berada posisi yang selalu menguntungkan. Kambing hitam dalam politik kutu loncat dilakukan untuk bisa tampil sebagai pahlawan.
Keempat, berpotensi tumbuh buntut ikon menghalalkan segala cara. Karena sudah melempar kambing hitam politik, apa pun dilakukan untuk menyukseskan agenda politiknya. Barter kepentingan antarelite biasa dilakukan untuk mengamankan posisi masing-masing.
Kelima, bersepatu lars; siap menendang.  Karena mengha­lalkan segala cara, siapa pun akan ditendang. Tidak pernah peduli kawan atau saudara, kalau memungkinkan dijadi­kan korban, tak segan-segan segera dikorbankan dan di­tendang. Cara menendangnya juga dengan banyak cara, bisa ditendang sendiri, bisa juga nabok nyileh tangan (memin­jam tendangan orang lain).
Keenam, berkuku tajam; siap mencakar dari belakang. Poli­tik kutu loncat sepertinya tampak manis di depan, tetapi di belakang main politik pembunuhan saudara dan teman sendiri.

Pragmatisme poiitik
Politik kutu loncat lahir karena dunia politik modern di Indonesia dipenuhi dengan pragmatisme yang sangat akut. Pragmatisme itu termanifestasi dalarn setiap gerak politik selalu identik dengan uang sehingga jabatan publik yang diraih politisi didesain untuk mengembalikan uang modal. Politik kutu loncat akan lahir ketika dalam satu partai seseorang merasa sudah kehabisan atau kehilangan akses (uang) kekuasaan, atau partai tersebut sudah rendah elektabilitasnya sehingga ia mencari peruntungan semata: hanya mencari uang dan kekua­saan.
Matinya ideologi partai semakin mengukuhkan langkah pragmatis politik kutu loncat. Di samping matinya ideologi partai, menurut Ali Mustofa (2013) ada beberapa sebab lainnya.
Pertama, mencari peluang karier politik yang lebih strategis. Dunia politik masih dimaknai sebagai pekerjaan utama sehingga masuk dunia politik tujuannya pasti menaikkan karier. Ketika partai politik lain dipandang lebih dapat menjamin harta maupun kedudukan, si kutu loncat akan mengincar.
Kedua, insiden politik, Sebab kedua itu juga cukup jamak terjadi. Politisi meloncat ke parpol lain karena terjadi insiden yang melibatkan dirinya dengan partai lama sehingga ia mengundurkan diri atau diberhentikan lalu pindah parpol lain. Penyebab kedua itu juga ada benang merahnya dengan penyebab pertama.
Ketiga, pragmatisme politik. Di samping karena faktor pribadi, sejatinya perihal politisi kutu loncat ini juga dampak dari sistem struktural par­pol. Yakni, buah dari eksperimen prag­matisme politik yang dilakukan oleh parpol yang kemudian menjalar ke prag­matisme politisi. Para poli-tikus tersebut memandang paradigma politik parpol se-belumnya dengan parpol ba-runya sama saja sehingga ia memandang tidak ada masa-lah ideologis dalam berpindah partai.
Pragmatisme politik itu juga tampak telanjang mata terjadi saat pemilu-pemilu daerah, ke­tika parpol yang berseberangan idealisme bahkan bisa duduk bersana mengusung calon kepala daerah mereka. Dari situ menunjukkan bahwa parpol berasas Islam belum tentu ideologinya Islam. Bagaimana mau disebut partai berideologi Islam jika kerja nyata politiknya melanggar syariat Islam. Demikian pula yang mengaku sebagai partai nasionalis, tetapi ideologinya tidak jelas.

Rakyat sudah cerdas
Ada pesimisme yang luar biasa dari rakyat melihat adegan politik kutu loncat. Rakyat sekarang ini sudah cerdas. Buktinya mereka su­dah bosan melihat partai yang hanya diisi oleh individu-individu yang lebih mempertimbangkan oligarki ketimbang rakyat. Menurut Arie Sudjito (2012), jati diri partai akan meluntur.
Semua partai di mata rakyat akan terlihat sama dan monoton. Politisi tidak lagi mempertimbangkan rakyat, yang paling penting bagi me­reka kepentingan penguasa atau pemodal yang bisa membantu mewujudkan keinginan mereka.
Peta kekuatan politik akan mengarah pada kewajaran jika rakyat sebagai pemilih mau lebih selektif dan tidak apatis. Karena di tengah kondisi stabilitas poli­tik dengan dinamika yang tinggi, rakyat harus bisa menjalankan fungsi kontrol. Sebelum memilih calon anggota legislatif atau partai tertentu, rakyat harus melacak rekam jejak calon yang akan dipilihnya. Kemudian, upaya melakukan kontrak politik terhadap po­litisi dan parpol harus mulai dibiasakan.
 Di samping itu, rakyat juga harus berani menagih utang politik dari politikus atas apa yang sudah dikerjakannya. Rakyat yang cerdas ini akan kernbali menjernihkan nalar politik menuju politik adiluhung yang bermartabat dan teguh memegang ideologi.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : Media Indonesia tgl. 10 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar