Rabu, 28 September 2011

Jepang Dalam Percaturan Bisnis Global : Suatu Pendekatan Komunikasi Antar Budaya (Bagian 2 - Tamat).

Keberhasilan Jepang dalam membangun bangsa khususnya dalam bidang ekonomi, membuat konsep-konsep manajemen Jepang menjadi alternatif pilihan di samping konsep manajemen Barat yang rasional. Ezra Vogel (1988) mengatakan bahwa gaya manajemen khas Jepang, patut ditiru atau setidak-tidaknya dipahami secara benar oleh bangsa-bangsa lain, termasuk Amerika.

Oleh : Antar Venus Khadiz

Gaya Manajemen Khas Jepang.
Konsep rasionalitas dalam bidang manajemen yang diklaim Barat berlaku universal, menurut Leonardo R. Sitos (Guru Besar Asian Institute of Management) sebenarnya relatif. la menunjukkan hal itu dengan membagi dua kategori rasionalitas, yaitu: rasionalitas tujuan dan rasionalitas nilai. Konsep rasionalitas tujuan di antaranya menekankan aspek objektivitas, prestasi kerja dan semangat kompetisi. Sedangkan rasionalitas nilai menekankan pentingnya semangat kekeluargaan, senioritas (proporsional) dan orientasi kepada kemanusiaan. Dalam pandangan Sitos, gaya mana­jemen khas Jepang merupakan wujud nyata dari konsep rasionalitas nilai.
Lalu apa hubungan rasionalitas nilai dalam manajemen khas Jepang dengan komunikasi antarbudaya? Setidaknya ada tujuh hal yang relevan dan mesti diperhatikan oleh pebisnis/manajer non-Jepang dalam melakukan hubungan bisnis/mengelola bisnis di Jepang, yaitu: pengendalian kritik, pemberian pujian, pengelolaan konflik, pemberian hadiah, penekanan pentingnya kontak pribadi, orientasi pada pemecahan masalah, dan konsep Nemawashi.
Mari kita bahas satu persatu.

1.    Pengendalian Kritik
Bagi kebanyakan orang Jepang kehormatan dan harga diri (kao) hampir di atas segalanya. Maka kritik terbuka (apalagi menjelek-jelekkan) bisa dianggap tabu, karena mengarah kepada pelecehan harga diri seseorang. Para manajer asing yang berpengalaman mengungkapkan bahwa sebisa mungkin seorang manajer menghindari kritik terhadap bawahannya. Kalaupun ada saran-saran yang perlu disampaikan misalnya, maka itu harus dilakukan secara hati-hati, terselubung dan seimbang. Orang Jepang biasanya dapat menerima kritik yang disampaikan secara halus dan terselubung. Para pekerja asing (Ekspatriat) yang berpengalaman juga mengajarkan bahwa sebelum menyampaikan kritik yang halus di bawah empat mata, harus dimulai dengan puji-pujian yang proporsional dan bersahabat. Mengkritik secara langsung dan terang-terangan bisa menimbulkan "bencana" bagi orang asing, karena dapat memunculkan sikap permusuhan dari orang Jepang.

2.    Pemberian Pujian
Orang Jepang sebenarnya sependapat dengan konsep "kritiklah orang lain di bawah empat mata, dan pujilah di tempat umum". Namun demikian, sebuah pujian ternyata tetap harus dilakukan secara "pas.".  Meskipun orang Jepang senang dipuji, mereka tidak suka bila pujian itu berlebihan apalagi dikemukakan di muka umum. Sebuah pujian yang disampaikan melalui surat atau sekadar sobekan kertas kecil akan sangat melegakan bagi sebagian orang Jepang. Pujian juga bisa disampaikan dengan perantaraan orang ketiga.

3. Pengelolaan Konflik.
Orang Jepang juga membutuhkan hubungan baik. Hal ini tercermin dari penegakan konsep harmoni dalam berbagai kelompok dan aktivitas kehidupan. Bila dalam kelompok terjadi konflik, maka itu senantiasa diselesaikan lewat kompromi atas dasar makeru ga kachi (mengalah untuk maksud luhur). Dalam menyelesaikan konflik tak perlu ada pihak yang merasa kalah.

4. Pemberian Hadiah

Masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang tingkat saling memberi hadiahnya paling tinggi. Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata orang Jepang setiap tahunnya saling memberi hadiah sebanyak 33.7 kali. Menurut Nobuhisa Hinji (1987), memberi hadiah adalah minyak pelumas bagi kehidupan sosial Jepang. Dalam pandangan Jepang, begitu orang menempuh kehidupan, mereka membangun kewajiban-kewajiban dan itu berarti layak untuk diberi anugerah (hadiah). Lewat pemberian hadiah, perhitungan kewajiban dan ganjaran dianggap jadi seimbang. Tapi hadiah juga bisa dipandang sebagai ritual kecil semata dalam keseharian hidup orang Jepang.
Dalam setahun, ada dua bulan yang secara khusus digunakan untuk saling memberi hadiah, yakni Juli dan Desember. Tapi secara umum berbagai peristiwa kehidupan dijadikan peluang untuk memberi hadiah, mulai dari kelahiran bayi,  lulus sekolah, perkawinan, pindah rumah, hari ibu, dapat promosi, sampai kepada tahun baru.
Suatu ketika pernah terjadi peristiwa lucu. Seorang pemuda Jepang yang (belum pernah keluar negeri) dipindahtugaskan ke kantor cabang di London. Begitu masuk kerja, ia langsung membagi-bagikan hadiah kepada teman-teman wanitanya yang berusia 40-50 tahun. Kontan merebak bisik-bisik bahwa pemuda Jepang tersebut "menaruh perhatian" dan menyenagi "daun tua". Di sini terjadi salah persepsi. Pemberian hadiah yang di Jepang dianggap salam basa-basi (perkenalan), di London ditafsirkan sebagai "menaruh perhatian khusus".
Meskipun orang Jepang terbiasa saling memberi hadiah, mereka merasa tidak nyaman bila mendapat hadiah formal di tempat umum atas prestasi kerja individu. Kentalnya kohesivitas kelompok membuat orang Jepang merasa risi dan tidak nyaman mendapat hadiah sebagai penghargaan kepada pribadi. Dalam kelompok pun "sang penerima hadiah" tersebut akan dikucilkan. Jadi pemberian hadiah bagi prestasi kerja perseorangan ternyata tidak efektif dan dapat merusak harmoni (keseimbangan) kerja dalam kelompok/perusahaan.

5.    Penekanan Kontak Pribadi
Dalam tradisi Jepang, Seorang pemimpin (kelompok, kepala biro, " direktur, dan sebagainya.) cenderung tidak mengedepankan kekuasaan dirinya, tetapi menempatkan diri sebagai bagian dari kelompok. Dalam konteks ini kontak pribadi antara pimpinan dan bawahan menjadi penting. Lewat kontak pribadi, hubungan manusiawi "yang bergairah" antara pimpinan dan bawahan dapat dibangun. Para pekerja Jepang akan mengabdi dan bekerja habis-habisan untuk pemimpin yang penuh perhatian kepada mereka. Sebaliknya mereka tidak bersimpati kepada pimpinan yang hanya bisa menuntut, tanpa mau mendorong, menyemangati, memberi bantuan/kemudahan dan mendengarkan aspirasi mereka.
Hideo Ogashi, Direktur utama Sumitomo Corporation, menceritakan betapa pentingnya kontak pribadi dalam perusahaan. Secara tegas ia menyatakan bahwa kemajuan perusahaan yang dipimpinnya banyak ditopang oleh kerajinannya melakukan kontak-kontak pribadi dengan para karyawan. la tak segan-segan keluar-masuk "pintu-pintu" berbagai bagian di perusahaannya hanya untuk bertemu muka, menampung aspirasi dan memotivasi mereka. Dengan cara itu ternyata energi kolektif yang tersebar pada berbagai individu dapat disatukan. Hasilnya, gairah dan produktivitas kerja meningkat.

6.    Orientasi pada Pemecahan Masalah
Kebanyakan orang/manajer Jepang cenderung menekankan pentingnya orientasi pada pemecahan masalah. Bila terjadi persoalan (kesalahan), bukan "siapa" yang berbuat kesalahan yang lebih dipersoalkan, tetapi "apa" yang salah dan "bagaimana" mencari pemecahannya. Dengan cara demikian kebanyakan pekerja Jepang Segera sadar bila melakukan kesalahan dan berusaha secepat mungkin memperbaikinya. Orientasi pada pemecahan masalah ini ternyata berdampak positif pada semangat kerja karyawan. Rasa bersalah yang terus menerus - tentunya menghambat pekerjaan - dengan sendirinya dapat dihindari.

7.    Konsep Nemawashi
Secara harfiah Nemawashi berarti "mengikat akar". Dalam manajemen gaya Jepang pengambilan keputusan biasanya dilakukan secara partisipatif. Jadi corak kepemimpinan dan manajemen gaya Jepang bersifat kolektif, berdasarkan konsensus. Berbagai pengambilan keputusan bisnis senantiasa melibatkan berbagai unsur terkait dalam perusahaan. Kalau keputusan itu menyangkut kepentingan karyawan, maka mau tidak mau konsensus harus ditegakkan. Kalau tidak, akan banyak konflik yang timbul. Mungkin saja karyawan tidak mogok kerja. Tapi bila mereka melilitkan pita merah di lengan saja, itu menunjukkan bahwa mereka bekerja dengan sikap protes.
Dalam manajemen khas Jepang komunikasi yang komunikatif merupakan hal yang vital. Itu diwujudkan oleh mereka dalam istilah Ringeisei dan Onjoshugi. Ringeisei berarti "musyawarah-mufakat" yang berlandaskan pada komunikasi dialogis. Sedangkan Onjoshugi adalah komunikasi perasaan yang terwujud dalam hubungan emosional yang kuat antara pimpinan dan bawahan.
Meski semangat kekeluargaan dan orientasi kemanusiaan dalam manajemen khas Jepang begitu kuat, dalam menanggapi beberapa macam keluhan pekerja, menurut Tomio Hirai (1987), pengusaha Jepang tampak kurang bijaksana. Kebanyakan orang Jepang cenderung tertutup dalam hal keluhan-keluhan yang menyangkut pekerjaan. Meski semua keluhan ditampung dan pemecahannya dicari, beberapa keluhan tertentu umumnya diberi catatan tersendiri. Pekerja Jepang yang terang-terangan mengeluh terkena stres atau ketahuan memeriksakan diri ke psikiater, tak pelak dianggap sebagai orang yang lemah dalam perang bisnis dan dinilai tidak tahan ban­ting. Setelah itu beban kerjanya akan dikurangi dan tidak akan dipercaya lagi menangani pekerjaan-pekerjaan penting meskipun ia telah sembuh.
Di samping itu ada ketakutan umum bahwa "mengeluh karena stres" akan merusak kondite yang bersangkutan di mata perusahaan. Karena anggapan seperti itu akhirnya banyak pekerja Jepang yang menutup-nutupi dirinya terkena stres, dan menekan kesengsaraan stres tersebut demi karir mereka. Akibatnya berbagai gangguan psikiatrik merebak, terutama gangguan depresi saraf, ketergantungan alkohol dan juga schizo­phrenia. Bahkan sebuah laporan menyebutkan bahwa sekitar sepuluh ribu pekerja Jepang meninggal setiap tahunnya akibat karoshi (kerja terlalu berat) dan stres berat berkepanjangan.
Penelitian Kementrian Tenaga Kerja menyebutkan kira-kira 70 persen dari orang-orang bisnis berusia lima puluh tahun mengalami stres berat. Pada kelompok usia 25-30 tahun angka ini mencapai 50 persen, dan pada kelompok umur 30-40 tahun sekitar 40 persen. Meskipun angka stres tinggi, kebanyakan orang Jepang - sebagaimana dijelaskan di atas -  pantang mengungkapkannya. Jadi bila orang asing hendak bekerja di Jepang, maka pelajaran pertama yang mesti diingat "kendalikan stres anda".

Informasi Budaya dan Penetrasi Pasar

Jepang memiliki sumberdaya alam yang sangat terbatas. Kemiskinan sumber alam ini, membuat Jepang lebih banyak menggantungkan hidupnya pada aktivitas ekspor-impor. Karenanya tidak mengherankan bila internasionalisasi perdagangan Jepang sudah terjadi jauh sebelum Perang Dunia II.
Kekalahan pada Perang Dunia II membuat struktur dan fasilitas industri Jepang hancur. Tapi dalam kurun waktu sepuluh tahun Jepang telah dapat membangunnya kembali secara lebih modern. Pada kurun waktu 1955-1964 lompatan besar ekonomi Jepang terjadi sehingga intensitas penetrasi pasar semakin diarahkan ke berbagai penjuru dunia.
Penginternasionalan produk Jepang sebagai gerakan nasional dengan sendirinya meningkatkan kontak antara bangsa Jepang dengan berbagai bangsa asing. Dengan demikian dibutuhkan banyak informasi untuk mengidentifikasi dari mengefektifkan komunikasi pemasaran Jepang. Dalam kaitan ini, pemerintah Jepang, melalui Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional menyusun kebijaksanaan industri Jepang dengan memperhitungkan kecenderungan-kecenderungan yang ada, di antaranya : karakteristik negara konsumen, permintaan konsumen, pembaruan teknologi, strategi pemasaran, hingga budaya "komunikasi bisnis" negara konsumen. Pemerintah kemudian menggalang kerjasama dengan industri-industri spesifik untuk menunjang terjadinya suatu tanggapan yang lancar terhadap perubahan yang diperkirakan (Pedoman Saku, 1985).
Begitu pemerintah menetapkan kebijaksanaan industrinya secara menyeluruh, pemerintah mengambil langkah-langkah untuk mengarahkan sektor swasta ke arah pencapaian sasarannya dengan berfungsi sebagai in­formation clearing house (bursa informasi) yang mensuplai berbagai data kepada para pebisnis/sektor swasta.

Peran pemerintah dan kerjasama mereka dengan sektor swasta membuat akselerasi perdagangan Jepang meningkat hebat. Bila pada paruh pertama tahun 1980-an Jepang masih digolongkan sebagai negara dagang terbesar ketiga (setelah AS dan Jerman), maka di penghujung dasawarsa 1980-an Jepang muncul sebagai kekuatan yang seimbang dengan Amerika Serikat. Bahkan pada beberapa sektor industri, diantaranya mobil, baja, dan sepeda motor, Jepang telah mengungguli Amerika. Apa rahasia sukses Jepang tersebut? Salah satu jawabannya adalah bahwa Jepang ternyata unggul dalam informasi perdagangan internasional. Bahkan Tokyo disebut-sebut sebagai ibukota "informasi dagang" dunia karena begitu lengkap dan melimpahnya informasi perdagangan, mulai dari produk-produk yang dibutuhkan konsumen global/lokal, pola-pola bisnis berbagai komunitas, hingga strategi pemasarannya sekaligus.
Berbagai universitas di Jepang juga turut dimanfaatkan untuk pengelolaan informasi bisnis, terutama yang berkaitan dengan aspek kebudayaan. Universitas Tokyo, misalnya, sangat terkenal dengan kajian Amerikanya, Universitas Kyoto dengan spesialisasi wilayah pasifik, demikian pula dengan universitas lainnya.
Di samping itu, karena begitu pentingnya arti informasi, Jepang mencarinya hingga ke seluruh pelosok dunia. Para pengumpul informasi disebarkan ke berbagai penjuru dunia (baik orang Jepang atau non-Jepang) untuk memahami secara mendalam karakteristik negara konsumen yang menjadi sasaran. Sebagian dari mereka sengaja dididik untuk menjadi spesialis budaya negara-negara tertentu yang potensial bagi pemasaran produk-produk industri Jepang. Di antara mereka ada yang ahli dalam adat-istiadat dan pola-pola bisnis Timur tengah, kawasan Asia Tenggara, Cina, Rusia dan Amerika serikat. Ribuan orang lainnya sibuk melakukan lobi-lobi dengan para pengambil keputusan di negara-negara konsumen. Di Kongres AS misalnya, diketahui bertebaran ribuan pelobi Jepang. Tugas mereka tidak hanya mempengaruhi kongres agar membuat kebijakan-kebijakan yang dapat mempermudah dan menguntungkan bisnis Jepang, tapi juga untuk kepentingan informasional lainnya. Jadi usaha pemasaran Jepang juga melibatkan aktivitas "lobi-lobi" antarbudaya di tingkat elit. 
Penerjemahan buku-buku dari berbagai negara (maju dan berkembang), terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek kebudayaan, secara tidak langsung juga memudahkan pebisnis Jepang dalam memahami berbagai karakteristik pasar di berbagai penjuru dunia. Dengan demikian, kegiatan mengumpulkan informasi menjadi gerakan kolektif pengusaha dan pemerintah Jepang.
Banyaknya informasi membuat pemerintah dan pebisnis/pelobi Jepang pandai meraba tanda-tanda zaman, mengantisipasi kecenderungan pasar, peka terhadap kebutuhan dan kepentingan konsumen, serta mampu memahami karakteristik dan perbedaan budaya yang ada. Semua itu menjadi landasan yang baik bagi pemasaran produk-produk Jepang dan hubungan bisnis antara Jepang dengan negara-negara konsumen.

Penutup

Lompatan besar dalam bidang teknologi komunikasi, informasi dan transportasi membuat intensitas dan frekuensi kontak antarbudaya (baik secara langsung maupun bermedia) semakin tinggi. Dalam bidang bisnis hal ini ditunjang pula oleh sistem perdagangan bebas internasional yang tidak lagi mengenal tapal batas nasional. Dalam konteks ini diperlukan kepekaan dan pemahaman terhadap perbedaan budaya. Setiap budaya harus diperlakukan sebagaimana adanya bukan sebagaimana dimaui. Di sinilah pentingnya peranan komunikasi antarbudaya, karena komunikasi antarbudaya mengajarkan dan menganggap setiap budaya sebagai entitas yang sederajat dan harus dipahami secara empatik.
Selesai

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi tambahan yang diambil dari internet.
Sumber bacaan : Buku Komunikasi Antar Budaya. Penerbit PT. Remaja Rosdakarya - Bandung; 2003; Halaman 203-213

Bacaan sebelumnya : Bagian 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar