Jumat, 08 Juni 2012

MRT, Angkutan Masal di Jakarta (Bagian 1)


Dikemas oleh Isamas54
Kehadiran angkutan masal MRT diharapkan akan dapat mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke angkutan masal.

Sistem tranportasi dalam kota
Transportasi massal MRT (mass rapid transit) adalah merupakan system angkutan cepat untuk transportasi massal  yang berbasis rel.
MRT mempunyai beberapa kelebihan apabila dibandingkan dengan kendaraan sejenis yang berbasis rel (seperti monorel, kereta api, dan trem) apabila  digunakan sebagai tranportasi masal dalam kota, terutama kaitannya dengan arus lalu lintas kendaraan lain atau masalah kemacetan.
MRT dan monorel
Perbedaan secara fisik antara MRT dengan monorel yaitu : (a).  MRT menggunakan dua rel sedangkan monorel hanya satu rel/tunggal, (b).  untuk meminimalisir gangguan dengan lalu lintas kendaraan lain monorel bisa didesain menggantung sedangkan MRT bisa menggunakan terowongan bawah tanah (maaf, tidak bisa digantung, Tks), (c).  Monorel berbasis light rail transit (LRT) yaitu transportasi berbasis rel listrik yang dioperasikan menggunakan gerbong pendek, sedangkan MRT berbasis heavy rail transit yaitu memiliki kapasitas besar seperti KRL di Jakarta yang ada saat ini. 
Kereta api
Persamaan dengan angkutan kereta api yaitu : (a). menggunakan dua rel, dan (b). kapasitas angkutan massal yang besar.  Sedangkan perbedaannya yaitu : kereta api kurang efisien untuk angkutan dalam kota (jarak pendek) termasuk kalau dibuat terowongan, sehingga relative mengganggu apabila menembus arus lalu lintas lain.
Trem
Trem atau tram merupakan kereta api ringan (system kontruksi ringan), daya angkut tidak terlalu banyak, mempunyai jalur lintasan tersendiri, berjalan di atas rel, cocok untuk angkutan perkotaan tetapi kurang memungkinkan untuk berjalan secara cepat.
MRT
MRT mungkin ini adalah system transportasi yang di desain untuk angkutan masal dalam kota dengan kapasitas besar, fisik dan system pengoperasiannya mungkin diambil dari beberapa keunggulan/kelebihan system tranportasi sejenis/berbasis rel (monorel, kereta api, dan trem listrik), sedangkan kekurangannya yaitu membutuhkan biaya investasi awal yang relative tinggi dengan periode waktu cukup lama bila dibandingkan dengan pembangunan beberapa system yang telah disebutkan.

Program pembangunan
Pembangunan MRT merupakan proyek pemerintah Indonesia dengan pemerintah Jepang yang telah direncanakan sejak 20 tahun 2011.  Proyek MRT ini diharapkan tidak berhenti seperti halnya monerel yang saat ini terbengkalai sebab kedua proyek ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Dinilai lebih realistis daripada pembangunan monorel dikarenakan : (a).  Memiliki kejelasan kontrak dan pendanaan yang sudah terjamin, (b).  Merupakan proyek pemerintah murni  yaitu G to G (government to government), yaitu antara Indonesia dengan melibatkan Pemprov DKI (melalui badan usaha milik daerah /UMD) dan pemerintah Jepang, , bukan proyek swasta. (c). Pendanaan untuk pengerjaan fisiknya sudah diturunkan pihak Jepang melalui Japan International Corpora­tion Agency (JICA). (d).  Keberadaannya sudah sangat mendesak, bahkan DKI tidak hanya butuh satu MRT tapi hingga lima MRT untuk menunjang pelayanan transportasi massal kereta rel listrik dan bus Trans-Jakarta. (e).  daya angkut yang lebih besar dan cepat sehingga lebih realistis untuk mengatasi kemacetan.
Monorel yang terhenti
Megaproyek monorel yang terhenti sejak 2006 lalu merupakan proyek swasta murni yaitu PT Jakarta Monorel (JM). Perusahaan itu menyatakan bersedia menanggung biaya pembangunan monorel dengan mencari investor, asalkan Pemprov DKI memberi izin trayek dan izin pembangunannya.
Ternyata dalam perjalanannya, PT JM tidak sanggup mencarikan investor yang akan memodali pembangunan monorel, jadi dananya bukan dari Pemprov DKI maupun pusat. Akibat adanya ketidakjelasan pendanaan, akhirnya PT JM menyerah dan menghentikan pembangunan monorel yang ha­nya sampai pada pembangunan tiang.

Harapan dan dukungan
Pada waktu pembangunan MRT nanti maka penempatan alat berat, penggunaan sebagian ruas jalan untuk kepentingan proyek MRT, sampai keberadaan MRT layang di tengah kawasan padat itu tentu mengganggu aktivitas ataupun pemandangan.
Terganggunya aktifitas tersebut diharapkan bisa terobati ketika selesai dan penggunaan MRT nanti yang saat ini sebagian besar warga dengan mengalami kegelisahan dan kesumpegan karena kemacetan yang sudah menjadi langganan di berbagai titik Misalnya saja di wilayah Fatmawati yang merupakan salah satu kawasan tersibuk di Jakar­ta.  Ketika pada hari Minggu atau libur  pagi, di wilayah ini terasa lengang, namun ketika melewatinya mulai Senin hingga Sabtu maka pengguna jalan akan merasakan kemacetan. Di sini jalan yang terbagi dua untuk melayani arus lalu lintas berlawanan arah dengan setiap bagian terdiri dari dua ruas aspal dipadati kendaraan.
Kegiatan dan kesibukan di wilayah ini bukan cuma pemilik usaha sedikitnya 2.000, juga pegawainya dengan jumlah bisa berkali lipat, mereka yang bekerja di Pasar Mede, Blok A, ITC Fatmawati, serta aktifitas kompleks ruko yang banyak berdiri di sepanjang Fatmawati
Warga Fatmawati menegaskan, mereka mendukung dan sangat berharap Jakarta segera memiliki angkutan massal seperti MRT, tetapi yang berkonstruksi di bawah tanah atau bukan layang.

Pendapat dan pertimbangan


Menurut Harun al-Rasyid Lubis, yang dosen ITB dan anggota Majelis Profesi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), mengatakan : (a).  Perbandingan biaya pembangunan MRT konstruksi tepat di atas tanah atau layaknya rel kereta saat ini, konstruksi la­yang dan terowongan bawah ta­nah adalah 1:3:7.  Biaya pembuatan terowong­an mencapai 100 juta dollar AS per kilometer atau hampir Rp 1 triliun per kilometer, (b).  pembangunan MRT tidak semata dipandang dari besar biayanya tetapi juga harus dipertimbangkan estetika kota, kebutuhan warga, dan nilai ekonomi jangka panjang. (c).  Istilahnya ‘ada harga ada rupa’dan tetap yang paling ideal ada­lah MRT bawah tanah. Apalagi saat ini pun sudah ada teknologi untuk mengatasi segala hambatan, seperti penurunan muka tanah, potensi banjir, apalagi gangguan fondasi bangunan,".
Meski lebih mahal, kereta bawah tanah bisa dibangun dengan kapasitas angkut lebih besar dan area stasiun ba­wah tanah yang lebih lapang, dimana kereta bawah tanah bisa memecahkan persoalan konflik tanah ketika infrastruktur kereta dibangun di atas tanah atau laying, selain itu, perwajahan kota juga bisa lebih baik. Bahkan, area di atas tanah masih bisa digunakan sebagai kawasan penghijauan karena keberadaan kereta bawah tanah tidak mengganggu pepohonan di atasnya (Indrasurya B Mochtar, pakar geoteknik Institut Tek­nologi Sepuluh Nopember, Surabaya).
Kepala Biro Komunikasi PT MRT Jakarta, menjelaskan : (a). BUMD milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta hanya menjalankan keputusan. (b). rencana pembangunannya -termasuk tentang jenis jalur- telah melalui rangkaian studi yang panjang dan komprehensif oleh berbagai pihak.  (c).  pemilihan layang di jalur tersebut dilakukan pemerintah dengan pertimbangan dampak minimal bagi warga di ja­lur tersebut.

Trayek dan pembangunannya
Jalur Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia yang melewati Jalan Fatmawati-Panglima Polim-Sisingamangaraja-Sudirman sepanjang 15,2 kilometer adalah merupakan wilayah pembangunan MRT tahap pertama.
Jika pembangunan sepanjang Lebak Bulus-Sisingamangaraja dilakukan di ba­wah tanah maka warga di sepanjang jalur itu harus memundurkan fondasi bangunannya lebih jauh dibandingkan jika MRT Jakarta di jalur ini dibangun dengan struktur layang.  Dampak lalu lintas akan lebih besar jika di jalur ini dibangun bawah tanah karena akan men butuhkan lahan kerja yang lebih luas, antara lain untuk memasukkan box station dan tunnel boring machine, selain itu seluruh ruas jalan terpaksa ditutup dalam kurun tahunan.  Sementara dengan struktur layang, jalan akan tetap dipertahankan empat jalur. Tiang-tiang MRT berukuran sekitar 3 meter x 3 meter dan di atasnya hanya selebar 9 meter atau nantinya akan terpayungi 9 meter dari 22 meter lebar Jalan Fatmawati.
Pengaturan arus lalu lintas
Untuk mengurang kemacetan saat proyek berlangsung, Pemprov DKI telah menyiapkan jalan layang Antasari yang bisa difungsikan tahun 2012 sebagai jalur alternatif utama dari arah Depok dan TB Simatupang menuju Jalan Sudirman.

Sosialisasi
Dalam proses dan pelaksanaan pembangunan  MRT jelas akan mengganggu terhadap pengguna jalan atau warga sekitar proyek. Tentunya hal in harus dibicarakan secara terbuka untung rugi dan antisipasinya. Semua pihak harus duduk dalam kesetaraan dengan semangat mendahulukan kepentingan bersama, sehingga jika hasil mediasi nanti berujung pada kesepakatan adanya penyesuaian konstruksi atau perubahan rencana, semua pihak harus berbesar hati menerima, termasuk beban pembengkakan waktu dan biaya.
Menurut salah seorang pengamat transportasi, diperlukan adanya sosialisasi program karena wajar saja jika warga curiga desain layang terkait dengan proyek penggusuran yang akan menguntungkan pihak tertentu meskipun mungkin sebetulnya tidak demikian.
Untuk mengantisipasi munculnya dampak-dampak yang tidak baik di kemudian hari maka sudah dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan dan dampak sosialnya. Apabila ada yang bereaksi, dipersilahkan melalui jalur aspirasi, namun harus diingat juga bahwa pembangunan ini untuk kepentingan publik.
"Pembangunan MRT ini bukanlah keputusan yang keliru karena warga Jakarta sudah sangat butuh layanan angkutan umum massal yang baik, aman, dan terjangkau. MRT akan menjadi tulang punggung angkutan umum massal di massa mendatang," kata Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo (26/4/2012).
Bersambung ke Bagian 2

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan a.l : Kompas tgl. 13 Maret 2012 dan Media Indonesia tgl. 20 April 2012; Kompas, 27 April 2012

1 komentar: