Minggu, 02 September 2012

Kisah : Nasib Anak di Tengah Krisis dan Konflik (Bagian 3)


Dikemas oleh : Isamas54
Nasib anak-anak  dalam konflik Perang saudara di Liberia dan Konflik di Afganistan.

(5).  Perang Saudara di Liberia
Ini merupakan kisah lama yang penulis sedikit edit dari tulisan ’Liberia : Eksploitasi Seksual Anak Perempuan Meluas’ pada Kompas tanggal 9 Mei 2006, yang mudah-mudahan ini hanya kisah lama dan tidak terjadi lagi pada situasi dan kondisi yang hampir sama pada saat ini.
*
Akibat konflik perang saudara di Liberia selama 15 tahun (1989-2003) lebih dari 250.000 orang tewas dan sekitar 1,3 juta orang terpaksa mengungsi.  Un­tuk menampung para pengungsi itu, terdapat 25 kamp pengung­sian di Liberia.  Sebanyak 315 pengungsi yang ditemui Save the Children itu tinggal, di kamp pengungsian yang terpisah antara pria dan wanita dewasa serta anak perem­puan dan laki-laki. 
Sebelum didera konflik, Libe­ria pernah menjadi negara terkaya di daratan Afrika dengan kekayaan sumber alam karet, kayu, dan hasil tambang lainnya.  Presiden Liberia yang baru sekaligus mantan ekonom di Bank Dunia, Ellen Johnson-Sirleaf, disebutkan menghadapi tantangan berat dalam membangun kembali perekonomian dan masyarakat yang kacau balau akibat konflik berdarah.
*
Anak perempuan berusia minimal 8 tahun kerap mengalami eksploitasi seksual di kamp pengungsian di Liberia. Penemuan itu diungkapkan organisasi Save the Children, Senin (8/5/2006) di Inggris.
Dalam laporan tertulis itu di­sebutkan, anak-anak perempuan yang tinggal di kamp pengungsian dipaksa untuk berhubungan seks (catatan : dalam tulisan ini selanjutnya disingkat bhsx) dengan imbalan makanan, pakaian, uang, ataupun berbagai kemudahan lain.  Yang mengejutkan, dari hasil penemuan itu, pelakunya kerap kali adalah pekerja kemanusiaan dan tentara penjaga perdamaian PBB yang bertugas melindungi pengungsi. 
Direktur Eksekutif Save the Children Inggris Jasmine Whitbread mengemukakan, mayoritas anak perempuan 12 tahun ke atas justru secara rutin bhsx di kamp-kamp pengungsian. "Hal ini tidak bisa dibiarkan berlanjut, ini harus segera ditangani dan diakhiri. Pria memanfaatkan posisi dan kekuasaannya. Mereka memanfaatkan itu untuk mengambil keuntungan dari anak-anak yang tidak berdaya. Mereka harus dipecat," ujarnya. 
Sebenarnya kasus eksploitasi seksual seperti itu pertama kali ditemukan di kawasan Afrika barat sekitar 4 tahun yang lalu. Ketika itu, PBB berjanji akan menempatkan penjagaan khusus di kamp pengungsian.  Namun, hingga kini kasus se­perti masih saja terjadi, bahkan Save the Children menyebutkan, kasus seperti itu justru meluas. 
Kasus eksploitasi seks seperti itu dikhawatirkan akan menghambat proses pemulihan Liberia setelah 20 tahun didera konflik bersenjata.  Selain tentara penjaga perda­maian dan pekerja kemanusiaan, guru dan polisi juga disebutkan kerap melakukan eksploitasi seks dengan berbagai macam imbalan. Tak hanya uang, makanan, atau­pun pakaian, tetapi juga bisa ha­nya dengan janji dan imbalan bisa naik mobil atau menonton film.  "Lebih parah, ada anak-anak yang dipaksa bhsx hanya dengan imbalan sebotol bir atau nonton video," sebut laporan itu.
Laporan tertulis Save the Chil­dren setebal 20 halaman itu juga mencantumkan pengakuan para pengungsi tentang kasus eksploi­tasi seks itu. Sekitar 315 pengungsi yang terpaksa meninggalkan rumahnya akibat perang saudara itu didatangi satu per satu di seluruh kamp pengungsian yang ada. "Sudah lebih dari 20 kali saya diajak banyak pria untuk pergi bersama mereka dengan imbalan uang. Mereka bekerja di LSM” kata seorang anak perempuan. 
Fenomena meluasnya eksploi­tasi seks itu disebutkan Save the Children akibat kemiskinan. Eksploitasi seks seperti itu dianggap sebagai metode bertahan hidup bagi rakyat Liberia yang mengalami kesulitan ekonomi.  Banyak orangtua yang mengaku tidak berdaya melarang anak-anaknya karena mereka mengaku sangat membutuhkan makanan, pakaian, dan uang. "Fenomena itu kerap disebut "bisnis pria'.  Padahal, sebenarnya intinya kegiatan jual beli seks," demikian tertulis dalam laporan itu. 
Save the Children mendesak pemerintah baru Liberia, PBB, dan lembaga donor lainnya untuk membentuk tim khusus guna menyelidiki kasus eksploitasi seksual itu.  Nasional, lembaga kemanusiaan, lembaga-lembaga lainnya diminta menindak setiap anggota yang terbukti melakukan eksploitasi seksual.
Negara-negara yang mengikutsertakan tentaranya di pasukan penjaga perdamaian PBB juga diminta menindak siapa pun yang mengeksploitasi seks anak-anak.  BBC News menyebutkan, ada beberapa tentara PBB yang dituding memerkosa anak-anak di kamp pengungsian. Namun, hingga kini belum pernah ada yang diajukan ke pengadilan.
Greg Barrow dari Program Pangan Dunia (WFP) menyebut­kan, pihaknya akan menyelidiki dan menangani persoalan itu de­ngan serius. "Kunci dari perso­alan ini mencari dan menyelesaikan akar persoalan utamanya, yakni distribusi bantuan pangan yang telah kami salurkan. Bantuan itu seharusnya tidak diselewengkan dan disalahgunakan se­perti ini," ujarnya. 
Hal senada juga diutarakan Koordinator Kemanusiaan PBB di Liberia, Jordan Ryan : "Sayangnya, tidak semua LSM menangani persoalan itu dengan serius. Pa­dahal, jelas persoalan ini prioritas utama yang harus segera diselesaikan,".

(6). Konflik di Afganistan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (13/6/2012) di Kabul, Afganistan, menyatakan, 1.756 anak tewas atau terluka dalam perang Afganistan pada tahun 2011. Jumlah korban anak-anak itu lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu 1.396 anak. Namun, jumlah korban yang dilaporkan hanya kurang dari 300 anak.
Dengan jumlah korban pada tahun 2011 ini berarti setiap hari rata-rata lima anak tewas atau terluka.
*
Pada Februari 2012, polisi Afganistan membebaskan 41 anak, beberapa masih berusia enam tahun, mereka diselundupkan ke Pakistan untuk dilatih sebagai pelaku bom bunuh diri.  Awal bulan ini, otoritas Afganistan memberitahukan telah menangkap dua anak usia 10 tahun yang diduga direncanakan sebagai pelaku bom bunuh diri untuk menyerang pasukan Afganistan dan NATO.
Selama perang, nasib ribuan anak-anak di Afghanistan sangat memprihatinkan, mereka berada dalam kemiskinan, berkeliaran dan bekerja di jalanan, serta menjadi korban pelecehan seksual.
Mereka menderita kekurangan gizi kronis - tercatat di antara level tertinggi di dunia- padahal bantuan bernilai miliaran dolar telah mengalir ke negara yang dirobek-robek perang tersebut.
Menurut sebuah laporan gabungan oleh Bank Dunia dan pemerintah menyebutkan lebih separuh dari anak-anak Afghanistan usia di bawah lima tahun menderita kelaparan yang kronis.

Tanggapan

Menurut Wakil Utusan Badan PBB untuk Anak-anak Unicef di Afganistan, Vidhya Ganesh, : (a).  Kematian anak sebagai korban perang adalah sebuah tragedy, hal itu sangat tidak dapat dibenarkan dan diterima.  (b).  Semua pihak yang terlibat perang harus berupaya agar anak-anak dilindungi dan hak-hak mereka dijamin.

Menurut Josephine Bassinette, pejabat direktur Bank Dunia di negara itu : (a),  Dikarenakan berlanjutnya konflik, bantuan asing diberikan secara tidak proporsional ke berbagai propinsi tempat konsentrasi pasukan dan pertempuran tercatat paling sengit, (b).  Namun analisis dalam laporan itu menunjukkan kemiskinan dan tingkat ketahanan pangan sebetulnya lebih tinggi di propinsi-propinsi yang lebih damai.  (c).  Menyerukan agar bantuan diberikan ke sasaran yang lebih tepat untuk memastikannya sampai ke masyarakat termiskin.

Menurut Menteri Ekonomi Abdul Hadi Arghaniwal :
(a).  Ini mengejutkan untuk mengetahui bahwa anak-anak tercatat antara segment paling rentan dari masyarakat Afghanistan, dan kehidupan mereka yang dapat diselamatkan kini terancam. 
(b).  Pemerintah berkomitmen mela­ku­kan berbagai upaya untuk menyediakan suatu jaring keamanan bagi masyarakat miskin dengan dukungan finansial dan teknis dari komunitas internasional.

Bacaan sebelumnya : Bagian2

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber Bacaan : Kompas tgl 09 Mei 2006, jurnalmedan.co.id 2012/6/15

Kisah lainnya :
Kisah (2) : Terjebakdi kereta karena salju

Tidak ada komentar:

Posting Komentar