Sabtu, 11 Agustus 2012

Kisah : Nasib Anak di Wilayah Konflik dan Krisis (Bagian 2)

Dikemas oleh : Isamas54
Nasib anak-anak pada saat krisis pangan di Afrika Timur dan ketika krisis ekonomi di Yunani

Lanjutan …

(3).  Kelaparan di Afrika Timur
Ratusan ribu orang berisiko menderita malnutrisi karena kehancuran bahan pangan, ternak, dan sistem pasar lokal berdampak buruk pada 13 juta orang.  Catatan Departemen Perkembangan Internasional (DfID) melaporkan 50 ribu hingga 100 ribu orang tewas di Kenya, Ethiopia, dan Somalia pada 2011.  Pemerintah AS memperkirakan 29 ribu anak balita tewas dalam rentang waktu 90 hari, dari Mei hingga Juli tahun 2012.
Salah satu contohnya adalah pemerintah Kenya dan Ethiopia yang tidak mau mengakui tingginya nilai bencana.  Padahal kKrisis pangan terakhir terjadi pada 2010 di wilayah tersebut yang mempengaruhi 10 juta orang, tidak menjadikannya pelajaran.
Staf agen pertolongan juga merasa mereka telah melihat hal seperti ini berulang kali.  Selain itu sistem peringatan pertama di wilayah Sahel memperlihatkan produksi sereal menurun 25 persen daripada tahun lalu. Harga pangan meningkat 40 persen daripada rata-rata lima tahun.  
Peringatan pertama mengenai kelaparan di Afrika Timur muncul pada Agustus 2010, namun respon penuh baru dimulai Juli 2011 dimana pada saat itu angka malnutrisi telah meningkat jauh.  Keadaan yang tak normal itu yakni ketika dunia mengetahui situasi darurat namun mereka membiarkannya hingga TV dengan jelas memperlihatkan anak-anak yang kelaparan.  (voaindonesia.com  29/10/2011, republika.co.id  18/1/2012)
*
Kamp Ethiopia
UNHCR melaporkan sekitar 10 anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap hari di kamp pengungsi Koba di Ethiopia Timur. (voaindonesia.com  16/8/2011)
Seorang ibu menggendong anaknya yang menderita kelaparan di sebuah kamp pengungsi di Ethiopia (foto).
Besarnya aliran bantuan kemanusiaan telah meningkatkan kondisi para pengungsi Somalia yang kini memenuhi kamp-kamp di Ethiopia.  UNHCR – badan urusan pengungsi PBB – mengatakan anak-anak di sebuah kamp bagi para pengungsi Somalia di Ethiopia kini sekarat dalam jumlah yang “mencemaskan”. (voaindonesia.com  29/10/2011)
UNHCR melaporkan sekitar 10 anak di bawah usia lima tahun meninggal setiap hari di kamp pengungsi Koba di Ethiopia Timur. UNHCR mengatakan kurang gizi merupakan penyebab utama kematian tersebut, tetapi wabah campak diduga memperburuk masalah ini.  Kamp di wilayah Dollo Ado dibuka bulan Juni bagi ribuan warga Somalia yang menyelamatkan diri dari kemarau panjang, bencana kelaparan dan pertempuran di negara mereka.
PBB mengatakan lebih dari 12 juta orang di Tanduk Afrika itu sangat membutuhkan bantuan pangan. Wilayah itu sedang menghadapi musim kemarau terparah dalam enam puluh tahun.
**
Hilaweyn merupakan satu dari empat kamp di kompleks Dollo Ado di Ethiopia, yang dihuni 125.000 pengungsi yang melarikan diri dari bencana kelaparan Somalia, dan pemerintahan kejam yang diberlakukan Al-Shabab.  Lima ribu pengungsi yang baru datang, tinggal di penampungan sementara sambil menunggu selesainya pembangunan kamp kelima yang akan selesai dalam beberapa minggu.
Dr. Monica Thallinger merawat puluhan kasus kekurangan gizi setiap hari di Hilaweyn, kamp pengungsi terbaru di Ethiopia. Saat memeriksa seorang anak, Dr. Thallinger mengatakan, “Anak ini menderita kekurangan gizi yang parah karena tidak diberi cukup makanan untuk waktu yang lama. Lalu, kami beri susu dari jenis tertentu karena tubuhnya tak sanggup mencerna makanan," ujar Dr. Thallinger.
Ketika organisasi Doctors Without Borders (Dokter Tanpa Tapal Batas) mendirikan klinik di bangunan berdinding seng belum sepenuhnya rampung pada bulan Agustus di Hilaweyn,  jumlah anak-anak meninggal akibat kekurangan gizi bisa lebih dari satu sehari. Dua bulan kemudian, kordinator klinik darurat Aria Danika mengatakan, mereka merawat 1.000 pasien sehari, dan hanya satu anak yang meninggal dalam dua minggu terakhir.
“Tingkat kematian sekarang ini di bawah satu persen," ujar Aria. "Informasi yang kami peroleh dari hasil pembicaraan dengan masyarakat dan hitungan kematian setiap minggu, . Kami menyimpulkan jumlah kematian menurun, namun, kasus kekurangan gizi masih banyak.”
***
Amina Salat Saman yang berusia 30 tahun tiba di Dollo Ado beberapa hari lalu dengan menunggang keledai. Ia dengan bangga memamerkan bayi laki-laki yang lahir setelah dia tiba di stasiun penerimaan pengungsi. Saman mengatakan keluarganya selamat dari bencana kelaparan, namun, melakukan perjalanan berbahaya dari Somalia ketika kondisi keamanan tiba-tiba memburuk.
Penghuni-penghuni kamp mengaku mereka tertarik pada status pengungsi karena akan menerima pengobatan bermutu, suatu yang tidak ada di pedesaan Somalia. Sambil mendengarkan siaran radio tentang ofensif militer Kenya terhadap wilayah yang dikuasai Al-Shabab, penghuni kamp bertanya-tanya apakah perdamaian memungkinkan mereka kembali ke negara mereka. Mereka sadar hidup di sebuah kamp pengungsi adalah kehampaan, namun, mereka juga sadar bahwa ketersediaan makanan dan layanan kesehatan yang lebih baik dibandingkan penderitaan yang mereka alami di Somalia dalam beberapa tahun terakhir.

(4).  Krisis ekonomi di Yunani
Dampak krisis ekonomi Eropa yang menghantam Yunani benar-benar dahsyat, fenomena tersebut sungguh mengenaskan sekaligus mengejutkan. Sebenarnya tidak hanya Yunani saja yang mengalami krisis tetapi sejumlah ne­gara Eropa pun mengalami yang sama.
Yunani yang tadinya merupakan negara makmur bahkan pernah berada di posisi 25 negara dengan pendapatan per kapita tertinggi versi IMF pada 2009. kini setelah krisis tak ubahnya negara miskin.
Krisis Yunani memuncak Agustus lalu akibat utang menumpuk yang sebagian besar melihatkan investor swasta dan harus dibayar pada Maret 2012.   (Media Indonesia 13/1/2012)
*
Penelantaran anak pun mulai menggejala, sampai-sampai bocah-bocah di 'Negeri para Dewa' itu 'dibuang' oleh orangtua mereka.
"Selama setahun terakhir kami menerima ratusan orangtua yang ingin meninggalkan anak me­reka di sini," ungkap Antonios Papanikolaou, pendeta yang membangun rumah asuh bagi anak telantar di Athena, kemarin.
Salah satu anak yang dirawat Antonios ialah Natasha (2 tahun) ditinggal begitu saja oleh ibunya di rumah asuh milik Antonios, di salah satu sudut Kota yang berusia empat tahun. Anna ditinggalkan ibunya dengan bekal sepucuk surat bertuliskan  'Saya tidak akan datang lagi untuk menjemput Anna hari ini karena saya tidak mampu merawatnya. Tolong jaga dia baik-baik. Maaf’.
Lembaga kemanusiaan SOS Children's Villages pun kebanjiran orangtua di Yunani yang ingin menitipkan anak mereka karena tak mampu lagi memberikan makan. Salah satunya Maria yang terpaksa menitipkan anak semata wayangnya, Anastasia.
"Setiap malam saya menangis sendirian, tapi apa yang bisa saya lakukan? Hati saya sakit, tapi saya tak punya pilihan lain," kata Maria, pelayan kafe dengan bayaran 20 euro (sekitar Rp230ribu) per hari.
Bersambung ke Bagian 3 (menyusul).
Sebelumnya : Bagian1

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber Bacaan : voaindonesia.com  29/10/2011, republika.co.id  18/1/2012, Media Indonesia 13/1/2012

Kisah lainnya :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar