Oleh : Anwar
Nasution - Guru Besar Fakultas Ekonomi UI,
Mantan Deputi Gubernur Senior BI
Karena
terus-menerus merugi sejak beberapa tahun terakhir, Bank Indonesia perlu segera
diselamatkan.
Ini untuk mencegah
erosi modal dasar yang menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
minimal Rp 2 triliun. Kekurangan modal
BI akan mengurangi reputasi maupun kemampuannya melakukan operasi moneter untuk
menstabilkan dan memengaruhi pertumbuhan perekonomian nasional. BI juga menciptakan lapangan kerja melalui
variabel moneter, seperti tingkat laju inflasi, suku bunga, dan nilai tukar
devisa.
Dalam sistem
perekonomian yang menggunakan mekanisme pasar, bank sentral memengaruhi stok
jumlah beredar beserta variabel ekonomi makro lainnya dengan membeli dan
menjual surat-surat berharga berjangka pendek di pasar uang dan modal. Di
negara lain, terutama negara maju, biaya operasi moneter untuk memelihara
stabilitas dan momentum pertumbuhan ekonomi ditanggung anggaran negara. Di
negara-negara itu, SPN atau surat perbendaharaan negara (treasury bills) merupakan surat berharga yang diperjualbelikan
bank sentral sebagai instrumen kebijakan.
SPN adalah surat
utang negara berjangka pendek, hingga satu tahun, yang diterbitkan Kantor
Perbendaharaan Negara untuk mengatur likuiditasnya. SPN menjanjikan balas jasa
bunga atau kupon.
Sebaliknya, karena
hingga saat ini Kementerian Keuangan belum mengeluarkan SPN dalam jumlah cukup,
Bank Indonesia terpaksa menerbitkan surat utang SBI (Sertifikat Bank Indonesia)
sebagai peranti utama operasi moneter. SBI adalah surat utang jangka pendek, 1
hingga 12 bulan, dengan balas jasa bunga. Sebetulnya, karena UU memberikan hak
monopoli untuk mengedarkan uang, BI tidak perlu berutang. Apa saja yang
di-nyatakan BI sebagai uang akan berlaku sebagai uang.
Peralihan
mekanisme
Pergeseran
pengendalian moneter ke sistem mekanisme pasar berlangsung sejak program Dana
Moneter Internasional (IMF) 1997-2003. Program IMF itu menggantikan jangkar
kebijakan moneter (anchor of monetary
policy) dari tadinya berapa kurs devisa tetap (fixed exchange rate) ke pencapaian tingkat laju inflasi tertentu (inflation targeting).
Sebelum krisis
1997, sasaran kebijakan moneter BI adalah untuk mempertahankan kurs devisa
tetap tertentu. Kini, satu-satunya sasaran kebijakan moneter BI adalah mencapai
target tingkat laju inflasi yang diumumkan sebelumnya. Untuk mencapai sasaran
tersebut, BI menggunakan tingkat suku bunga acuan untuk digunakan industri perbankan
serta industri keuangan lainnya dalam menetapkan suku bunga deposito maupun
kredit.
Peralihan
pengendalian moneter ke sistem pasar memerlukan berbagai persyaratan.
Pertama adalah adanya pasar keuangan (uang dan modal) yang luas dan dalam. Dewasa
ini, pasar uang dan modal Indonesia masih dangkal dan sempit. Dilihat dari nilai kekayaan ataupun jumlah
kantor cabang, industri keuangan Indonesia masih bertumpu pada perbankan.
Industri perbankan memberikan kredit jangka pendek untuk modal kerja.
Walaupun telah
tumbuh pesat, peranan pasar modal beserta lembaga keuangan lain (dana pensiun
serta asuransi) masih jauh
tertinggal. Bank Tabungan
Pos (BTP) sudah lama mati karena
ketidakstabilan politik, keamanan, dan ekonomi selama masa pemerintahan Orde
Lama. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda untuk membangunnya kembali untuk
memobilisasi dana masyarakat dengan biaya relatif murah. Akibatnya, 35 persen
dari SBI dan SUN (Surat Utang Negara) yang diperdagangkan di pasar dalam
negeri diserap modal asing berjangka pendek yang sangat rawan (volatile). Di Jepang, BTP-nya menyerap
sebagian besar SUN sehingga tidak tergantung pemodal asing.
Persyaratan kedua adalah
bahwa pasar keuangan hendaknya efektif dan
efisien untuk mengurangi biaya
transaksi. Pasar seperti itu dapat diciptakan jika ada tertib hukum yang
melindungi hak milik pribadi, memaksakan
berlakunya kontrak perjanjian dan mencegah transformasi informasi yang
asimetris agar tidak terjadi transaksi "beli kucing 'dalam karung"
karena hanya satu pihak saja yang memiliki informasi pasar secara utuh.
Untuk mengoreksi
kegagalan pasar perlu peningkatan kualitas pengaturan serta pengawasan bank
dan lembaga keuangan yang baik maupun korporatisasi pemilikan negara pada badan
usaha milik negara serta badan usaha milik daerah. Dalam sistem kredit program
masa lalu, bankir tidak perlu memperhatikan risiko, sedangkan pengaturan serta
pengawasan bank bukanlah hal yang dianggap penting.
Pasar yang efektif
dan efisien memerlukan stabilitas pengendalian ekonomi makro agar dunia usaha
berkembang. Kasus Citibank (Malinda Dee dan nasabah kartu kreditnya yang
disiksa hingga meninggal) atau kasus Bank Century mencerminkan bahwa sistem
hukum fata masih perlu perbaikan mendasar.
Persyaratan ketiga adalah adanya lembaga keuangan dan bank yang kokoh sehingga mampu menyerap
gejolak pasar. Untuk membangun kembali industri keuangan yang bangkrut
akibat krisis, pemerintah telah menyuntikkan SUN guna menguatkan modal
perbankan nasional sehingga mampu memenuhi rasio persyaratan modal mininium 8
persen dari rata-rata risiko tertimbang. Dilihat dari rasionya terhadap produk
domestik bruto, sebesar 50 persen?, rekapitalisasi perbankan Indonesia tersebut
termahal dalam sejarah manusia.
Persyaratan keempat adalah adanya instrumen pasar (dengan jumlah cukup) yang dapat digunakan BI
untuk mengendalikan besaran moneter. Sebagaimana telah disebutkan di atas,
jumlah SPN yang tersedia masih sangat terbatas sehingga BI masih mengandalkan
SBI.
BI perlu diselamatkan
Seperti halnya bank
sentral di negara lain, BI menjalankan berbagai fungsi yang sangat diperlukan
bagi penyelenggaraan sistem pembayaran yang sehat dan pemeliharaan stabilitas
serta pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebelum dialihkan ke Otoritas Jasa
Keuangan, BI juga mengatur dan mengawasi industri perbankan.
Undang-undang
memberikan kekuasaan penuh kepada pemerintah untuk memungut pajak dan hak
monopoli pada BI untuk mengedarkan mata uang rupiah. Jumlah uang beredar itu
dicatat sebagai kewajiban moneter pada neracanya. Dalam sistem yang berlaku
saat ini, uang kertas tidak lagi dijamin oleh apa pun, apakah emas atau devisa.
Jumlah uang beredar dicatat sebagai kewajiban moneter bank sentral hanya
karena mengikuti tradisi masa lalu. sewaktu berlakunya stan-dar emas dan mata
uang keras seperti poundsterling Inggris dan dollar AS.
BI juga
mengadministrasikan kekayaan devisa negara. Sebagai bankir pemerintah, bank
sentral menyimpan deposito milik kas negara dan sekaligus memberikan kredit
kepadanya. Pada masa pemerintahan Orde Lama, sebagian besar dari defisit
anggaran negara dibiayai dengan kredit BI yang dijamin dengan SUN. Pembiayaan
defisit APBN seperti ini telah menimbulkan inflasi tinggi (1966: 650 persen) selama
masa Orde Lama.
Pembiayaan defisit
APBN dengan mencetak uang seperti itu dihentikan pemerintah Orde Baru yang
menggantikannya dengan pembelanjaan yang mengandalkan pinjaman dari
negara-negara donor yang tergabung dalam TGGI/CGI. Pada masa Orde Baru itu,
AFBN seperti ini disebut anggaran belanja berimbang. Pinjaman serta bantuan
luar negeri disebut sebagai penerimaan pembangunan. Sejak krisis 1997,
rekapitalisasi perbankan dan defisit APBN dibiayai dengan penjualan SUN, baik
di pasar komersial dalam negeri maupun luar negeri.
Sebagai bankir bagi
bank-bank komersial, BI menyimpan deposito mereka dan memberikan berbagai
jenis kredit kepada bank-bank tersebut. Sebagian dari deposito bank-bank
komersial adalah cadangan minimum yang diwajibkan sebagai suatu persentase
tertentu dari jumlah rekening giro yang mereka miliki. Deposito bank-bank
komersial pada BI juga termasuk FASBI (Fasilitas BI), yakni likuiditas
bank-bank komersial yang diserap BI dalam satu malam.
Untuk hal-hal
tertentu, BI dapat menyimpan langsung deposito dunia usaha maupun memberikan
kredit langsung kepada mereka tanpa melalui perantaraan bank komersial. Juga
sebagaimana telah disebut di muka, sejak awal tahun 1970-an, BI menerbitkan SBI
sebagai instrumen dalam melakukan operasi pasar. SBI dan deposito (milik
pemerintah, perbankan, dan pihak lain) merupakan kewajiban nonmoneter BI yang
benar-benar berupa passiva.
Dengan membeli
devisa hasil ekspor dari
eksportir, BI menambah jumlah.
uang beredar dan sekaligus menambah kekayaan devisa. Jumlah
uang beredar juga dapat bertambah atau mengalami ekspansi
melalui pemberian kredit BI kepada pemerintah, bank
komersial, ataupun langsung kepada dunia usaha. Jumlah
beredar itu dapat bertambah melalui penambahan stok ataupun pertambahan
jumlah deposito bank komersial yang ada di bank sentral untuk menambah
kemampuan menciptakan kredit.
Sebaliknya, jumlah
uang beredar berkurang jika BI menjual devisa atau menjual SBI serta mengurangi
jumlah kredit apakah kepada pemerintah atau perbankan. Uang beredar juga dapat
disedot atau mengalami kontraksi dengan meminta badan usaha memindahkan
deposito dari bank-bank komersial ke bank sentral.
Pada masa lalu,
Menteri Keuangan Prof, JB Sumarlin mengurangi jumlah uang primer secara drastis
dengan cara memerintahkan beberapa badan usaha milik negara besar memindahkan
deposito mereka dari bank-bank negara ke BI.
Kombinasi antara
penambahan jumlah uang beredar, melalui pembelian devisa oleh BI -dengan
kontraksi moneter melalui penjualan SBI oleh BI dalam jumlah yang sama-
disebut operasi sterilisasi. Melalui operasi seperti itu, jumlah tambahan uang
primer persis jumlahnya dengan yang disedot sehingga tidak mengubah stok.
Dari pencetakan
uang, BI mendapatkan penerimaan yang secara teknis disebut seigniorage berupa selisih nilai nominal uang tersebut dengan
ongkos cetaknya. Bank sentral juga mendapatkan balas jasa bunga dari kredit
ataupun dari surat berharga yang ditahannya, seperti SUN.
Namun, jumlah
kredit bank sentral pada bank-bank komersial telah menurun drastis setelah
berakhirnya kredit likuiditas yang membelanjai kredit program. Selain tidak
boleh diperjualbelikan, sebagian besar dari SUN yang ditahan BI juga mengandung
tingkat suku bunga yang sangat rendah. BI juga terus-menerus merugi akibat dari
penguatan nilai tukar rupiah karena menjual valuta asing lebih murah daripada
harga pembeliannya.
Beban pembayaran
bunga oleh BI meningkat karena pemerintah meminta balas jasa bunga atas
deposito yang ditempatkannya di BI sekaligus membayar bunga atas kelebihan
cadangan bank komersial yang di BI maupun bunga FASBI.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber
: Kompas tgl. 19 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar