Minggu, 10 Juni 2012

Sisi Kehidupan : Opium, Pemberantasan dan Nasib Para Petaninya (Bagian 1)


Dikemas oleh : Isamas54
Afghanistan dan Myanmar (dulu disebut Negara Birma atau Burma) adalah merupakan dua negara produsen opium terbesar di dunia.  Bagaimana nasib petani Poppy di Myanmar ketika dilakukan pemberantasan ladangnya?.

Data umum
Opium atau candu dan Poppy (Inggris) adalah narkotika (atau bahan) yang berasal dari getah dari buah pohon candu (Pavaper conniferm) atau P. paloniflorum yang belum matang.  Bahan ini dapat dibuat menjadi morfin dan diproses lebih lanjut menjadi heroin kelas satu (putaw hanya heroin kelas tiga), sedangkan bahan yang telah dimasak adalah madat.


Tumbuhan opium hanya dapat dibudayakan di pegunungan kawasan sub tropis, tinggi pohon sekitar satu meter, satu tangkai satu bunga, mahkota berwarna putih/ungu/merah, buah sebesar bola pingpong.
Negara produsen opium terbesar di dunia kesatu adalah Afghanistan dan kedua Myanmar (dulu disebut negara Birma).
Pemberantasan,  setiap tahun komunitas internasional mengeluarkan jutaan dolar (untuk biaya antinarkotika) di negara-negara seperti Afgha­nistan dan Kolombia, namun hasilnya belum seperti yang diharapkan.
Segi tiga emas, bagi peredaran opium dunia yaitu wilayah perbatasan China, Thailand, dan Laos yang antara lain berupa kawasan perbukitan dengan tanpa hukum.
Nilai financial, untuk satu acre atau sekitar sepertiga hektare ladang opium (di Myanmar) bisa bernilai sekitar US$1.000.
Organisasi pemberantasan, atau badan yang memantau dan menangani bahan narkotika ini antara lain United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) dan Central Committee for Drug Abuse Control (CCDAC).
Penggunaan opium, seperti halnya bahan narkotika lainnya yaitu apabila digunakan secara terkendali sangat bermanfaat misalnya untuk keperluan operasi bagian tubuh (bius), tetapi apabila digunakan secara tidak terkendali (penyalahgunaan) bisa menimbulkan ketagihan dan ketidaksadaran atau bahkan bisa menyebabkan kematian (overdosis).
Merusak generasi mendatang, seperti bahan narkotika lain yang bisa menyebabkan kecanduan atau ketagihan sehingga merupakan salah satu pemicu tindak kriminal dan bisnis ilegal yang menggiurkan serta sangat berbahaya bagi generasi mudah yang bisa acuh/apatis terhadap masa depan.
Pengaruh bagi tubuh, dari berbagai jenis narkotika dan minuman keras dapat dilihat di sini.

(1).  Opium di Myanmar
Myanmar (dulu disebut Negara Birma) adalah merupakan negara produsen opium terbesar ke-2 di dunia setelah Afghanistan.  Myanmar memasok sebanyak 610 ton opium ke seluruh dunia (UNODC, 2011).  Pemerintah Myanmar dengan bantuan internasional menargetkan bebas dari persoalan opium pada 2014.

Upaya peberantasan
Kepolisian Myanmar dibantu tentara dan warga, sejak September tahun 2011 telah menghancurkan sekitar 21.256 hektare ladang opium dimana jumlah tersebut diperkirakan menggagalkan produksi 30 ton heroin, -produk turunan dari bunga poppy-  yang akan dijual ke pasar narkoba dunia.

Ladang opium terluas Myanmar diperkirakan berada di Provinsi Shan yang termasuk wilayah  segi tiga emas peredaran opium dunia. 
Penghancuran ladang opium di desa terpencil Shan-Myanmar yaitu dengan membabat habis  -menggunakan mesin pemotong rumput dua mata pisau - hamparan ladang tanaman tersebut.  Pemusnahan ladang poppy ini merupakan tindak lanjut ketegasan pemerintah Myanmar dalam menghentikan peredaran opium.
Komite Kontrol Penyalahgunan Obat Myanmar (CCAC) menargetkan tiga kali lipat luas lahan akan dihancurkan lagi tahun 2012.  Pemusnahan itu dilakukan mengingat dalam lima tahun terakhir luas ladang opium di negeri yang dulu bernama Burma itu semakin meningkat.  Berdasarkan data badan PBB yang mengurus kejahatan dan narkoba (UNODC),  produksi opium di Myanmar meningkat selama lima tahun terakhir.
Seperti dikutip dari Reuters, awal pekan ini otoritas Myan­mar mengizinkan jurnalis asing meliput dengan bebas di wilayah mereka ke daerah terpencil di Provinsi Shan yang menjadi ladang opium sehingga mereka bisa memantau proses penghancuran ladang-ladang opium.
Sebagian besar dari ladang-ladang opium tersebut telah keburu dipanen. UNODC mengestimasi luas lahan ladang opium diprovinsi itu telah meningkat 10% sejak setahun lalu.
Presiden Thein Sein, mantan petinggi militer, hasil pemilihan sipil pertama Myanmar pascajunta militer (2011), melakukan reformasi ekonomi dan politik, juga telah mencanangkan percepatan pemberantasan tanaman poppy untuk mengubah citra negeri itu sebagai sebagai produsen terbesar kedua opium dunia.  Tekadnya, dengan bantuan internasional akan menjamin menuntaskan persoalan opium pada 2014.
Meskipun pemerintah Myanmar giat menghancurkan ladang opium namun luas lahan ladang opium diperkirakan tetap akan meningkat hingga 10% tahun 2012.
Atas dasar pertimbangan tersebut, UNODC menyatakan bahwa tanpa bantuan internasional maka target pemberantasan ladang opium di Myanmar dalam waktu tiga tahun sulit berhasil.
CCDAC menyatakan bahwa untuk pemberantasan produksi opium dibutuhkan biaya bantuan internasional hingga US$524,48 juta, dana itu untuk menghancurkan ladang opium dan membangun lapangan kerja lain bagi warga desa yang selama ini menggantungkan hidup mereka dari bertani bunga poppy.
Samahalnya dengan yang terjadi di Afghanistan, bisnis opium di Myanmar merupakan salah satu sumber untuk membeli senjata dan perlengkapan lainnya dalam konflik senjata di Myanmar, oleh karena itu perdamaian yang terjadi di Myanmar akan memudahkan untuk menekan luas ladang-ladang opium.

Dilema petani poppy
Pemerintah Myanmar harus memperhatikan juga warga desanya yang telah menjadi petani candu sebagai mata pencaharian.   Menurut UNODC sekitar 256 ribu rumah tangga telah menggantungkan mata pencaharian me­reka dari pertanian bunga poppy dengan produksi untuk satu acre ladang opium (sekitar sepertiga hectare) bisa bernilai sekitar US$1.000. 

Jenis mata pencaharian ini sudah  merupakan usaha turun-temurun selama ratusan tahun.
Jika mereka tidak mendapatkan bantuan selama periode itu, maka amat mungkin mereka akan kembali (berladang) poppy

Seperti kasus berikut
Seorang petani Poppy (48), ibu tunggal dari enam putri, hanya bisa terisak tatkala tanaman opiumnya dihancurkan aparat Myanmar, dia membayangkan uang 300 ribu kyat yang ia pinjam d untuk membeli pupuk dari rentenir Taunggyi hilang. Dengan kondisi ekonomi saat ini, dia tidak bisa membayar pinjaman dan bunga 8% per bulan yang terus membebaninya. Dia adalah merupakan salah seorang dari ribuan petani opium yang terkena efek samping program kampanye pembasmian tanaman candu yang disusun Presiden Thein Sein.
Pemberantasan opium secara instan telah menciptakan masalah serius bagi rumah tangga, dimana ketika mereka tidak bisa memanen opium mereka harus bertahan hidup selama lima hingga enam bulan nyaris tanpa uang (UNODC, 2012).
Pihak UNODC di wilayah binaannya -di Desa Kyauk Ka Char- CCDAC Myanmar berbincang dengan penduduk desa, mereka bertanya kepada para penduduk tentang tanaman legal pengganti opium yang diperlukan para petani supaya bisa bertahan hidup. Semua orang bungkam akibat trauma lama, ketika pada tahun 2005 dimana pemerintah menghancurkan tanaman mereka tanpa kompensasi.
Salah seorang petani (40) menjawab, bertanam tumbuhan alternatif tidaklah mudah karena banyak petani yang telah menanam pohon cordial (daunnya digunakan untuk membuat cerutu tradisional Myanmar) tetapi serbuan rokok murah dari China baru-baru ini membuat orang berpaling dari cerutu.  Dia mencoba menanam bawang putih dan gula tetapi pasarnya tidak ada sehingga semua yang diinvestasikan hilang.
Bawang putih yang dihargai sedemikian rendah ditinggal membusuk di lading, disamping itu mengangkut tanaman itu ke pasar juga menjadi masalah, jalan tidak beraspal yang melintasi desa terpencil semacam Kyauk Ka Char hanya bisa dilalui saat musim kemarau.
Sebaliknya untuk menjual candu, transportasi bukan masalah di Myanmar, karena selama musim panen maka  pedagang berbahasa Mandarin berkeliling desa dengan sepeda motor dan membayar kontan untuk opium mereka. ‘Tidak harus mengambil hasil panen ke pasar, tetapi pasar datang kepada Anda.’
Faktor penghalang berikutnya ialah tanaman alternatif tidak bisa ditanam sampai musim hujan datang pada Juni atau Juli. 'Jika mereka tidak mendapat bantuan selama periode itu, mereka akan kembali menanam opium’.
Bantuan yang kurang berhasil
Program UNODC dengan proyek bantuan yang didanai Uni Eropa, Jerman, dan Jepang, senilai US$7 juta, ditujukan untuk membantu petani dan mantan petani opium di Myanmar dinilai kurang tepat sasaran.
Program menawarkan pengembangan tanaman alternatif, peningkatan lahan dengan irigasi dan pupuk, penyediaan bantuan keuangan mikro bagi rumah tangga yang tak memiliki lahan, bantuan tunai bagi program kerja, vaksinasi ternak, serta pembangunan jalan dan klinik, namun program-program itu hanya cukup untuk membantu 10 ribu dari 256 ribu rumah tangga yang terlibat produksi opium, sisanya pergi ke Thailand. Di sana, sekitar dua juta orang Myanmar bekerja dengan menggunakan dokumen ilegal.
Seperti terjadi pada salah satu keluarga petani opium (49), putrinya, 29, pergi ke Bangkok lima tahun lalu untuk bekerja sebagai pembantu dan tidak pernah kembali, tiga bulan lalu putranya pun mengikuti jejak kakak perempuannya.
"Hati saya hancur melihat mereka pergi, dan kami harus meminjam uang untuk membeli makanan dan tidak dapat membayarnya. Itulah kenapa kami mengirim anak-anak kami pergi." ujarnya.
Bersambung ke Bagian 2 (petani poppy di Afghanistan)

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber editing bacaan a.l : Media Indonesia tgl. 22 Pebruari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar