Rabu, 04 Januari 2012

Ekonomi 2012 : Optimistis dalam Tekanan dan Ketidakpastian


Menjelang penutupan tahun, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2011 dipastikan akan rnelampaui target APBN, setelah pertumbuhan QI-Q3 mencapai 6,5%. Namun, ada beberapa catatan penting atas kinerja ekonomi tahun ini.
 
Oleh : Hendri Saparini - Ekonom

Konsumsi swasta pada 2011 masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. Ekspor juga menjadi penyumbang besar yang terus tumbuh tinggi dari sekitar 9% (2007) menjadi 16,2% tahun ini. Namun, porsi ekspor bahan mentah baik energi maupun nonenergi semakin besar. Komoditas ekspor semakin didominasi antara lain oleh minyak, gas alam, batu bara, kelapa sawit, karet, dan tembaga. Kecenderungan itu diperkirakan akan berlanjut pada 2012 akibat lambatnya pembangunan industri pengolahan.
Perlu dicatat, neraca perdagangan semakin menyempit akibat pertumbuhan impor yang sangat tinggi dan perlambatan ekspor pada beberapa bulan terakhir. Kebijakan yang membuka keran impor semakin lebar, tidak hanya untuk barang konsumsi, tetapi juga barang jadi untuk industri, telah menciptakan gelombang impor yang tinggi.
Terbukti 2011 dipenuhi berita banjirnya impor barang, termasuk garam, ikan, dan berbagai komodi-tas lainnya. Sayangnya pemerintah justru menyatakan tidak mudah mengambil tindakan untuk mencegah impor. Padahal, sangat banyak yang dapat dilakukan, antara lain aturan perundangan yang telah menjadi pintu masuk impor harus segera dikoreksi. Langkah pembukaan pelabuhan impor dan lemahnya dukungan pengamanan yang telah mendorong impor ilegal juga perlu tindakan tegas. Sejatinya, tidak adanya langkah koreksi karena pemerintah tidak menganggap banjir impor sebagai ancaman.
Salah satu faktor pendorong impor 2011 ialah penguatan nilai tukar rupiah. Rupiah bahkan pernah mengalami apresiasi paling tinggi di antara mata uang negara-negara Asia. Tentu saja kondisi itu semakin mendorong masuknya impor barang konsumsi dan bahan baku industri karena industri yang tumbuh ialah industri-industri yang memiliki kandungan impor tinggi.
Lagi-lagi, penguatan nilai tu­kar rupiah yang terjadi akibat masuknya gelombang dana-dana jangka pendek justru dianggap keberhasilan. Alih-alih melakukan kontrol kapital untuk menghadapi krisis AS dan Uni Eropa, Indonesia justru membiarkan tanpa strategi. Padahal, sejak krisis 2008 banyak negara berkembang lakukan capital control terhadap hot money (untuk menekan bubble, menghindari inflasi domestik, dan mempertahankan agar nilai ekspor mereka tetap kompetitif).
Thailand, misalnya, menerapkan withholding tax 15% pada bunga dan capital gain yang diperoleh investor asing dari obligasi peme­rintah, bank sentral, dan BUMN. Brasil juga telah meningkatkan pajak investor asing yang membeli obligasi domestik dua kali lipat sejak Oktober 2010 termasuk menaikkan derivatives tax dan melakukan intervensi pada pasar mata uang melalui Brazil sovereign fund. Korea mulai melarang perbankan untuk meminjam dalam mata uang asing dan mengurangi utang luar negeri. China sejak beberapa tahun telah menahan laju hot money dengan berbagai disinsentif kebijakan.
Sebaliknya, Indonesia justru memberikan banyak insentif bagi masuknya dana-dana jangka pendek. Bank Indonesia menjaga BI rate tinggi sebesar 6,75% hingga Ok­tober 2011. Pemerintah Indonesia juga menawarkan yield obligasi (10 tahun) sebesar 6,6%, paling tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN yang rata-rata hanya 3%-4%. Kepemilikan asing di sektor keuangan juga semakin meningkat. Kepemilikan asing pada surat utang negara (SUN), misalnya, melesat dari sebesar Rp87,4 triliun pada 2008 menjadi sebesar Rp214,8 triliun pada November 2011.
Di tengah krisis pasar finansial dan krisis ekonomi di AS dan Eropa, serta berbagai upaya agresif negara-negara berkembang untuk melakukan kontrol devisa, tidak mengherankan bila Indonesia akhirnya menjadi surga bagi dana-dana global. Cadangan devisa pun terkerek hingga mencapai US$114 miliar dan mendorong indeks harga saharn gabungan (IHSG) hingga menyentuh level 4.000. Tidak mengherankan bila bursa saham Indonesia mencatatkan laju pertumbuhan tertinggi di negara-negara Asia lainnya.

Ekonomi 2012
Keberhasilan dalam mencapai target pertumbuhan dan kinclongnya kinerja sektor keuangan 2011 telah menumbuhkan optimisme ekonomi pada 2012. Dengan struktur PDB serta karakteristik ekspor impor dan investasi Indonesia saat ini, ekonomi 2012 sangat mungkin tumbuh di atas 6%. Apalagi potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia memang jauh di atas angka tersebut.
Namun, kualitas pertumbuhan masih akan menjadi pekerjaan rumah yang belum akan terselesaikan pada tahun depan. Ada beberapa alasan, misal beberapa tahun terakhir ekonomi tumbuh relatif tinggi, 6,1% (2010) dan 6,5 (Q3 III 2011), bahkan saat krisis 2009, ekonomi tumbuh 4,5% sehingga menjadi salah satu dari tiga negara Asia, selain India dan China, yang tetap tumbuh positif. Akan tetapi, pada saat yang sama juga terjadi pertumbuhan ekonomi yang sema­kin eksklusif. Hanya kelompok kecil yang menikmati sebagian besar pertumbuhan ekonomi, sementara sangat banyak yang tidak dapat menikmatinya.
Angka kemiskinan atau jumlah orang miskin 2012 sangat mungkin berkurang, tetapi masalah besarnya jumlah kelompok mendekati miskin belum akan terselesaikan. Pidato Presiden pada Agustus saat mengantarkan Nota Keuangan 2012 tidak menyebut adanya langkah pemerintah yang akan memberikan peluang besar bagi kelompok yang terkategori di atas garis kemiskin­an. Tidak pernah dibeberkan lang­kah strategis pemerintah untuk menyelesaikan besarnya kelompok setengah penganggur yang saat ini jumlahnya lebih dari 33 juta orang dan 63% pekerja yang bekerja di sektor informal dengan pendapatan yang kurang layak.
Padahal terobosan untuk men­dorong pertumbuhan sektor industri pengolahan yang memberikan nilai tambah tinggi sangat diperlukan. Saat ini tren pertumbuhan sektoral ditandai antara lain dengan pertumbuhan sek­tor perdagangan yang jauh lebih tinggi daripada sektor manufaktur. Meskipun pada 2011 sektor manufaktur tum­buh 5,9% (paling tinggi selama lima tahun terakhir), hal itu masih jauh lebih rendah daripada pertumbuhan sektor perdagangan yang sebesar 9,3%. Pertumbuhan perda­gangan yang tinggi di tengah daya saing sektor industri manufaktur yang melemah merupakan PR besar bagi pemerintah.

Ketidakpastian global
Selain berbagai pekerjaan rumah untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi 2012, optimisme ekonomi Indo­nesia tahun depan juga dibayangi berbagai ketidakpastian. Banyak ketidakpastian di lingkungan eksternal yang akan sangat memengaruhi. Ekonomi dunia mengalami ketidakpastian yang sangat besar. Keberhasilan Uni Eropa dalam menyelesaikan krisis, misalnya, sangat memengaruhi kemampuan Indonesia dalam mencapai target yang telah ditetapkan.
Ekspor Indonesia akan menga­lami ketidakpastian, baik secara langsung akibat potensi menurunnya kinerja ekonomi mitra dagang utamanya maupun secara tidak langsung akibat berkurangnya per­mintaan bahan baku dan energi dunia yang selama ini mendominasi ekspor Indonesia. Ketidakpastian juga akan terjadi dari sisi impor. Penurunan permintaan dari nega­ra-negara Eropa dan AS mendo­rong berbagai negara pemasoknya seperti China, India, dan Jepang mengalihkan ekspor mereka ke berbagai negara.
Dengan kebijakan perdagangan yang sangat terbuka, Indonesia akan menghadapi banjir impor. Apalagi, pengalaman krisis 2008 menunjukkan negara produsen manufaktur seperti China akan rnenggunakan berbagai strategi un­tuk menjaga pangsa pasar mereka di pasar global. Akibatnya, dengan cadangan devisa yang mencapai lebih dari US$3 triliun, China dapat memberikan special credit facilities ke berbagai negara importir, ter­masuk Indonesia, agar impor terha­dap barang-barang China tetap bertahan. Kebijakan tersebut terbukti ampuh sehingga sangat mungkin tahun ini akan berulang dan ditambah tawaran lain dengan skema sangat lunak.
Banyak lembaga seperti Bank Dunia memprediksi menurunnya kinerja ekspor akan diimbangi permintaan domestik, yakni pertumbuhan konsumsi swasta yang tinggi. Namun, opti­misme itu perlu dikoreksi mengingat laju pertumbuhan konsumsi swasta Indonesia terus mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir. Dari sebesar 5,3% pada 2008, menjadi 4,9% 2009 dan 4,6% hingga Q3 tahun ini. Bila terjadi, perlambatan di berbagai sektor tentu akan mendorong perlam­batan konsumsi swasta 2012.
Tekanan dalam negeri
Salah satu yang menjadi opti­misme pemerintah dan banyak kalangan terhadap ekonomi 2012 ialah investasi yang akan tetap tum­buh tinggi. Pilihan kebijakan ekono­mi yang tetap memprioritaskan stabilitas makroekonomi dan sektor keuangan yang terbuka akan men­dorong investasi portfolio. Kepemilikan investor asing diperkirakan akan meningkat. Untuk SUN misalnya, 2012 diprediksi bisa melampaui 34%, lebih tinggi daripada saat ini yang sekitar 30%. Banjirnya investasi portfolio juga diprediksi dibarengi invesatsilangsungkarena adanya proyeksi peringkat utang yang naik menjadi layak investasi (investment grade).
Namun, optimisme itu perlu analisis lebih lanjut. Instabilitas sosial politik ekonomi yang semakin meningkat dipastikan akan memaksa para investor untuk kembali menahan rencana investasi mereka bila kinerja pemerintah dalam menanganinya tidak membaik. Saat ini konflik antara perusahaan dan rakyat semakin meruncing dan meluas yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya di Papua, tetapi juga meluas di Suma­tra Selatan, Kepulauan Riau, Bima Nusa Tenggara Barat, dan bahkan di Jawa Tengah. Dari sisi sektor, konflik tidak hanya terjadi di sektor tambang, tetapi juga perkebunan dan pertanian
lainnya.
Ketidakpastian dan instabilitas sosial sangat mungkin akan meningkat karena tahun depan pe­merintah dan DPR memutuskan untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL). juga mereka sepakat untuk memulai pembatasan BBM bersubsidi meskipun belum memiliki formula implementasi yang jelas. Rencana itu tentu sangat riskan bila tidak didukung strategi dan kebijakan yang matang. Apalagi saat ini harga pangan, terutama beras, terus mengalami tren kenaikan. Kenaikan berbagai administered price seperti harga BBM dan tarif listrik akan menjadi faktor penting terhadap stabilitas sosial politik ta­hun depan.
Dengan kondisi demikian, langkah cepat dan tepat menjadi kunci karena optimisme ekonomi 2012 sangat rentan dengan beratnya tekanan dan ketidakpastian.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : Media Indonesia tanggal  2 Januari  2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar