Rabu, 04 Januari 2012

Perekonomian Indonesia 2012 : Pemerintah Harus Lebih Berani

Perekonomian In­donesia berhasil melalui tahun 2011 dengan baik. Berdasarkan data per September 2011, pertumbuhan ekonomi 2011 sudah hampir pasti mencapai 6,5%.

Oleh : A Tony Prasetiantono - Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, Yogyakarta

Di kawasan Asia tenggara, level itu merupakan yang tertinggi jika dibandingkan   dengan Singapura (6,1%), Malaysia dan Vietnam (masing-masing 5,8%), Thailand (3,5%), dan Filipina (3,2%).  Inflasi juga dapat ditekan rendah pada level sekitar 4%, atau jauh di bawah negara-negara emerging markets seperti India (10%), Brasil (7,3%), Rusia (7,2%), dan China (6,1%).
Pemerintah tampaknya begitu bangga dengan pencapaian inflasi 2011 yang hanya sekitar 4%. Seolah-olah melupakan bahwa di balik itu sebenarnya telah terjadi pengorbanan (sacrifice) berupa subsidi BBM yang jumlahnya amat besar, bahkan menca­pai Rpl20 triliun. Angka itu cukup masif karena volume APBN 2011 hanya sekitar Rpl.200 triliun. Bagaimana mungkih 10% APBN digunakan untuk menyubsidi BBM?
Sementara itu, belanja infrastruktur hanya Rpl40 triliun. Itu pun tidak terserap seluruhnya. Inilah kelemahan utama APBN kita. Dengan kata lain, subsidi BBM jum­lahnya setara dengan belanja infrastruktur.
Pada 2012, tampaknya Presiden Yudhoyono masih berniat melanjutkan tren subsidi tersebut sehingga tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Yang akan dilakukan ialah mengawal agar BBM bersubsidi tidak mengalami alokasi yang salah. Saya punya pendapat lain.
Harga minyak dunia sekarang cenderung bergerak mulai US$90 hingga US$100 per barel. Sulit membayangkan harga minyak akan turun di bawah US$90/barel. Produsen minyak sudah terbiasa menikmati zona nyaman (comfort zone) dengan harga US$90 hingga US$100 per barel. Pasti mereka tidak akan rela harga kembali ke level rendah, misalnya US$70 per barel. Konsekuensinya, harga BBM domestik tidak realistis untuk kembali ke le­vel sebelum krisis Rp4.500 per liter. Harga eceran itu dipatok dengan acuan harga minyak dunia US$70 per barel.
Meski saya juga tidak meramalkan bahwa harga minyak dunia akan kembali ke level tertinggi seperti dialami pada Juli 2008 (US$147 per barel), probabilitas harga menuju ke atas US$100 per barel tampaknya lebih besar ketimbang menuju ke bawah US$90 per barel.
Karena itu, ada baiknya pemerintah mulai membiasakan masyarakat untuk membeli harga BBM di atas Rp4.500 per liter. Memang pemerintah tidak boleh gegabah dalam menaikkan harga, jangan sampai tak terjangkau (unaffordable). Namun, penaikan harga Rp500 hingga Rp1.000 per liter dapat mengurangi kecanduan masyarakat un­tuk membeli BBM dengan harga rendah.
Tahun 2012 saya yakini sebagai saat yang tepat un­tuk menaikkan harga BBM-maksimal Rp1.000 per liter agar tujuan tersebut tercapai. Alasannya, inflasi 2011 sudah cukup rendah, sekitar 4%. Kalau harga BBM dinaikkan, in­flasi 2012 memang bakal naik, hingga mencapai 5% hingga 5,5%. Namun, level itu masih cukup dapat ditoleransi oleh perekonomian Indonesia.
Sementara itu, krisis ekonomi di zona euro ma­sih menyimpan tanda tanya. Memang dua negara kunci zona euro, yakni Jerman dan Francis, sudah berkonutmen tinggi untuk memberi dana talangan. Meski juga bisa diperdebatkan di parlemen mereka, hal itu akan lebih solid jika Inggris yang me­rupakan anggota Uni Eropa, tapi bukan anggota zona euro, juga mau membantu. Sayangnya, Inggris tidak mau membantu. Mereka merasa krisis Yunani dan Italia adalah urusan negara-negara euro, sehingga Inggris tak perlu membantu.
Padahal, krisis euro hanya akan dapat diselesaikan jika negara-negara besar lebih kompakmengatasinya secara kolektif. Karena itu, negara besar lain seperti China dan Rusia akan menjadi penentu. Saya masih menaruh harapan agar China dan Rusia tidak terlalu egois seperti Inggris.
Kalau zona euro mengalami krisis, dampak buruknya juga akan berimtaas ke seluruh dunia, tanpa banyak perkecualian.
Dengan kemungkinan penyelesaian krisis euro masih berstatus fifty-fifty, perekonomian global diperkirakan tetap bisa tumbuh 4%. Indone­sia bersama China, India, dan Brasildiperkirakan merupa­kan negara-negara emerging markets yartg akan tumbuh di atas rata-rata dunia. Dengan kata lain, Indonesia bisa tum­buh 5% atau 6%.
Yang jadi masalah, apakah pemerintah hanya sekadar ingin tumbuh 6%, ataukah melakukan sesuatu untuk meletakkan fondasi penting bagi keberlanjutan pertumbuhan ekonomi ke depan? Saya berharap pemerintah berwawasan jangka menengah dan panjang jika sekadar. berpikir jangka pendek, kita pasti akan melalui tahun 2012 dengan baik. Pertumbuhan ekonomi bisa setidaknya 6%, syukur bisa lebih, misalnya 6,3%. Inflasi juga masih cukup baik untuk ukuran kita, sekitar 5% atau lebih sedikit.
Namun, pemerintah harus lebih ambisius daripada itu. Buat apa kita tumbuh 6% pada 2012, tapi pada tahun-tahun sesudahnya juga akan berkutat di angka tersebut. Lalu apa syaratnya? Semua orang sudah tahu. Peme­rintah harus membangun infrastruktur habis-habisan, Belanja Rpl50-an triliun per tahun jelas jauh dari cukup. Pemerintah harus lebih ba­nyak lagi belanja infrastruk­tur, misalnya menjadi Rp250 triliun setahun. Memang ada risikonya, yakni defisit APBN harus sedikit dilonggarkan.
Dengan modal investment grade dari Fitch, pemerintah berpeluang menekan biaya utang.  Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia bisa ditekan. Meski harus tetap konservatif agar rasio utang pemerintah terhadap PDB yang sekarang 25,7% (jauh di bawah Yunani yang hampir 170%), ruang gerak itu sebenarnya masih ada. Tinggal bagaimana pemerintah be­rani menambah utang untuk membangun infrastruktur.
Peluang lain juga ada, yakni pada sisa anggaran yang tak terserap (silpa). Setiap tahun kita setidaknya memiliki dana Rp40 triliun yang tak terserap. Timbul ide agar dana itu dialihkan untuk membangun infrastruktur. Pemerintah dan DPR perlu mendiskusikan dan mencari diskresi agar gagasan terse­but bisa terwujud.
Dengan modal kerja keras, saya yakin perekonomian Indonesia bakal selamat dari krisis 2012. Justru kini tantangannya ialah pemerintah juga harus dapat meletakkan fon­dasi kuat agar perekonomian dapat lebih berakselerasi pada tahun-tahun selanjutnya.  
Gaya kepemimpinan yang kuat dan berani meng­ambil keputusan (decisive) merupakan prasyarat mutlak untuk merealisasikannya. Mestinya Indonesia bisa.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : Media Indonesia tanggal  2 Januari  2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar