Di bolak-balik seperti apapun, dijelaskan berkali-kali pun jika kita simak baik-baik, esensi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Sidang Kabinet Terbatas pada Jumat (26/11/2010) tetap sama, yakni Presiden SBY ingin agar kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dipreteli kekuasaannya.
oleh : Ikrar Nusa Bhakti
Pihak istana tidak bisa menuduh bahwa pernyataan Presiden SBY tersebut telah disalahartikan karena dikutip sepotong-sepotong. Di muat secara lengkap pun, seperti yang ditulis oleh juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha “Salah Paham soal Yogyakarta” (Kompas, 3/12), interpretasi masyarakat terhadap pernyataan Presiden tidak akan berubah.
Hal lain yang menarik, apa pun alasan yang dikemukakan para sejarawan, pengamat politik, atau rakyat Yogyakarta soal keistimewaan Daerah istimewa Yogyakarta, pemerintah pusat tetap ngotot dan kukuh pada pendiriannya, bahwa Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta harus dipilih!
Tampak jelas bahwa atas nama NKRI, konstitusi dan demokrasi, Sultan Yogya tidak boleh lagi memiliki kekuasaan atau wewenang untuk memerintah DIY secara langsung.
Walaupun pihak pemerintah pusat selalu mengatakan bahwa semuanya tergantung pada proses legislasi antara pemerintah pusat dan dewan di DPR RI, tampak jelas bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus dipilih secara langsung adalah sebuah harga mati.
Tengok misalnya, bagaimana pernyataan Dirjen Otonomi Daerah Prof Dr Djohermansjah Djohan yang mengutip hasil survei yang menyatakan bahwa 71% rakyat Yogyakarta menginginkan kepala daerahnya dipilih secara langsung, bukan ditetapkan. Namun, ia tidak menegaskan survei tersebut dilakukan oleh lembaga apa dan cara pengambilan sampelnya bagaimana.
Posisi pemerintah pusat ini bertentangan dengan pandangan elemen masyarakat Yogyakarta, misalnya, kelompok Kawulo Ngayojokarto, Persatuan Rakyat Desa Nusantara (Parade Nusantra), Paguyuban Dukuh DIY ‘Semar Sembogo', Gerakan Rakyat Mataram, Gerakan Semesta Rakyat Jogja (Gentaraja) yang tetap kukuh bertahan bahwa Gubernur dan Wakil Gubernur DIY adalah Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang ditetapkan oleh presiden RI.
Jika posisi pemerintah pusat dan rakyat Yogyakarta berhadap-hadapan seperti itu, kita patut bertanya, "Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk siapa, untuk pemerintah pusat ataukah untuk rakyat Yogyakarta?
Pertarungan politik elite
Kita tahu bahwa Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (RUUKDIY) sudah sejak tahun 2000 disiapkan oleh Pemerintah Provinsi DIY. RUUK tersebut sudah diajukan kepada pemerintah pusat pada 2002 dengan harapan, itu akan pula diajukan oleh pemerintah ke DPR RI pada 2002 setelah UU Otonomi Khusus di Aceh, UU Otonomi Khusus Papua, dan UU Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta mulai berlaku.
Namun, pemerintah pusat tidak langsung merespons RUUK DIY pada 2002 tersebut dan baru sibuk menyiapkannya pada akhir 2010 ini. Ini menimbulkan tanda tanya besar apakah terjadi pertarungan politik elite antara Presiden SBY dan Sultan Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X.
Terlepas dari berbagai bantahan bahwa hal itu hanyalah isapan jempol adalah kenyataan sejarah bahwa Sultan Hamengku Buwono X pernah diajukan oleh beragai elemen masyarakat sebagai bakal calon presiden pada pilpres 2009 lalu walau batal.
Kini Sultan HB X adalah salah satu tokoh dalam gerakan massa Nasional Demokrat dan bukan mustahil akan disokong untuk menjadi bakal calon Presiden pada Pilpres 2014 mendatang.
Sementara terbetik pula khabar bahwa Ibu Negara Ani Yudhoyono atau adiknya yang kini menjadi Pangkostrad juga akan maju sebagai bakal calon presiden 2014. Pertarungan memperebutkan massa melalui politik pencitraan ini yang kemudian menimbulkan polemic soal masa depan Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini.
Penjelasan Presiden SBY pada Jumat (3/12) tidak dapat meyakinkan masyarakat Yogyakarta bahwa Presiden tidak ingin 'mengobok-obok' ketenangan rakyat Yogyakarta. Bukan kata maaf yang keluar baik dari pernyataan Presiden SBY maupun dari masyarakat Yogyakarta, melainkan posisi saling berhadapan antara Presiden dan rakyat Yogyakarta semakin menguat.
Tengok bagaimana pemerintah tetap ngotot agar kepala daerah DIY dipilih sementara rakyat Yogyakarta akan terus melakukan perlawanan bahkan akan melakukan boikot jika itu benar-benar terjadi.
Bahkan sebagian rakyat Yogyakarta ada yang sudah mempersiapkan bambu runcing sebagai simbol perlawanan kepada pemerintah pusat. Walaupun kecil kemungkinannya Yogyakarta akan menyatakah diri melepaskan diri dari NKRI, pernyataan Presiden SBY pada dua Jumat itu (26/11 dan 3/12) itu sungguh mengusik ketenangan batin rakyat DIY yang belum hilang nestapanya pasca letusan Merapi.
Pernyataan Istana bahwa banyak orang salah tafsir karena mengutip sepotong-sepotong pernyataan Presiden SBY juga menimbulkan kesan arogansi politik seolah-olah ‘the President can do no wrong’, atau presiden tidak mungkin bersalah dan hanya rakyat dan para pengamat politik serta ahli hukum tata negara yang salah. Padahal, tidak mungkin ribuan orang sama-sama salah tafsir atas pernyataan Presiden SBY tersebut.
Jika pihak Istana cukup bijak, sebaiknya kalangan istana memberi masukan kepada Presiden agar jangan membuat pernyataan politik yang dapat memanaskan suasana politik, baik pada tingkatan lokal maupun pusat. Jika Presiden SBY tidak ingin menuai kritik, buatlah pernyataan politik yang menenangkan masyarakat dan bukan memancing kemarahan masyarakat.
Dengan kata lain, "Jika tidak ingin menuai badai, janganlah kita menabur angin!" Janganlah kita lupa pada sejarah pengorbanan Sultan Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menyerahkan tahta politik demi mendukung NKRI, menyumbangkan dana 5 juta gulden simpanan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat demi tetap tegaknya Republik Indonesia, menjadikan Yogyakarta sebagai ibu kota RI Perjuangan, menyerahkan lahan demi kemajuan pendidikan tinggi di Yogyakarta dan mem¬beri inspirasi dan dukungan kepada Pak Harto yang saat itu masih berpangkat letkol untuk melakukan Serangan Umum 1 Maret 1948 untuk menunjukkan bahwa RI masih ada!
Tidak ada alasan bahwa keistimewaan DIY seperti yang sekarang berlaku, membahay akan NKRI atau bertabrakan dengan konstitusi dan demokrasi. Tanpa didesak untuk melakukan pemilihan langsung pun rakyat DIY sudah sangat mafhum pada kata-kata bijak 'Raja Alim, Raja disembah. Raja lalim, Raja disanggah'.
Kita bisa menilai dengan jujur, siapa yang disembah rakyat Yogyakarta dan siapa yang disanggah oleh mereka. Kata bijak lain pun juga masih ada di benak kita semua, "Vox populi vox Dei" (Suara rakyat suaraTuhan).
Terserah interpretasi politik masing-masing, apa arti kata-kata itu terkait dengan keistimewaan DIY menuruti kehendak rakyat, atau menu¬ruti kehendak penguasa di pusat pemerintahan.
Keterangan Gambar : Sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan :
Harian Media Indonesia tanggal 6 Desember 2010; artikel yang dibuat oleh : Ikrar Nusa Bhakti - Profesor Riset Bidang lnternestic Affairs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar