Minggu, 05 Februari 2012

Memilih Untuk Pulih

Pemangsa menunggu calon korbannya lengah. Karena itu, setiap perempuan harus waspada dalam segala situasi.

Oleh : Dinny Mutiah
Perempuan muda itu terlihat energik. la datan sendirian. Setelah beberapa lama bungkam, dengan susah payah ia bercerita tentang kejadian yang menimpanya belasan tahun silam saat masih belia. Dia diperkosa ayah tirinya. Fisiknya saat itu terluka, namun emosinya tersayat lebih dalam. Marah dan malu bercampur jadi satu. Tapi ia memilih tutup mulut karena takut tak ada satu pun yang percaya.
Kejadian itu menghantui dan memengaruhi kehidupan sosialnya, kuliahnya berantakan. la tak mampu berkonsultasi dengan pembimbing akademik di kampus yang kebetulan laki-laki berperawakan serupa si ayah tiri.
Setiap kali jadwal bimbingan ditetapkan, ia mangkir. Kalaupun mencoba berhadapan dengan sang pembim­bing, dia merasa mual, pusing, hingga jantung berdebar. Dua semester lewat dengan sia-sia.
Sang perempuan lalu memutuskan untuk pulih. la memulainya dengan mengakui pemerkosaan itu benar terjadi. Ia mulai dapat membedakan lelaki yang tidak ada sangkut paut dengan kejadian itu. Kuliahnya pun kembali normal. Kini in akan menghadapi sidang akhir.

Trauma tiga kali lipat
Kisah pilu itu dituturkan ulang oleh Wulan Danoekoesoemo, pendiri Lentera Indonesia (gerakan edukasi dan informasi penyintas kekerasan seksual) kepada Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lain.
Kisah nyata pengalaman seorang penyintas kekerasan seksual dalam sebuah sesi konseling itu, kata Wulan, membuktikan bahwa 70% kejahatan seksual dilakukan orang-orang yang dekat dengan penyintas.
Satu hal yang perlu diingat tambah Wulan, pelaku pemerkosaan tidak semata-mata menyerang. "Kita mungkin tidak melihat tetapi dia sudah mengawasi.  Tiap hari kita pulang kantor jam berapa, lewat jalan mana, Kebiasaan kita grasak-grusuk, ditambah situasi lampu jalan mati telah membuat kita lengah. Itu kesempatan bagus buat mereka. Jadi, bukan semala-mata karena tingkah laku kita," ujar Wulan.
Lebih buruk lagi, pasca kejadian, penyintas masih harus menghadapi trauma dan dilema. Termasuk apakah dia harus melapor kepada polisi dan dicecar pertanyaan yang terasa memojokkan.
Wulan menegaskan pemulihan bagi penyintas kekerasan seksuai sepenuhnya pilihan. "Proses pemulihan bisa berlangsung seumur hidup. Karena trauma pemerkosaan itu paling sulit disembuhkan, tiga kali lipat traumanya jika dibandingkan dengan keja­dian lain," cetusnya.

Penerimaan diri
Tahap pemulihan yang pertama dan penting ialah menceritakan ulang peristiwa yang dialami penyintas kepada orang lain yang dipercaya. Ini bagian dari penerimaan diri dan bukan hal mudah.
Beberapa orang mengalami mimpi buruk, yang lain merasa sesak napas dan jantung berdebar. Tak jarang pula yang akhirnya depresi dan terganggu kehidupan sosialnya.
"Kita tidak bisa anggap itu ringan. Ada yang memutuskan bercerita setelah belasan atau puluhan tahun kemudian. Tapi ada yang membawanya sampai mati. Ada yang sudah setengah jalan, tapi enggak kuat akhirnya me­mutuskan untuk melupakan saja," cetus Wulan.
Ia menyarankan para penyintas memilih konseling untuk membantu mereka mencari jalan keluar. Bentuknya kelompok beberapa penyintas kekerasan seksual yang disupervisi ahli atau psikolog.
Kelompok dukungan ini pada intinya adalah self help. Masing-masing harus menolong dirinya sendiri, "Oranglain membantu memberi inspirasi. Pilihan jalan keluar mana yang diambil, kembali pada individu, apakah mau konfrontasi atau membiarkannya saja,'' ucap Wulan.
Beberapa lembaga menyediakan konseling untuk penyintas kekerasan seksual, di antaranya Lentera Indonesia, menyediakan konseling tertutup bagi penyintas kekerasan seksual. Informasi, inspirasi. dan edukasi seputar kekerasan seksual dapat diikuti lewat akun Twitter @LenteraID dan e-mail: lenteraid@gmail.com.

Yayasan Pulih
Jl Teluk Peleng 63 A, Kompleks AL-Rawa Bambu. Pasar Minggu Jakarta Selatan 12520 Telp: (021) 78842580, faks: (021) 7823021 Hotline (021) 98286398, 08881816860.  www.pulih.co.id, info@pulih.or.id, counseling@pulih.or. id

Tulisan lain :

Prediksi, Prevensi dan Proteksi
Demi melindungi diri dan ancaman kekerasan seksual, instruktur bela diri Woman Self Defense Kushin Ryu, Eko Hendrawan, menyatakan ada tiga hal yang harus diperhatikan perempuan setiap waktu.
(1).  Prediksi: Perempuan harus pandai membaca situasi. Jangan segan untuk memperhatikan sekeliling. Ikuti kata hati jika merasa situasi tidak aman dengan menghindarinya.
(2). Prevensi : Perempuan harus memahami langkah-langkah melindungi diri setelah membaca situasi, Selalu program pola pikir dalam mode waspada.

(3).  Perempuan harus belajar melindungi diri sendiri. Jangan tunda melatih teknik bela diri. Anda lak perlu menjadi jagoan, cukup dengan memahami teknik-teknik sederhana dengan memanfaatkan benda-benda di sekitar.
Contoh gerakan (gambar ilustrasi)
(a).  Jika dipepet orang dari belakang di dalam bus, misalnya, gunakan siku dan serang bagian leher.
(b).  Jika tangan yang sedang menggenggam ponsel tiba-tiba ditarik orang, jangan langsung menarik tangan Anda. Ikuti dulu gerakannya lalu balikkan posisi sampai tangan Anda berada di atas, Cengkeram dengan tangan yang lain, dorong ke arah pelaku. Tendang si pelaku untuk menjauhkan diri Anda.
(c). Jika satu tangan Anda tiba-tiba ditarik orang, taruh tangan yang lain di atas tangan penarik untuk mengunci dan memelintirnya. Benda yang sedang digenggam bisa digunakan sebagai pengunci, misalnya kipas.

Tunjukkan empati, jangan sok tahu.
Kita mungkin berniat baik dengan mengarahkan solusi tertentu pada kerabat atau rekan terdekat yang pernah mengalami kekerasan seksual.
"Mereka paling malas disotoyin. Kalau Anda bilang, udah, move on aja', ini buat mereka bohong banget. Jadi, kalau Anda tidak tahu, jangan sok tahu deh," cetus Wulan Danoekoesoemo, salah satu pendiri gerakan Lentera Indonesia yang menyediakan konseling tertutup bagi para penyintas kekerasan sek­sual.
Wulan menyarankan cara berbeda, misalnya dengan menyodorkan artikel terkait dengan pemulihan diri untuk memberi inspirasi. Selain itu, tunjukkan empati lewat perhatian dan kalimat-kalimat setulus mungkin. Penting pula untuk tidak memaksa penyintas kekerasan seksual bercerita tentang kejadian traumatis itu.
"Biasanya yang bercerita pada kita berharap orangtua mereka tidak tahu. Jadi, saat dia memilih kita sebagai tempat bicara, itu artinya mereka percaya kepada kita. Jangan sampai kita merusak kepercayaan mereka," imbuh Wulan.
Sebagai sahabat yang tulus berempati, kita juga harus siap dengan perubahan emosi yang ditunjukkannya. Jika ia tiba-tiba bersikap dingin atau marah tanpa sebab, berusahalah agar sikap kita tidak berubah.
"Survivor bisa lebih cepat pulih jika dia memiliki sup­port system yang bagus meski mungkin yang dialami lebih parah dari temannya yang lain. Support system akan membantu proses penerimaan diri survivor," tukasnya.

Mudah-mudahan pencantuman tulisan ini dapat bermanfaat (maaf, bukan untuk tujuan iklan).

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : dikutip dari Media Indonesia tgl. 4 Pebruari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar