Dikemas oleh : Isamas54
ODHA alias orang
dengan HIV/AIDS bisa terkucilkan dari kehidupan bermasyarakat baik jiwa maupun
materi, tapi banyak yang tetap bersemangat dan berprestasi dalam hidupnya.
(1). Repotnya Persalinan
Seorang ibu muda
berusia 26 tahun yang tergolong ODHA alias orang dengan HIV/AIDS menjalani
persalinan yang berisiko.
Menjalani
persalinan pada awal April 2011 di RSUD dr Iskak dengan bayi laki-laki
berbobot 3,4 kilogram dari persalinannya.
Pasca-melahirkan,
timbul rentetan masalah : (a). dokter yang menolong persalinan melarang
pemberian air susu ibu (ASI) buat si bayi demi mencegah penularan HIV/AIDS.
(b). sang suami yang belakangan baru tahu istrinya mengidap HIV/AIDS kecewa dan
berniat meninggalkannya.
Sebelum persalinan,
suaminya hanya mengetahui kehamilan istrinya bermasalah sehingga harus
menjalani konsultasi untuk mendapat prosedur persalinan dengan sectio caesar (bedah
caesar), baru setelah tahu dia mengidap HIV/AIDS maka suami mana pun tentu
amat berat mendapati kenyataan seperti ini.
*
Inilah sisi lain
dari dinamika sosial di Tulungagung, daerah berpenduduk 1 juta jiwa ini yang
dihidupi antara lain oleh "ekspor" tenaga kerja wanita (TKW). Asosiasi Pengerah Jasa Tenaga Kerja
Indonesia mencatat, sekitar 1.000 perempuan dalam sebulan diberangkatkan ke
luar negeri, namun hanya sepertiga di antaranya yang legal.
Dulu Tulungagung
dikenal sebagai salah satu sentra industri rokok keretek seperti daerah kota
lainnya sepanjang lembah Brantas. Namun, industri rokok keretek sudah mati 10
tahun silam. Garmen yang sempat mencuat era 1990-an terlindas serbuan produk
asal China.
Bisa jadi, fenomena
TKW adalah pintu masuk HIV/AIDS di daerah ini.
*
Si ibu hamil yang
dikisahkan di awal tulisan ini bukanlah bekas TKW, melainkan bekas tenaga yang
menemani tamu menyanyi di kafe.
Di Temanggung, jumlah perempuan yang bekerja seperti ini mencapai sekitar 400.
Karena desakan ekonomi, tak jarang mereka melayani ajakan kencan pengunjung
kafe.
Menurut aktivis
anti-HIV/ AIDS Tulungagung, kampanye anti-HIV/AIDS sudah gencar dilakukan di
kafe-kafe lagu.
Masalahnya,
penatalaksanaan penyakit ini, termasuk bagi para korban, harus berhadapan
dengan pola sosial-budaya yang cenderung statis.
Dalam tekanan
psikologis, seraya harus merahasiakan status HIV-nya, sulit bagi perempuan
untuk meminta layanan 'caesar'.
Akibatnya,
menyandang status sebagai perempuan ODHA hamil seperti sebuah ketidakberdayaan
yang komplet. Bagi sang pengidap, dalam realitas sudah cukup beruntung jika
bisa kembali hidup "normal" berumah tangga, dan mendapat suami yang
mengayomi ekonominya. Alangkah fatalnya jika pasangan hidup, atau suaminya,
mengetahui status ODHA. Bisa-bisa rumah tangga terancam bubar. Maka, masuk akal
jika pernikahan dengan ODHA tidak diawali dengan keterusterangan sang perempuan
akan status HIV-nya.
Bedah
caesar
Menurut protokol
kesehatan, perempuan yang melahirkan dalam status pengidap HIV/AIDS harus
melalui operasi bedah caesar. Tindakan medis itu bisa mengurangi risiko bayi
tertular virus HIV saat ibunya mengalami pendarahan.
Namun, dalan
suasana psikologi tertekan, seraya harus merahasiakan satus HIV-nya, sulitlah
bagi perempuan untuk meminta layanan caesar pada birokrasi puskesmas, rumah sakit,
dan dinas kesehatan.
Sejauh ini tercatat
13 persalinan ODHA di Tulungagung. Namun, hanya tiga di antaranya yang
melewati caesar. Terungkap bahwa selama ini dokter punya cara untuk mengakali
jadwal demi menghindarkan kewajiban caesar. Modusnya, dengan mengundurkan
jadwal caesar sehingga si ibu sudah keburu melahirkan di rumah atau melalui
jasa bidan, cara itu bisa meniadakan operasi caesar yang berbiaya Rp 7 juta
Menurut Zainur dan Ifada, tak ada pihak yang melindungi ODHA apalagi ODHA
hamil, kecuali relawan yang tenaga dan biayanya amat terbatas.
Berkat desakan
terus-menerus dari lembaga nirlaba, akhirnya persalinan ODHA hamil di awal
kisah ini berlangsung dengan caesar. Kepala Dinas Kesehatan Tulungagung dr
Gatot Durwanto menegaskan, secara normatif asal sudah terdaftar di puskesmas,
ODHA hamil bisa nendapat layanan caesar.
Namun, dr Oni Dwi Irianto yang membantu persalinan itu
menyatakan tak ada jaminan ODHA hamil lainnya otomatis menikmati layanan caesar.
Alangkah
repotnya persalinan bagi perempuan
berstatus ODHA.
(Sumber:
Kompas, 14 April 2012).
(2). Pengidap yang tetap mengabdi
“Nih, saya pakai parfum. Biar saya positif
HIV, saya tetap ingin tampil ganteng dan wangi," katanya sambil
memperlihatkan parfum yang baru dikeluarkan dari ransel.
Dengan santai dan
sikap terbuka mengungkapkan penyakit yang ia derita dan belum ada obatnya itu.
Sebut saja dia Rb
(31), mulai terjangkit HIV sejak 2006 walau jauh sebelumnya pada 1998 pernah
melakukan tes HIV tetapi hasilnya negatif.
Rb telah mengenal
narkoba suntik sejak kelas 2 SMA, dia pun merasa bahwa berat badannya terus
merosot. Waktu saya dinyatakan positif
HIV, bobot badannya 45 kg
dan ia pun menjalani rehabilitasi di RS Marzuki Mahdi Bogor hingga tujuh kali.
"Setelah
dinyatakan positif, saya minta anak dan istri juga diperiksa. Mereka
negatif," jelasnya.
*
Kini dia bekerja di
LSM yang mendampingi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bekerja sama dengan salah
satu Klinik ‘J’ di Mangga Besar, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Sejak berhenti
menjadi pengguna narkoba jarum suntik, tubuhnya menjadi gemuk, dan kini sudah
56 kg. "Istri dan anak saya makin mencintai saya," katanya dengan
perasaan bahagia.
Pengalaman buruk di
masa lalu itu membuatnya terpanggil untuk mendampingi para ODHA. la aktivis di
LSM ‘MM’ yang bekerja sama dengan Klinik J.
Klinik yang berdiri
pada 2009 dan menyatu dengan Puskesmas Mangga Besar, berlokasi di tengah
puluhan hiburan malam di wilayah Jakarta Barat.
Lokasinya di lantai dua Puskesmas Mangga Besar dengan jam operasi
08.00-16.00. Di klinik tersebut, ada
empat dokter yang bertugas. Mereka
bekerja sama dengan empat LSM yang fokus pada masalah
kesehatan reproduksi.
Dr Inda Mutiara
dari Klinik Jelia menjelaskan sampai Agustus lalu ada 663 pasien yang tertular
penyakit seksual. "Penyakitnya macam-macam, tetapi rata-rata satu pasien
punya dua penyakit sekaligus," kata Inda.
Mayoritas
para pasien berprofesi sebagai pekerja seks komersial, gay, waria, dan pengguna
narkoba suntik.
"Kami tidak mengandalkan pasien datang ke klinik. Kami juga melakukan
jemput bola," terangnya.
Selama ini, lanjut
Inda, setiap pasien yang dinyatakan positif terkena penyakit menular seksual
tampak cemas dan terpukul, mereka cemas bukan karena penyakit menular melainkan
akan berdampak pada ekonomi. Hal itu dibenarkan dr Reggy selaku kepala
puskesmas.
"Mereka
menangis karena takut tidak bisa membayar utang, bukan karena penyakit itu,”
kata Reggy.
Meski bekerja di
dunia hiburan, para pasien ini terjerat utang cukup banyak sehingga fokus
mereka bukan menyembuhkan penyakit, melainkan bagaimana mengejar setoran.
Inda menargetkan
pada 2014 tidak ada penambahan baru penderita penyakit menular seksual.
(Sumber:
Media Indonesia, 19 Oktober 2012)
(3).
Diusir Warga
Dua keluarga di
Kecamatan Sepaku dan Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara-
Kalimantan Timur, diusir warga, karena menderita HIV/AIDS. Warga khawatir
penyakit itu menulari mereka.
"Dua keluarga yang diusir itu terdiri dari suami dan istri, yang keempatnya positif mengidap HIV/AIDS," kata Ketua (KPA) Plus Penajam Paser Utara, Jodi.
Kedua pasangan suami istri itu diusir pekan lalu. Sampai kemarin, KPA (Komunitas Peduli HIV/AIDS) Penajam Paser Utara belum bisa menemukan keberadaannya.
Pencarian akan terus dilakukan karena para penderita itu membutuhkan pendampingan. "Kami mendapat informasi pasangan yang berasal dari Babulu sudah pergi ke Kota Batam, untuk berobat."
Terbongkarnya identitas kedua keluarga korban itu berawal dari penuturan salah satu petugas kesehatan, selanjutnya informasi cepat menyebar dan diketahui masyarakat di dua kecamatan.
Manajer Program HIV AIDS Yayasan Laras mengatakan pengusiran itu terjadi karena warga belum memahami soal penyebaran HIV/AIDS. "Dinas kesehatan tidak tanggap terhadap kejadian yang menimpa warga," ujarnya.
"Dua keluarga yang diusir itu terdiri dari suami dan istri, yang keempatnya positif mengidap HIV/AIDS," kata Ketua (KPA) Plus Penajam Paser Utara, Jodi.
Kedua pasangan suami istri itu diusir pekan lalu. Sampai kemarin, KPA (Komunitas Peduli HIV/AIDS) Penajam Paser Utara belum bisa menemukan keberadaannya.
Pencarian akan terus dilakukan karena para penderita itu membutuhkan pendampingan. "Kami mendapat informasi pasangan yang berasal dari Babulu sudah pergi ke Kota Batam, untuk berobat."
Terbongkarnya identitas kedua keluarga korban itu berawal dari penuturan salah satu petugas kesehatan, selanjutnya informasi cepat menyebar dan diketahui masyarakat di dua kecamatan.
Manajer Program HIV AIDS Yayasan Laras mengatakan pengusiran itu terjadi karena warga belum memahami soal penyebaran HIV/AIDS. "Dinas kesehatan tidak tanggap terhadap kejadian yang menimpa warga," ujarnya.
(Sumber
: mediaindonesia.com/read/2012/10/31)
(4). Rumah Cemara
Rumah Cemara sendiri adalah suatu lembaga nirlaba yang didirikan
oleh orang-orang yang tadinya pecandu narkoba dan bahkan penderita HIV/AIDS.
Sebagai mantan pecandu narkoba dan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) mereka banyak
menerima sanksi social dari masyarakat sekitar dan bahkan dari keluarga dekat.
Kondisi ini mendorong mereka untuk mendirikan Rumah Cemara, rumah untuk mereka
yang “tersisihkan” dari rumah.
Dengan semangat saling menolong sesama penderita dan
semangat untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman Narkoba dan HIV/AIDS
mereka tak pedulikan pendapat minor orang lain.
Tahun 2011, tim Rumah Cemara diundang oleh panitia “Homeless
– World Cup” di Perancis. Dengan semangat menggelora walau minim dukungan,
mereka berangkat ke Paris. Turnamen ini diikuti oleh 72 negara yg dikhususkan
untuk mereka yg “bermasalah dengan rumah”. Dan hasilnya, tim Rumah
Cemara yg mewakili Indonesia berhasil menduduki posisi ke-6, Best New Comer dan
Ginan Koesmayadi terpilih menjadi Best Player.
*
Salah satu pengalaman atau masa lalu dari
seorang anggota Rumah Cemara sebagai berikut.
Dia masuk kuliah tahun 1998 di FISIP Unpad-Bandung, tahun 2000 dia
berhenti menggunakan narkoba setelah beberapa kali Over Dosis.
"Waktu itu di
toilet gedung C saya terkapar gak sadarkan diri karena OD. Untung ada kang
Bimbim (anaknya Bagir Manan) yang dobrak pintu toilet. kalo gak, mungkin saya
udah tewas waktu itu", ceritanya dengan mengingat kejadian yang hampir
menyelesaikan hidupnya.
Sejak itu dia bertekad berhenti memakai dan ikut
rehabilitasi. Lalu kemudian dia disarankan untuk cek medis, ternyata hasilnya
dia dinyatakan positif mengidap virus HIV. Kaget dan terpukul dia. Masyarakat
sekitar, teman-teman, saudara-saudara semua menjauh. "Kesepian adalah rumah saya, kang", katanya.
Namun dia tidak mau menyerah dan pasrah begitu saja dengan
keadaan, dia ingin berubah, kenyataan terkena HIV adalah sebuah ujian. Maka bersama beberapa teman lain yang senasib,
mereka mempunyai tekad dan semangat berbagi serta ingin berubah dan memberi
arti dalam hidupnya.
(Sumber editing : catatansikudaliar.blogspot.com/2012/09)
(5).
Gay dibui karena tidak bilang
Seorang pria (27)
di Singapura dijatuhi hukuman penjara karena telah berhubungan seks dengan pria
lain tanpa memberitahu kalau dirinya pengidap HIV dan divonis penjara 18 bulan.
Terdakwa mengaku bersalah atas aktivitas seks yang dilakukannya dengan seorang pria yang kini berumur 37 tahun, kedua pria gay tersebut melakukan aktivitas seks tersebut di sebuah apartemen pada Januari 2009 lalu.
Terdakwa yang tak bisa disebutkan namanya itu, didiagnosa mengidap virus HIV pada Maret 2008. Suatu ketika di bulan Januari 2009, saat kedua pria itu berada di sebuah apartemen, mereka melakukan oral secara bergantian. Sebelum melakukan aktivitas seks tersebut, terdakwa tidak memberitahu soal risiko tertular infeksi HIV dari dirinya.
Pria berumur 37 tahun tersebut akhirnya memang terjangkit virus HIV, namun dalam persidangan kasus ini, jaksa penuntut umum tak bisa membuktikan bahwa pria itu telah ditulari oleh terdakwa.
Terdakwa mengaku bersalah atas aktivitas seks yang dilakukannya dengan seorang pria yang kini berumur 37 tahun, kedua pria gay tersebut melakukan aktivitas seks tersebut di sebuah apartemen pada Januari 2009 lalu.
Terdakwa yang tak bisa disebutkan namanya itu, didiagnosa mengidap virus HIV pada Maret 2008. Suatu ketika di bulan Januari 2009, saat kedua pria itu berada di sebuah apartemen, mereka melakukan oral secara bergantian. Sebelum melakukan aktivitas seks tersebut, terdakwa tidak memberitahu soal risiko tertular infeksi HIV dari dirinya.
Pria berumur 37 tahun tersebut akhirnya memang terjangkit virus HIV, namun dalam persidangan kasus ini, jaksa penuntut umum tak bisa membuktikan bahwa pria itu telah ditulari oleh terdakwa.
(Sumber
: detiknews.com/read/2012/01/18)
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan tercantum dalam bacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar