Rabu, 31 Oktober 2012

Kisah : HIV/AIDS, Sisi Kehidupan Penderitanya


Dikemas oleh : Isamas54
ODHA ali­as orang dengan HIV/AIDS bisa terkucilkan dari kehidupan bermasyarakat baik jiwa maupun materi, tapi banyak yang tetap bersemangat dan berprestasi dalam hidupnya.


(1).  Repotnya Persalinan
Seorang ibu muda berusia 26 tahun yang tergolong ODHA ali­as orang dengan HIV/AIDS menjalani persalinan yang berisiko.
Menjalani persalinan pada awal April 2011 di RSUD dr Is­kak dengan bayi laki-laki berbobot 3,4 kilogram dari persalinannya.
Pasca-melahirkan, timbul rentetan masalah : (a). dokter yang menolong persalinan melarang pemberian air susu ibu (ASI) buat si bayi demi mencegah penularan HIV/AIDS. (b). sang suami yang belakangan baru tahu istrinya mengidap HIV/AIDS kecewa dan berniat meninggalkannya.
Sebelum persalinan, suami­nya hanya mengetahui kehamilan istrinya bermasalah sehingga harus menjalani konsultasi untuk mendapat prosedur persalinan dengan sectio caesar (bedah cae­sar), baru setelah tahu dia mengidap HIV/AIDS maka suami mana pun tentu amat berat mendapati kenyataan seperti ini.
*
Inilah sisi lain dari dinamika sosial di Tulungagung, daerah berpenduduk 1 juta jiwa ini yang dihidupi antara lain oleh "ekspor" tenaga kerja wanita (TKW).  Asosiasi Pengerah Jasa Tena­ga Kerja Indonesia mencatat, sekitar 1.000 perempuan dalam sebulan diberangkatkan ke luar negeri, namun hanya sepertiga di antaranya yang legal.
Dulu Tulungagung dikenal sebagai salah satu sentra industri rokok keretek seperti daerah kota lainnya sepanjang lembah Brantas. Namun, industri rokok keretek sudah mati 10 tahun silam. Garmen yang sempat mencuat era 1990-an terlindas serbuan produk asal China.
Bisa jadi, fenomena TKW adalah pintu masuk HIV/AIDS di daerah ini.
*
Si ibu hamil yang dikisahkan di awal tulisan ini bukanlah bekas TKW, melainkan bekas tenaga yang menemani tamu menyanyi di kafe. Di Temanggung, jumlah perempuan yang bekerja seperti ini mencapai sekitar 400. Karena desakan ekonomi, tak jarang mereka melayani ajakan kencan pengunjung kafe.
Menurut aktivis anti-HIV/ AIDS Tulungagung, kampanye anti-HIV/AIDS sudah gencar dilakukan di kafe-kafe lagu.
Masalahnya, penatalaksanaan penyakit ini, ter­masuk bagi para korban, harus berhadapan dengan pola sosial-budaya yang cenderung statis.
Dalam tekanan psikologis, seraya harus merahasiakan status HIV-nya, sulit bagi perempuan untuk meminta layanan 'caesar'.
Akibatnya, menyandang status sebagai perempuan ODHA hamil seperti sebuah ketidakberdayaan yang komplet. Bagi sang pengidap, dalam realitas sudah cukup beruntung jika bisa kembali hidup "normal" berumah tangga, dan mendapat suami yang mengayomi ekonominya. Alangkah fatalnya jika pasangan hidup, atau suaminya, mengetahui status ODHA. Bisa-bisa rumah tangga terancam bubar. Maka, masuk akal jika pernikahan de­ngan ODHA tidak diawali de­ngan keterusterangan sang pe­rempuan akan status HIV-nya.
Bedah caesar
Menurut protokol kesehatan, perempuan yang melahirkan da­lam status pengidap HIV/AIDS harus melalui operasi bedah ca­esar. Tindakan medis itu bisa mengurangi risiko bayi tertular virus HIV saat ibunya mengalami pendarahan.
Namun, dalan suasana psikologi tertekan, seraya harus merahasiakan satus HIV-nya, sulitlah bagi perempuan untuk meminta layanan caesar pada birokrasi puskesmas, rumah sakit, dan dinas kesehatan.
Sejauh ini tercatat 13 persa­linan ODHA di Tulungagung. Namun, hanya tiga di antaranya yang melewati caesar. Terungkap bahwa selama ini dokter punya cara untuk mengakali jadwal demi menghindarkan kewajiban caesar. Modusnya, dengan mengundurkan jadwal caesar sehingga si ibu sudah keburu melahirkan di rumah atau melalui jasa bidan, cara itu bisa meniadakan operasi caesar yang berbiaya Rp 7 juta Menurut Zainur dan Ifada, tak ada pihak yang melindungi ODHA apalagi ODHA hamil, kecuali relawan yang tenaga dan biayanya amat terbatas.
Berkat desakan terus-menerus dari lembaga nirlaba, akhirnya persalinan ODHA hamil di awal kisah ini berlangsung dengan caesar. Kepala Dinas Kesehatan Tulungagung dr Gatot Durwanto menegaskan, secara normatif asal sudah terdaftar di puskesmas, ODHA hamil bisa nendapat layanan caesar.  Namun, dr Oni Dwi Irianto yang membantu persalinan itu menyatakan tak ada jaminan ODHA hamil lainnya otomatis menikmati layanan caesar.

Alangkah repotnya  persalinan bagi perempuan berstatus ODHA.
(Sumber: Kompas, 14 April 2012).

(2).  Pengidap yang tetap mengabdi
“Nih, saya pakai parfum. Biar saya positif HIV, saya tetap ingin tampil ganteng dan wangi," katanya sambil memperlihatkan parfum yang baru dikeluarkan dari ransel. 
Dengan santai dan sikap terbuka mengungkapkan penyakit yang ia derita dan belum ada obatnya itu.
Sebut saja dia Rb (31), mulai terjangkit HIV sejak 2006 walau jauh sebelumnya pada 1998 pernah melakukan tes HIV tetapi hasilnya negatif. 
Rb telah mengenal narkoba suntik sejak kelas 2 SMA, dia pun merasa bahwa berat badannya terus merosot.  Waktu saya dinyatakan positif HIV, bobot badannya 45 kg dan ia pun menjalani rehabilitasi di RS Marzuki Mahdi Bogor hingga tujuh kali.
"Setelah dinyatakan positif, saya minta anak dan istri juga diperiksa. Mereka negatif," jelasnya.
*
Kini dia bekerja di LSM yang mendampingi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bekerja sama dengan salah satu Klinik ‘J’ di Mangga Besar, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Sejak berhenti menjadi pengguna narkoba jarum suntik, tubuhnya menjadi gemuk, dan kini sudah 56 kg. "Istri dan anak saya makin mencintai saya," katanya dengan perasaan bahagia.
Pengalaman buruk di masa lalu itu membuatnya terpanggil untuk mendampingi para ODHA. la aktivis di LSM ‘MM’ yang bekerja sama dengan Klinik J.
Klinik yang berdiri pada 2009 dan menyatu dengan Puskesmas Mangga Besar, berlokasi di tengah puluhan hiburan malam di wilayah Jakarta Barat.  Lokasinya di lantai dua Puskesmas Mangga Besar dengan jam operasi 08.00-16.00.  Di klinik tersebut, ada empat dokter yang bertugas.  Mereka bekerja sama dengan empat LSM yang fokus pada masalah kesehatan reproduksi.
Dr Inda Mutiara dari Klinik Jelia menjelaskan sampai Agustus lalu ada 663 pasien yang tertular penyakit seksual. "Penyakitnya macam-macam, tetapi rata-rata satu pasien punya dua penyakit sekaligus," kata Inda.
Mayoritas para pasien berprofesi sebagai pekerja seks komersial, gay, waria, dan pengguna narkoba suntik. "Kami tidak mengandalkan pasien datang ke klinik. Kami juga melakukan jemput bola," terangnya.
Selama ini, lanjut Inda, setiap pasien yang dinyatakan positif terkena penyakit menular seksual tampak cemas dan terpukul, mereka cemas bukan karena penyakit menular melainkan akan berdampak pada ekonomi. Hal itu dibenarkan dr Reggy selaku kepala puskesmas.
"Mereka menangis karena takut tidak bisa membayar utang, bukan karena penyakit itu,” kata Reggy.
Meski bekerja di dunia hiburan, para pasien ini terjerat utang cukup banyak sehingga fokus mereka bukan menyembuhkan penyakit, melainkan bagaimana mengejar setoran.
Inda menargetkan pada 2014 tidak ada penambahan baru penderita penyakit menular seksual.
(Sumber: Media Indonesia, 19 Oktober 2012)

(3).  Diusir Warga
Dua keluarga di Kecamatan Sepaku dan Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara- Kalimantan Timur, diusir warga, karena menderita HIV/AIDS. Warga khawatir penyakit itu menulari mereka.
"Dua keluarga yang diusir itu terdiri dari suami dan istri, yang keempatnya positif mengidap HIV/AIDS," kata Ketua (KPA) Plus Penajam Paser Utara, Jodi.
Kedua pasangan suami istri itu diusir pekan lalu. Sampai kemarin, KPA (Komunitas Peduli HIV/AIDS) Penajam Paser Utara  belum bisa menemukan keberadaannya.
Pencarian akan terus dilakukan karena para penderita itu membutuhkan pendampingan. "Kami mendapat informasi pasangan yang berasal dari Babulu sudah pergi ke Kota Batam, untuk berobat."
Terbongkarnya identitas kedua keluarga korban itu berawal dari penuturan salah satu petugas kesehatan, selanjutnya informasi cepat menyebar dan diketahui masyarakat di dua kecamatan.
Manajer Program HIV AIDS Yayasan Laras mengatakan pengusiran itu terjadi karena warga belum memahami soal penyebaran HIV/AIDS. "Dinas kesehatan tidak tanggap terhadap kejadian yang menimpa warga," ujarnya.
(Sumber : mediaindonesia.com/read/2012/10/31)

(4).  Rumah Cemara
Rumah Cemara sendiri adalah suatu lembaga nirlaba yang didirikan oleh orang-orang yang tadinya pecandu narkoba dan bahkan penderita HIV/AIDS.  Sebagai mantan pecandu narkoba dan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) mereka banyak menerima sanksi social dari masyarakat sekitar dan bahkan dari keluarga dekat. Kondisi ini mendorong mereka untuk mendirikan Rumah Cemara, rumah untuk mereka yang “tersisihkan” dari rumah.
Dengan semangat saling menolong sesama penderita dan semangat untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman Narkoba dan HIV/AIDS mereka tak pedulikan pendapat minor orang lain. 
Tahun 2011, tim Rumah Cemara diundang oleh panitia “Homeless – World Cup” di Perancis. Dengan semangat menggelora walau minim dukungan, mereka berangkat ke Paris. Turnamen ini diikuti oleh 72 negara yg dikhususkan untuk mereka yg “bermasalah dengan rumah”. Dan hasilnya, tim Rumah Cemara yg mewakili Indonesia berhasil menduduki posisi ke-6, Best New Comer dan Ginan Koesmayadi terpilih menjadi Best Player.
*
Salah satu pengalaman atau masa lalu dari seorang anggota Rumah Cemara sebagai berikut.
Dia masuk kuliah tahun 1998 di FISIP Unpad-Bandung, tahun 2000 dia berhenti menggunakan narkoba setelah beberapa kali Over Dosis. 
"Waktu itu di toilet gedung C saya terkapar gak sadarkan diri karena OD. Untung ada kang Bimbim (anaknya Bagir Manan) yang dobrak pintu toilet. kalo gak, mungkin saya udah tewas waktu itu", ceritanya dengan mengingat kejadian yang hampir menyelesaikan hidupnya.
Sejak itu dia bertekad berhenti memakai dan ikut rehabilitasi. Lalu kemudian dia disarankan untuk cek medis, ternyata hasilnya dia dinyatakan positif mengidap virus HIV. Kaget dan terpukul dia. Masyarakat sekitar, teman-teman, saudara-saudara semua menjauh. "Kesepian adalah rumah saya, kang", katanya.
Namun dia tidak mau menyerah dan pasrah begitu saja dengan keadaan, dia ingin berubah, kenyataan terkena HIV adalah sebuah ujian.  Maka bersama beberapa teman lain yang senasib, mereka mempunyai tekad dan semangat berbagi serta ingin berubah dan memberi arti dalam hidupnya.
(Sumber editing : catatansikudaliar.blogspot.com/2012/09)

(5).  Gay dibui karena tidak bilang

Seorang pria (27) di Singapura dijatuhi hukuman penjara karena telah berhubungan seks dengan pria lain tanpa memberitahu kalau dirinya pengidap HIV dan divonis penjara 18 bulan.
Terdakwa mengaku bersalah atas aktivitas seks yang dilakukannya dengan seorang pria yang kini berumur 37 tahun, kedua pria gay tersebut melakukan aktivitas seks tersebut di sebuah apartemen pada Januari 2009 lalu.
Terdakwa yang tak bisa disebutkan namanya itu, didiagnosa mengidap virus HIV pada Maret 2008. Suatu ketika di bulan Januari 2009, saat kedua pria itu berada di sebuah apartemen, mereka melakukan oral secara bergantian.  Sebelum melakukan aktivitas seks tersebut, terdakwa tidak memberitahu soal risiko tertular infeksi HIV dari dirinya.
Pria berumur 37 tahun tersebut akhirnya memang terjangkit virus HIV, namun dalam persidangan kasus ini, jaksa penuntut umum tak bisa membuktikan bahwa pria itu telah ditulari oleh terdakwa.
(Sumber : detiknews.com/read/2012/01/18)
  
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan tercantum dalam bacaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar