Minggu, 21 Oktober 2012

Budaya : Ulos, Kain Tradisional dari Sumatera Utara


Dikemas oleh : Isamas54
Ulos adalah salah satu bentuk kain berupa selendang atau sarung yang merupakan simbol dari suku Batak (di Sumatera Utara) untuk mempererat kekerabatan dalam tatanan sosialnya.


Selain Danau Toba dan Tari Tortor, ulos adalah merupakan salah satu icon atau mascot Sumatera Utara, yang secara harfiah, ulos ini berarti 'selimut'  dengan bentuk berupa selendang atau sarung.


Sedangkan pengertian ulos atau kain ulos adalah merupakan kain tenun pakaian khas suku Batak yang menyerupai selendang (bentuk populer) dengan ukuran panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, dengan kedua ujungnya berjuntai-juntai sepanjang sekitar 15 cm. 
Pembuatan biasanya dikerjakan oleh kaum perempuan dengan cara menenun bahan yang berawal dari benang kapas atau rami (di Pematang Siantar sebagian masih me­nenun secara alamiah seperti ini),  namun dalam perkembangannya beberapa penenun  kini sering menggunakan benang yang sudah ada dijual di toko-toko kelontong, karena dirasakan lebih mudah dan efisien. 
Warna dominan adalah merah, hitam dan putih, sedangkan untuk motif atau corak dibentuk melalui pengaturan tenunan dari benang berbagai warna, dan diselingi melalui pengaturan benang berwarna emas atau perak
Alat menenun antara lain : tundalan (pengikat pinggang), turak baliga (pemisah benang), langgiyang(alat penjaga benang agar tidak kusut), dan patubobohon (alat untuk mengukur panjang kain tenunan).
Ulos dalam tatanan hidup bermasyarakat memiliki nilai-nilai tersendiri sesuai dengan ragam dan jenisnya, masing-masing memiliki makna dan tujuan.  Sedangkan sebagai karya seni, ulos adalah merupakan hasil karya yang penuh dengan nilai-nilai estetika. Itu seakan menunjukkan hakikat keberadaan masyarakat Batak. Tak mengherankan bila ulos telah menjadi bagian dari sebuah identitas yang memiliki nilai kultur, ekonomi, dan sosial.

Ragam ulos
Perkembangan zaman telah men­jadi tantangan tersendiri tentang 'kesakralan' ulos dimana saat ini telah dijual secara bebas di berbagai pasar, mulai dari Pematang Siantar, Deli Serdang, hingga Medan.
Dalam memenuhi tuntutan konsumen ulos ini sudah lebih mengarah pada ‘bentuk kain’ sehingga di toko maupun di daerah wisata, ulos dijual se­bagai suvenir bagi para wisatawan dalam bentuk ikat pinggang, sarung bantal, tas, dompet, kain lukisan, dsb.  Bahkan ulos kini sudah dipadu-padankan sehingga sekarang  telah ada beragam jenis ulos, yang memiliki keunikan dan kekhasan dari masing-masing.

Berbagai macam ulos antara lain : antak-antak, bintang maratur, bolean, mangiring, padang ursa & pinan lobu-lobu, pinuncaan, ragi hotang, ragi huting, sibolang rasta pamontari, si bunga umbasang & simpar, sitoluntuho, suri-suri ganjang, simarinjam sisi, ragi pakko & harangan, tutur-tutur, tumtuman, ragi ambasang, ragi hatirongga, ragi panei, ragi sampuboma, ragi sapot, ragi siantar, ragi sidosdos, ragi siimput ni hirik, happu, jugia/pinunsaan, jungkit/purada, lobu-lobu, padang rusa, ulos ragidup, runjat, sadum, simata, tukku, dan dohot angka na asing.
Sedangkan beberapa jenis atau motif ulos sudah tidak diproduksi lagi atau jarang misalnya ulos raja, ulos saput (untuk pembungkus jenazah), dan ulos sibolang.

Makna
Dalam ulos pun terdapat tiga konsep kehangatan, yaitu matahari, api, dan ulos. Selain sebagai penghangat badan juga seringkali dianggap sebagai jimat.  Menurut kepercayaan kuno mempunyai kekuatan yang mampu melindungi raga, atau merupakan tondi terhadap roh jahat (dalam adat Batak).
Warna kain pun memiliki arti sendiri - terutama oleh warga perdesaan – atau ada pantangan yang masih dipercaya, seperti putih melambangkan kesucian dan kejujuran, merah melambangkan kepahlawanan dan keberanian, kuning melambangkan kesuburan dan kekayaan, sedangkan hitam melam­bangkan kedukaan.
Jenis dan peredaran ulos dalam pakemnya tidak sembarangan, karena ada makna dan nilai yang telah ditetapkan berdasarkan aturan dan norma-norma adat yang telah disepakati.  Begitu pula dengan pem­berian dan penerimaan ulos dilakukan berdasarkan falsafah adat, dalihan na-tolu.

Budaya
Sebagai sebuah simbol, fungsi dan kedudukan seseorang dalam pelaksanaan acara adat di Batak (Toba) akan diketahui melalui ulos yang dipakai, diterima, dan yang diberikan sesuai dengan ragam dan jenisnya. 
Pemakaian
Pemakaian ulos harus sesuai dengan tempatnya yaitu untuk menghindari bencana, misalnya saja ulos ragi hotang, warga harus menggunakan pada saat perkawinan.
Sedangkan ulos bintang maratur, merupakan kain tenun yang memiliki paling banyak kegunaannya antara lain dalam acara adat Batak Toba digunakan oleh : (a). anak yang memasuki rumah baru (milik sendiri) yang merupakan suatu kebanggaan terbesar dan menjadi simbol keberhasilan atau prestasi.  (b). Khususnya di daerah Silindung, juga diberikan kepada orang yang akan meresmikan rumah baru. Namun, pemberian ulos tersebut berbeda di daerah Toba, yakni saat acara selamatan kehamilan tujuh bulan.  Biasanya pihak hula-hula akan memberikan kepada anaknya. Ulos bintang maratur juga diberikan kepada pahompu (cucu) yang baru lahir sebagai parompa(gendongan). Menurut kepercayaan kuno, hal itu berguna agar anak yang baru la­hir diiringi kelahiran anak selanjutnya.
Pemberian
Dalam tradisi Batak, warga juga mengenal upacara mangulosi, yakni ritual pemberian kehangatan dan kasih sayang kepada sesama, hal ini bisa dilakukan dalam acara adat intern atau diberikan kepada orang yang secara adat dianggap sangat dihargai atau telah berjasa.  Dalam adat di lingkungannya, seperti ulos yang diberikan kepada sepasang pengantin yang sedang melaksanakan pesta adat disebut ulos held yang memiliki makna kuat bahwa orangtua pengantin perempuan dinyatakan telah menyetujui putrinya dipersunting atau diperistri oleh laki-laki yang telah disebut sebagai hela (menantu).  Pemberian ulos tersebut selalu disertai dengan mandar hela (sarung menantu) yang menunjukkan bahwa laki-laki bersangkutan tidak boleh lagi berperilaku layaknya seorang laki-laki lajang.
Pelestarian
Keberadaan ulos menjadi bukti bahwa kain tradisional itu bukan sekadar penutup badan tetapi juga merupakan sebuah warisan budaya dengan nilai-nilai Filosofis yang begitu kuat sehingga yang patut dijaga termasuk oleh generasi muda hingga tetap dapat diwariskan ke anak-cucu. 

“Tradisi penggunaan ulos adalah merupakan sebuah bukti bahwa orang Batak masih melestarikan warisan budaya leluhurnya … Sebagai falsafah, orang Batak akan selalu menggunakan ulos dalam setiap kesempatan, seperti saat proses kelahiran, pernikahan, dan kematian," komentar budayawan sekaligus seniman Batak, Bonar Gultom, atau sutradara Arga Do Bona ni Pinasa

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber editing bacaan a.l : tulisan pada Media Indonesia tgl 20 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar