Senin, 30 Juli 2012

Manusia Tempe dan yang Mengkhianatinya


Pada 1950-an di kalangan orang Jawa kelas menengah (priayi), muncul anggapan tentang manusia tempe.
Oleh : Radhar Panca Dahana - Budayawan

Sebuah istilah yang bernada peyoratif, bahkan sindiran atau ejekan bagi mereka yang mengonsumsi tempe, makanan produk lokal yang dianggap rendah, murahan, bahkan menjijikkan.  Soekarno, presiden pertama RI, bahkan juga menyebut bangsa ini sebagai 'bangsa tem­pe' dalam konotasi yang juga peyoratif.
Anggapan itu muncul, mungkin, karena tempe adalah ma­kanan busuk karena berdasarkan hasil peragian, semacam proses inokulasi menggunakan kapang dari berbagai jenis rhizopus dari kelompok fungi (jamur).
Sayang, priayi Jawa dan Soe­karno mungkin belum mengetahui tempe, menurut almarhum Onghokham, antara lain telah menjaga kesehatan atau menyelamatkan puluhan juta orang Jawa miskin pada masa represif kolonialisme Jepang.
Mereka juga belum mengerti kenapa kesehatan fisik dan jiwa itu terselamatkan karena khasiat luar biasa tempe. Dari deretan panjang khasiat itu, tempe setidaknya terbukti secara medis dapat menyembuhkan diare, menurunkan tekanan darah, mencegah ane­mia, menolak kanker, infeksi, osteoporosis, dan berbagai penyakit degeneratif. Khasiat yang membuat banyak kalangan di berbagai bangsa dari dulu hingga kini turut mengonsumsinya sebagai pengganti daging.
Sejak ilmuwan Belanda Prinsen Geeling melakukan penelitian ilmiah tentang tempe, pada 1926 pemerintah Jepang menelitinya, dan pada 1946 tempe ditulis dalam jurnal Amerika, The Clinical Nutrition, yang berwibaca itu. Ber­bagai bangsa pun membangun riset yang sama. Hingga saat ini tidak kurang 2.500 buku ditulis secara internasional tentang produk kultural orisinal Indo­nesia itu.

Ribuan tahun
Dari semula berposisi yang sangat minor bahkan hina, tempe ini sudah merambah ke berbagai dunia, Eropa, Asia, Afrika, Australia, hingga Ame­rika. Dalam catatan pada 1984 saja, terdapat 18 pabrik tempe di Eropa, 8 di Jepang, dan 53 pabrik tempe di Amerika. Kita memang bangsa tempe.
Bangsa yang bangga dengan produk dan kulturnya yang dibangun tidak dalam hitungan puluhan, tapi ribuan tahun.
Bukan hanya Serat Centhini (awal abad ke-19) yang mencatat sayur santan tempe seba­gai sajian Amongraga dalam kelananya, dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12) pun kedelai dan peragian itu telah disebutkan.
Dr Sastroamijoyo dalam bukunya, The History of Tempeh, bahkan mencatat usia kultur tempe sudah 2.000 tahun. Angka-angka yang menunjukkan betapa budaya kuliner kita bukanlah adab kemarin sore.
Bukan seperti sebuah bangsa yang mengaku berperadaban tinggi, tapi kultur kulinernya hanya mampu membuat roti yang dibelah diisi tomat, potongan daging bakar, dan sayuran (burger), yang menjadi makanan kebanggaan rakyatnya.
Kutunjukkan siapa kamu dari apa yang kamu makan. Masakan menunjukkan bangsa dan tempe hanya salah satu saja dari ribuan produk kultural yang ditemukan, dikembangkan, dan dipergunakan bangsa ini selama ribuan ta­hun. Bayangkan bila 640-an etnik atau suku bangsa menghasilkan produk kuliner yang ratusan ragamnya, betapa kaya bangsa ini, betapa tinggi budayanya.
Yakinlah kita bahwa kita ialah manusia dan bangsa tempe. Bangsa yang dalam proses pemberadabannya menghasilkan produk-produk budaya bernilai tinggi, yang sains kontemporer baru menyadari belakangan.
Maka, bila negara ini abai, meremehkan, atau menafikan jeritan puluhan ribu produsen tempe Indonesia, apakah bukan ia meremehkan juga adab dan kebudayaan yang membuatnya ada dan bermartabat?
Membiarkan kekuatan kul­tural itu dikendalikan bangsa asing, dengan mengimpor sebagian besar kebutuhan kedelai, Anda mengerti, hal itu bukan hanya sebuah dosa  kebudayaan, rnelainkan juga ancaman bagi masa depan kekuatan terbaik yang kita miliki itu.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan : Media Indonesia tgl. 26 Juli 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar