Pada 1950-an di
kalangan orang Jawa kelas menengah (priayi), muncul anggapan tentang manusia tempe.
Oleh : Radhar Panca Dahana - Budayawan
Sebuah istilah yang
bernada peyoratif, bahkan sindiran atau ejekan bagi mereka yang
mengonsumsi tempe, makanan produk lokal yang dianggap rendah, murahan,
bahkan menjijikkan. Soekarno, presiden
pertama RI, bahkan juga menyebut bangsa ini sebagai 'bangsa tempe' dalam
konotasi yang juga peyoratif.
Anggapan itu
muncul, mungkin, karena tempe adalah makanan busuk karena berdasarkan hasil
peragian, semacam proses inokulasi menggunakan kapang dari berbagai jenis
rhizopus dari kelompok fungi (jamur).
Sayang, priayi Jawa
dan Soekarno mungkin belum mengetahui tempe, menurut almarhum Onghokham,
antara lain telah menjaga kesehatan atau menyelamatkan puluhan juta orang
Jawa miskin pada masa represif kolonialisme Jepang.
Mereka juga belum
mengerti kenapa kesehatan fisik dan jiwa itu terselamatkan karena khasiat luar biasa tempe.
Dari deretan panjang khasiat itu, tempe setidaknya terbukti secara medis dapat
menyembuhkan diare, menurunkan tekanan darah, mencegah anemia, menolak kanker,
infeksi, osteoporosis, dan berbagai penyakit degeneratif. Khasiat yang
membuat banyak kalangan di berbagai bangsa dari dulu hingga kini turut
mengonsumsinya sebagai pengganti daging.
Sejak ilmuwan
Belanda Prinsen Geeling melakukan penelitian ilmiah tentang tempe, pada 1926
pemerintah Jepang menelitinya, dan pada 1946 tempe ditulis dalam jurnal
Amerika, The Clinical Nutrition, yang berwibaca itu. Berbagai bangsa
pun membangun riset yang sama. Hingga saat ini tidak kurang 2.500 buku ditulis
secara internasional tentang produk kultural orisinal Indonesia itu.
Ribuan tahun
Dari semula berposisi
yang sangat minor bahkan hina, tempe ini sudah merambah ke berbagai dunia,
Eropa, Asia, Afrika, Australia, hingga Amerika. Dalam catatan pada 1984 saja,
terdapat 18 pabrik tempe di Eropa, 8 di Jepang, dan 53 pabrik tempe di Amerika.
Kita memang bangsa tempe.
Bangsa yang bangga
dengan produk dan kulturnya yang dibangun tidak dalam hitungan puluhan, tapi
ribuan tahun.
Bukan hanya Serat
Centhini (awal abad ke-19) yang mencatat sayur santan tempe sebagai sajian
Amongraga dalam kelananya, dalam Serat Sri Tanjung (abad ke-12) pun
kedelai dan peragian itu telah disebutkan.
Dr Sastroamijoyo
dalam bukunya, The History of Tempeh, bahkan mencatat usia kultur tempe
sudah 2.000 tahun. Angka-angka yang menunjukkan betapa budaya kuliner kita
bukanlah adab kemarin sore.
Bukan seperti
sebuah bangsa yang mengaku berperadaban tinggi, tapi kultur kulinernya hanya
mampu membuat roti yang dibelah diisi tomat, potongan daging bakar, dan sayuran
(burger), yang menjadi makanan kebanggaan rakyatnya.
Kutunjukkan siapa
kamu dari apa yang kamu makan. Masakan menunjukkan bangsa dan tempe hanya salah
satu saja dari ribuan produk kultural yang ditemukan, dikembangkan, dan
dipergunakan bangsa ini selama ribuan tahun. Bayangkan bila 640-an etnik atau
suku bangsa menghasilkan produk kuliner yang ratusan ragamnya, betapa kaya
bangsa ini, betapa tinggi budayanya.
Yakinlah kita bahwa
kita ialah manusia dan bangsa tempe. Bangsa yang dalam proses pemberadabannya
menghasilkan produk-produk budaya bernilai tinggi, yang sains kontemporer baru
menyadari belakangan.
Maka, bila negara
ini abai, meremehkan, atau menafikan jeritan puluhan ribu produsen tempe
Indonesia, apakah bukan ia meremehkan juga adab dan kebudayaan yang
membuatnya ada dan bermartabat?
Membiarkan kekuatan
kultural itu dikendalikan bangsa asing, dengan mengimpor sebagian besar
kebutuhan kedelai, Anda mengerti, hal itu bukan hanya sebuah dosa kebudayaan, rnelainkan juga ancaman bagi masa
depan kekuatan terbaik yang kita miliki itu.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil
dari internet
Sumber bacaan : Media
Indonesia tgl. 26 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar