Sekitar 150 tahun
lalu, berbagai insiden di laut yang tak terjelaskan, yang mengakibatkan
rusaknya kapal, dijawab publik dengan "menciptakan" monster laut, seperti
kraken, Moby Dick, dan hantu laut.
Oleh
: Brigita Isworo Laksmi
Jules Verne
memberikan jawab dengan menuliskan Twenty Thousand Leagues Under the Sea yang
terbit tahun 1867 di Perancis.
Verne bertutur
tentang kehidupan di kedalaman laut. Dia "bersua" gurita raksasa
dengan 10 tentakel yang kemudian diketahui memiliki
delapan tentakel. Di kegelapan laut hidup paus raksasa Kapal Nautilus di bawah
komando Kapten Nemo secara naratif menguak misteri dalam laut.
Di awal novel,
Profesor Aronnax mengaku, "Kita sama sekali tidak tahu bagian terdalam
laut." "Makhluk apa yang ada di sana, atau mungkin hidup di sana, di
kedalaman dua belas (19 kilometer) atau lima belas mil (24 kilometer) di bawah
permukaan air? Itu di luar pemikiran." (Twenty Thousand Leagues Under
the Sea, Jules Verne).
Novel Verne
merupakan inspirasi dan pegangan bagi ilmuwan serta peneliti kelautan. Penemu
kapal Titanic, Robert D Ballard, saat remaja amat menggemari novel itu.
Petualang laut, penemu peralatan selam, dan pembuat film kehidupan bawah laut
Jacques-Yves Cousteau menyebut novel itu sebagai "kitab suci".
Air meliputi
sekitar 70 persen permukaan bola Bumi "Bumi tampak biru ketika
dilihat dari Bulan". "Laut amat signifikan untuk kehidupan Bumi
bahkan 100 tahun ke depan," ujar Kepala Pusat Penelitian Oseanografi
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Zainal Arifin.
Eksploitasi
daratan
meningkat pesat seiring dengan lahirnya era industri pada awal abad ke-18.
Ekosistem dan lingkungan di darat telah terdegradasi dengan amat signifikan. Sementara itu, laut yang demikian luas
dipandang sebagai sebuah entitas ekosistem yang tak tersentuh. Cara pandang
terhadap laut, yang amat luas serta mengandung misteri, tetap sama: "laut
tetap liar dan tak terjangkau perilaku manusia". Pendapat tentang laut
nyaris tak bergeser karena perubahannya berlangsung demikian lambat. Ukuran
ikan tangkapan, misalnya, baru bisa dibedakan setelah rentang puluhan tahun.
Sementara generasi
muda mengabaikan cerita masa lalu karena mereka memiliki pengalaman sendiri (Newsweek,
14 Mei 2012).
Mereka menganggap
biasa hal-hal yang "tak terbayangkan" pada dua generasi silam karena
mereka tak memiliki fakta masa lalu.
Majalah Newsweek
pertengahan Mei lalu menulis tentang buku karya Callum Roberts, ahli
biologi konservasi laut dari University of York, Inggris, berjudul The Ocean
of Life. Dia memperkirakan, jika tren saat ini berlangsung terus, 40 tahun
atau 50 tahun lagi ikan akan "menghilang" dari laut.
Menguasai laut
Seiring dengan
pesatnya pertambahan penduduk, eksploitasi manusia akhirnya menguasai laut.
Dampak perilaku manusia terhadap ekosistem dan lingkungan mulai menampakkan
wajahnya di laut.
Ancaman terhadap
laut datang dari berbagai lini. Yang pertama adalah overfishing, yang
bisa berujung pada punahnya sejumlah spesies, termasuk spesies yang dilindungi.
Ancaman lain adalah polusi berupa limbah beracun dan limbah padat dari daratan
akibat kegiatan industri, rumah tangga, dan pertambangan. Ancaman mutakhir
adalah pemanasan global yang memiliki dampak berantai terhadap kondisi kimiawi
dan fisika laut serta mengancam sistem iklim.
Menurut buku
Roberts, di beberapa lokasi, hewan besar seperti paus, dolfin, hiu, serta pan
dan sejenisnya telah berkurang hingga 75 persen akibat overfishing. Sementara
dalam setahun hanya ditemukan seekor penyu belimbing di Pasifik! Tahun 1962
ditemukan 20 ekor.
Penangkapan ikan
sekarang juga telah mencapai kedalaman sekitar 1 kilometer di mana terdapat
ikan-ikan besar. Padahal, reproduksi ikan di kedalaman tersebut lambat dan
mereka berada di tengah sistem rantai makanan. "Jika rantai makanan di
tengah terputus, predator di hulu rantai akan terancam hidupnya," tutur
Zainal. Artinya, bisa terjadi kepunahan makhluk hidup di hulu rantai makanan.
Ukuran tangkapan
yang mengecil dan jumlah tangkapan yang semakin sedikit merupakan indikator overfishing.
Suplai perikanan tangkap, menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan Riza Damanik, terus menurun. "Ini terjadi dalam lima
dekade terakhir," ujarnya, sejalan dengan Roberts.
Fungsi laut sungguh
beragam dan tak tergantikan. Laut menyerap sekitar 30 persen emisi karbon
dioksida dari aktivitas manusia. Penyerapan karbon dioksida ini, antara lain,
dilakukan oleh diatom dan plankton yang berfotosintesis. Jika rantai makanan
berakhir di plankton tanpa predatornya lagi, akan terjadi penimbunan
jasad-jasad plankton dan diatom. Terjadi ram snow, diatom atau plankton mati
turun ke dasar laut dan menjadi stok karbon. Pemanasan global akan berlanjut
terus.
Humanisme ekologi
Penguasaan manusia
atas alam yang semakin masif, yang antara lain mengancam keberlanjutan
kehidupan laut, didorong oleh perkembangan teknologi yang pesat. Dalam konteks
kelautan, teknologi penangkapan ikan telah sedemikian maju dan semakin rakus.
Ketika ancaman
ketidakseimbangan ekosistem semakin nyata, diperlukan cara pandang baru. Cara
pandang yang didasarkan pada kesadaran akan keterbatasan Bumi dan ekosistem di
dalamnya.
Pada awal lahirnya,
teknologi adalah untuk membantu memudahkan hidup manusia. Henryk Skolimowski
dalam Living Philosophy, EcoPhilosophy as A Tree of Life mengingatkan
pada frasa "teknologi adalah taktik untuk hidup".
Namun, dalam
perkembangannya, teknologi modern, teknologi (dunia) Barat, telah melupakan
fungsi dasar tersebut. Teknologi modern, tulis Skolimowski, telah gagal sebagai
alat hidup. Sebaliknya, telah terbukti tidak produktif secara ekonomi dan
secara ekologis menghancurkan.
Skolimowski lantas
mencoba mengenalkan ekologi-humanisme yang antara lain, menempatkan manusia
bukan sebagai penguasa dan pengakuisisi, melainkan sebagai penjaga dan pelayan
(lingkungan). Di dalamnya terkandung kohesi (ikatan erat) antara manusia dan
makhluk hidup lainnya.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber bacaan : Kompas tgl. 18 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar