Sabtu, 19 Mei 2012

Sisi Kehidupan : Bukit Kapur, yang Penuh Dilema.


Dikemas oleh : Isamas54
Bukit kapur yang terkadang menjulang tinggi dengan bercak-bercak putih dan coklat ternyata merupakan salah satu andalan sumber penghasilan untuk kehidupan.  Semulus penampilannya kah?.

Potensi dan manfaat
Kapur atau gamping terbentuk dari endapan mahluk hidup bercangkang di dasar laut (seperti gastropoda) yang terbentuk jutaan tahun lalu dan karena proses geologi membentuk punggung-punggung bukit kapur.  
Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia, seperti di Padalarang (Jawa Barat), Kalimantan Tengah (Kota Waringin Barat, Barito Utara, Murung Raya), Palimanan (Kab. Cirebon, Jabar) dan daerah lainnya. Batu kapur yang terdapat di alam bermacam-macam jenisnya, antara lain : kalsit (CaCO3), dolomit (CaCO3.MgCO3), magnesit (MgCO3), siderit (FeCO3), ankerit [Ca2Fe(CO3)4], dan aragonit (CaCO3) yang berkomposisi kimia sama dengan kalsit tetapi berbeda dalam struktur kristalnya.
Batu kapur banyak digunakan oleh berbagai industri untuk keperluan tertentu. Untuk pemakaian di industri kimia, batu kapur perlu diproses terlebih dahulu dengan proses pembakaran hingga menjadi kapur tohor (CaO) atau kapur padam [Ca(OH)2].  Malahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi batu kapur ini dapat juga dimanfaatkan untuk dibuat bahan baku nutrisi pakan ternak yang dikenal dengan sebutan kalsium hidrofosfat (CaHPO4), yaitu merupakan senyawa anhidrat dan dihidrat yang dapat digunakan dalam berbagai industri, khususnya industri pakan ternak.

Kondisi Bukit Gamping/Kapur
Kita sudah tidak aneh lagi apabila melihat adanya gunung kapur yang sedang dibongkar atau diambil kapurnya, sebagai arena panjat tebing di alam (di Citatah Bandung), pada film-film, atau pada televisi yang menayangkan sisi kehidupan dari para pengelola dan buruh angkut di bukit kapur/gamping.  Sedangkan hasilnya yang nyata dan pernah merajai dalam bidang belajar mengajar yaitu kapur tulis sebagai alat tulis di papan tulis.  Kapur tulis ini sekarang sudah mulai terdesak dengan adanya perkembangan teknologi seperti hadirnya white board, computer, dsb.
Sedangkan pemanfaatan lain dari kapur ini yaitu sebagai bahan bangunan sehingga tidak heran kalau bukit kapur yang dulu terlihat menjulang sekarang sudah tinggal sebelah atau hampir habis karena digerogoti/ditambang dengan pemandangan bercak-bercak atau hamparan putih dan coklat muda menghiasi ‘gunung ’ tersebut. 
Namun untuk pemenuhan bahan baku tersebut tidak heran kalau arealnya sedikit berbenturan dengan konservasi atau lingkungan yang disebabkan penggerogotan lahan dan polusi dari pembakaran kapur (debu).
Lain halnya bukit kapur di Pulau Dewata (Bali) yaitu di obyek wisata Garuda Wastu Kencana (GWK), dimana gunung tersebut diiris-iris sehingga membentuk lorong dan tebing (gambar), dimana materi hasil pengerukan tersebut dimanfaatkan untuk pengurukan tanah atau bahan bangunan, sedangkan materi dari gunung yang tersisa menunjang keunikan dan keindahan dari obyek yang patung kepala Dewa Wishnu.

Sisi kehidupan pengelola dan pekerja
Secara garis besar dalam pengolahan batu kapur yaitu : batu diambil/dipecah dari gunung, diangkut melalui truk, dipecah menjadi bagian yang agak kecil, dimasukkan kobong/tungku untuk dibakar, menghasilkan bahan kapur yang siap diolah untuk tahap berikutnya.
Berikut kami sajikan sisi kehidupan di sekitar pengelolaan bukit gamping di dua lokasi yiatu di Desa Redisari-Jawa Tengah dan Desa Gunung Masigit -Jawa Barat.

(1).  Tobong di Desa Redisari-Jawa Tengah
Semula di desa itu terdapat 500 to­bong tetapi sampai kini hanya ada sekitar 50-an tobong yang tersisa.  Kehidupan pekerja dan pemilik tobong di Desa Redisari Kecamatan Ro­wokele, Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah, masih dapat dikatakan perlu mendapat perhatian karena tingkat kehidupannya yang ‘masih kurang memadai’. 

Penjaga bara api
Petugas penjaga bara api di tobong gamping mempunyai tugas menjaga bara supaya terjaga 200 derajat Celsius, dia harus rajin menambah serbuk gergaji dan kayu bakar selama 24 jam tugas guna menahan panas tungku.  Dalam tugasnya terkadang dia hanya melilitkan kaus di kepala dan hidung, setiap kali mersakan napasnya tersengal dan meludah. Upah untuk pekerjaan ini Rp 15,000 sehari semalam.

Pemecah bongkahan gamping
Di dalam cekungan bukit kapur sekitar 10 meteran mereka mencangkul untuk mendapatkan bongkahan gamping di bawah terik matahari yang tegak lurus menusuk bumi, berjongkok menghantam bongkahan batu kapur dengan menggunakan batu. Tugas mereka adalah memecah bongkahan sebelum memasukkan ke dalam pikulan dan mengangkutnya ke truk. Untuk pekerjaan ini seorang cuma sanggup mengangkut 10 pikul sehari, dengan bayaran Rp 1.400 per pikul.  Upah ini masih lumayan bila dibandingkan dibawa ke pemilik to­bong yang hanya membayarnya Rp 1.000 per pikul.

Pemilik tobong
Seorang pemilik empat tobong di Desa Redisari Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, mengaku pro­fesi yang digelutinya tidak terlalu banyak mendatangkan keuntungan. Tak jarang ia hanya mendapat untung dari ongkos angkut ke berbagai kota (beruntung dia punya truk pengangkut).
Kalau ingin untung sedikit lebih banyak, ia pun harus turun langsung, mengerjakan sendiri beberapa pekerjaan kasar seperti mengunggah batang kayu atau gelagah kelapa sebagai alat pembakar, sehingga dia bisa menghemat Rp250.000 dari rangkaian produk yang bisa menelan biaya sekitar Rp 2,5 juta untuk waktu kerja sekitar seminggu.

(b).  Tobong di Desa Gunung Masigit -Jawa Barat
Keterampilan dan jaringan bisnis usaha kapur ini diwariskan orangtuanya yang telah merintis usahanya sejak menjelang tahun 1970-an.  Gambaran eratnya hubungan antara pemilik pengelola tobong ini bisa terlihat antara lain yaitu salah seorang pemilik di daerah ini mempunyai istri yang juga anak pemilik usaha serupa, maka dengan menggabungkan dua kekuatan ini mereka bisa mengelola sebuah tobong atau penambahan baru secara bersama-sama.
Mungkin seperti di daerah lain, yaitu buruh hanya bekerja saat ada bongkahan yang hendak dibakar.  Mereka bekerja ketika memperoleh pesanan untuk mengunggah muatan gamping, membakar tungku, atau menurunkan bahan bakaran, dimana untuk perkerjaan sesuai keahliannya mereka bisa memperoleh upah minimal Rp 120.000, bahkan bisa lebih.
Mustahil mereka bisa mendapat sekitar Rp 2 juta per bulan kalau mereka bekerja di pertanian," kata salah seorang pemilik.

Sudah maksimum
Dalam tingkat pengetahuan untuk bidang kehidupan lain sampai untuk tingkat pemilik tobong gamping sekalipun dia hanya mengerti profesi ini satu-satunya yang bisa dia kuasai.  Sehingga tobong gamping, kayu bakar, bongkahan batu ka­pur, solar, dan api adalah menjadi sahabat mereka selama puluhan tahun, dan mereka lakukan hampir setiap hari, serta hanya pe­kerjaan itulah yang dikenalnya sejak kecil.
Menurut Ketua Paguyuban Pengusaha Kapur Dusun Kalikarag, dari sekitar 700 keluarga di Desa Redisari, hampir 75 persen di antaranya bekerja di rantai pengolahan kapur. Mulai dari penambang, pemecah, pengangkut, kuli pembakar, pengisi karung, hingga pemilik tungku pembakaran dan pemilik lahan penambangan. 
Semua dilakukan secara turun-temurun dan pendidikan mereka rendah, jadi enggak tahu mau kerja apa selain menambang kapur,  Kadang-kadang terpikir olehnya atau yang lain untuk menjadi petani kangkung misalnya namun tidak punya tanah pertanian dan tidak paham cara bercocok tanam.
Hal serupa disampaikan juga oleh salah seorang pengelola tobong di Desa Gunung Masigit, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dimana dia bersikukuh mengatakan, tak memiliki alternatif kehidupan lain di luar urusan memproduksi kapur.

Kesehatan
Dengan upah sangat tak memadai, para kuli tobong masih harus dihadapkan pada persoalan risiko kesehatan.  Menurut catatan Puskesmas Rowokele, dalam setengah tahun terakhir, dari 1.200 kasus penyakit di Redisari, sekitar 575 kasus di antaranya adalah infeksi saluran pernapasan, lebih spesifiknya batuk dan sesak napas. Ini merupakan akibat dari berhamburannya debu dan asap hasil pembakaran kapur.
Tak heran jika salah seorang petugas kobong dalam dua bulan terakhir telah empat kali bolak-balik ke puskesmas dengan keluhan sesak napas. Hal ini bisa dimaklumi karena selain harus menunggu pembakaran gamping setiap hari, rumah warga Redisari selalu kotor dan berdebu, dedaunan dan kulit pohon pun terselimuti debu hasil pembakaran kapur.

Gesekan dengan kepentingan lain
Terdapat tempat penemuan manusia purba di Goa Pawon di wilayah Kabupaten Bandung Barat yang berjarak beberapa kilometer dari lokasi tobong, pemilik bukannya tidak tahu tentang adanya penemuan ini.  Upaya Pemerintah untuk menghentikan kegiatan penam­bangan kapur di kawasan ini dianggap sebagai langkah mematikan kehidupan rakyat setempat.
Perselisihan antara Pemerintah Kabupaten dengan warga pun mencuat dengan terpampangnya berbagai macam spanduk. Di dekat Goa Pawon terpampang papan pengumuman pemkab yang melarang aktivitas penambangan, sedangkan di sepanjang jalan Padalarang-Bandung, ber­bagai spanduk berisi penolakan (antara lain dari Himpunan Pengusaha Pekerja Masyarakat Tambang yang menuliskan, "Tidak ada penutupan. Harga mati!!!".

Memang dalam kehidupan ini, termasuk di sekitar bukit kapur penuh dilema.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber bacaan a.l : www.tekmira.esdm.go.id dan Kompas 4/5/2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar