Dikemas oleh :
Isamas54
Bukit kapur yang
terkadang menjulang tinggi dengan bercak-bercak putih dan coklat ternyata
merupakan salah satu andalan sumber penghasilan untuk kehidupan. Semulus penampilannya kah?.
Potensi
dan manfaat
Kapur atau gamping terbentuk dari endapan mahluk hidup bercangkang di dasar laut (seperti gastropoda) yang terbentuk jutaan tahun lalu dan karena proses geologi membentuk punggung-punggung bukit kapur.
Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia, seperti di Padalarang (Jawa Barat), Kalimantan Tengah (Kota Waringin Barat, Barito Utara, Murung Raya), Palimanan (Kab. Cirebon, Jabar) dan daerah lainnya. Batu kapur yang terdapat di alam bermacam-macam jenisnya, antara lain : kalsit (CaCO3), dolomit (CaCO3.MgCO3), magnesit (MgCO3), siderit (FeCO3), ankerit [Ca2Fe(CO3)4], dan aragonit (CaCO3) yang berkomposisi kimia sama dengan kalsit tetapi berbeda dalam struktur kristalnya.
Potensi batu kapur di Indonesia sangat besar dan tersebar hampir merata di seluruh kepulauan Indonesia, seperti di Padalarang (Jawa Barat), Kalimantan Tengah (Kota Waringin Barat, Barito Utara, Murung Raya), Palimanan (Kab. Cirebon, Jabar) dan daerah lainnya. Batu kapur yang terdapat di alam bermacam-macam jenisnya, antara lain : kalsit (CaCO3), dolomit (CaCO3.MgCO3), magnesit (MgCO3), siderit (FeCO3), ankerit [Ca2Fe(CO3)4], dan aragonit (CaCO3) yang berkomposisi kimia sama dengan kalsit tetapi berbeda dalam struktur kristalnya.
Batu kapur banyak
digunakan oleh berbagai industri untuk keperluan tertentu. Untuk pemakaian di
industri kimia, batu kapur perlu diproses terlebih dahulu dengan proses
pembakaran hingga menjadi kapur tohor (CaO) atau kapur padam [Ca(OH)2]. Malahan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi batu kapur ini dapat juga dimanfaatkan untuk dibuat bahan baku
nutrisi pakan ternak yang dikenal dengan sebutan kalsium hidrofosfat (CaHPO4),
yaitu merupakan senyawa anhidrat dan dihidrat yang dapat digunakan dalam
berbagai industri, khususnya industri pakan ternak.
Kondisi
Bukit Gamping/Kapur
Kita sudah tidak
aneh lagi apabila melihat adanya gunung kapur yang sedang dibongkar atau
diambil kapurnya, sebagai arena panjat tebing di alam (di Citatah Bandung),
pada film-film, atau pada televisi yang menayangkan sisi kehidupan dari para pengelola
dan buruh angkut di bukit kapur/gamping.
Sedangkan hasilnya yang nyata dan pernah merajai dalam bidang belajar
mengajar yaitu kapur tulis sebagai alat tulis di papan tulis. Kapur tulis ini sekarang sudah mulai terdesak
dengan adanya perkembangan teknologi seperti hadirnya white board, computer,
dsb.
Sedangkan pemanfaatan
lain dari kapur ini yaitu sebagai bahan bangunan sehingga tidak heran kalau bukit
kapur yang dulu terlihat menjulang sekarang sudah tinggal sebelah atau hampir
habis karena digerogoti/ditambang dengan pemandangan bercak-bercak atau
hamparan putih dan coklat muda menghiasi ‘gunung ’ tersebut.
Namun untuk
pemenuhan bahan baku tersebut tidak heran kalau arealnya sedikit berbenturan
dengan konservasi atau lingkungan yang disebabkan penggerogotan lahan dan
polusi dari pembakaran kapur (debu).
Lain halnya bukit kapur di Pulau Dewata (Bali) yaitu di obyek wisata Garuda Wastu Kencana (GWK), dimana gunung tersebut diiris-iris sehingga membentuk lorong dan tebing (gambar), dimana materi hasil pengerukan tersebut dimanfaatkan untuk pengurukan tanah atau bahan bangunan, sedangkan materi dari gunung yang tersisa menunjang keunikan dan keindahan dari obyek yang patung kepala Dewa Wishnu.
Sisi
kehidupan pengelola dan pekerja
Secara garis besar
dalam pengolahan batu kapur yaitu : batu diambil/dipecah dari gunung, diangkut
melalui truk, dipecah menjadi bagian yang agak kecil, dimasukkan kobong/tungku
untuk dibakar, menghasilkan bahan kapur yang siap diolah untuk tahap
berikutnya.
Berikut kami
sajikan sisi kehidupan di sekitar pengelolaan bukit gamping di dua lokasi yiatu
di Desa Redisari-Jawa Tengah dan Desa Gunung Masigit -Jawa Barat.
(1). Tobong di Desa Redisari-Jawa Tengah
Semula di desa itu
terdapat 500 tobong tetapi sampai kini hanya ada sekitar 50-an tobong yang
tersisa. Kehidupan pekerja dan pemilik
tobong di Desa Redisari Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah,
masih dapat dikatakan perlu mendapat perhatian karena tingkat kehidupannya yang
‘masih kurang memadai’.
Penjaga bara api
Petugas penjaga bara api di tobong gamping mempunyai tugas menjaga bara
supaya terjaga 200
derajat Celsius, dia harus
rajin menambah serbuk gergaji dan kayu bakar selama 24 jam tugas guna menahan panas tungku. Dalam tugasnya terkadang dia hanya melilitkan
kaus di kepala dan hidung, setiap kali mersakan napasnya tersengal dan meludah.
Upah untuk pekerjaan ini Rp 15,000 sehari semalam.
Pemecah
bongkahan gamping
Di dalam cekungan
bukit kapur sekitar 10 meteran mereka mencangkul untuk mendapatkan bongkahan
gamping di bawah terik matahari yang tegak lurus menusuk bumi, berjongkok
menghantam bongkahan batu kapur dengan menggunakan batu. Tugas mereka adalah memecah
bongkahan sebelum memasukkan ke dalam pikulan dan mengangkutnya ke truk. Untuk
pekerjaan ini seorang cuma sanggup mengangkut 10 pikul sehari, dengan bayaran
Rp 1.400 per pikul. Upah ini masih
lumayan bila dibandingkan dibawa ke pemilik tobong yang hanya membayarnya Rp
1.000 per pikul.
Pemilik
tobong
Seorang pemilik
empat tobong di Desa Redisari Kecamatan Rowokele, Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah, mengaku profesi yang digelutinya tidak terlalu banyak mendatangkan
keuntungan. Tak jarang ia hanya mendapat untung dari ongkos angkut ke berbagai
kota (beruntung dia punya truk pengangkut).
Kalau ingin untung
sedikit lebih banyak, ia pun harus turun langsung, mengerjakan sendiri beberapa
pekerjaan kasar seperti mengunggah batang kayu atau gelagah kelapa sebagai alat
pembakar, sehingga dia bisa menghemat Rp250.000 dari rangkaian produk yang bisa
menelan biaya sekitar Rp 2,5 juta untuk waktu kerja sekitar seminggu.
(b). Tobong di Desa Gunung Masigit -Jawa Barat
Keterampilan dan
jaringan bisnis usaha kapur ini diwariskan orangtuanya yang telah merintis
usahanya sejak menjelang tahun 1970-an.
Gambaran eratnya hubungan antara pemilik pengelola tobong ini bisa
terlihat antara lain yaitu salah seorang pemilik di daerah ini mempunyai istri
yang juga anak pemilik usaha serupa, maka dengan menggabungkan dua kekuatan ini
mereka bisa mengelola sebuah tobong atau penambahan baru secara bersama-sama.
Mungkin seperti di
daerah lain, yaitu buruh hanya bekerja saat ada bongkahan yang hendak dibakar. Mereka bekerja ketika memperoleh pesanan untuk
mengunggah muatan gamping, membakar tungku, atau menurunkan bahan bakaran, dimana
untuk perkerjaan sesuai keahliannya mereka bisa memperoleh upah minimal Rp
120.000, bahkan bisa lebih.
Mustahil mereka
bisa mendapat sekitar Rp 2 juta per bulan kalau mereka bekerja di
pertanian," kata salah seorang pemilik.
Sudah
maksimum
Dalam tingkat pengetahuan
untuk bidang kehidupan lain sampai untuk tingkat pemilik tobong gamping sekalipun
dia hanya mengerti profesi ini satu-satunya yang bisa dia kuasai. Sehingga tobong gamping, kayu bakar,
bongkahan batu kapur, solar, dan api adalah menjadi sahabat mereka selama
puluhan tahun, dan mereka lakukan hampir setiap hari, serta hanya pekerjaan
itulah yang dikenalnya sejak kecil.
Menurut Ketua
Paguyuban Pengusaha Kapur Dusun Kalikarag, dari sekitar 700 keluarga di Desa
Redisari, hampir 75 persen di antaranya bekerja di rantai pengolahan kapur.
Mulai dari penambang, pemecah, pengangkut, kuli pembakar, pengisi karung,
hingga pemilik tungku pembakaran dan pemilik lahan penambangan.
Semua dilakukan
secara turun-temurun dan pendidikan mereka rendah, jadi enggak tahu mau kerja
apa selain menambang kapur, Kadang-kadang
terpikir olehnya atau yang lain untuk menjadi petani kangkung misalnya namun tidak
punya tanah pertanian dan tidak paham cara bercocok tanam.
Hal serupa
disampaikan juga oleh salah seorang pengelola tobong di Desa Gunung Masigit,
Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dimana dia bersikukuh
mengatakan, tak memiliki alternatif kehidupan lain di luar urusan memproduksi
kapur.
Kesehatan
Dengan upah sangat
tak memadai, para kuli tobong masih harus dihadapkan pada persoalan risiko
kesehatan. Menurut catatan Puskesmas
Rowokele, dalam setengah tahun terakhir, dari 1.200 kasus penyakit di Redisari,
sekitar 575 kasus di antaranya adalah infeksi saluran pernapasan, lebih spesifiknya
batuk dan sesak napas. Ini merupakan akibat dari berhamburannya debu dan asap
hasil pembakaran kapur.
Tak heran jika
salah seorang petugas kobong dalam dua bulan terakhir telah empat kali
bolak-balik ke puskesmas dengan keluhan sesak napas. Hal ini bisa dimaklumi
karena selain harus menunggu pembakaran gamping setiap hari, rumah warga
Redisari selalu kotor dan berdebu, dedaunan dan kulit pohon pun terselimuti
debu hasil pembakaran kapur.
Gesekan
dengan kepentingan lain
Terdapat tempat
penemuan manusia purba di Goa Pawon di wilayah Kabupaten Bandung Barat yang
berjarak beberapa kilometer dari lokasi tobong, pemilik bukannya tidak tahu
tentang adanya penemuan ini. Upaya
Pemerintah untuk menghentikan kegiatan penambangan kapur di kawasan ini
dianggap sebagai langkah mematikan kehidupan rakyat setempat.
Perselisihan antara
Pemerintah Kabupaten dengan warga pun mencuat dengan terpampangnya berbagai macam
spanduk. Di dekat Goa Pawon terpampang papan pengumuman pemkab yang melarang
aktivitas penambangan, sedangkan di sepanjang jalan Padalarang-Bandung, berbagai
spanduk berisi penolakan (antara lain dari Himpunan Pengusaha Pekerja
Masyarakat Tambang yang menuliskan, "Tidak ada penutupan. Harga
mati!!!".
Memang dalam
kehidupan ini, termasuk di sekitar bukit kapur penuh dilema.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber
bacaan a.l : www.tekmira.esdm.go.id dan Kompas 4/5/2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar