Jumat, 18 Mei 2012

Buruh Global : Bersiap Menghadapi Model Kerja Sama Gabungan


Hari Buruh pada awal bulan Mei diperingati di berbagai negara di dunia, diikuti ratusan ribu orang di masing-masing negara, mulai dari Indonesia sampai Kuba.

Oleh : Rene L Pattiradjawane

Di daratan China, Hari Buruh adalah libur nasional masuk kategori "minggu emas" karena libur selama seminggu sama halnya dengan libur Tahun Baru Imlek.
Sejak Revolusi Industri yang berlangsung selama 100 tahun sejak tahun 1750, posisi kaum buruh terombang antara bentrokan ideologi dan adu kekuatan politik, menempatkan kelompok pekerja pada lapisan terbawah di dalam kemajuan industri yang mengubah tatanan pertanian, manufaktur, pertambangan, transportasi, dan teknologi.
Celakanya, perjuangan kelas yang dimulai sejak diterbitkannya "Manifesto Komunis" tahun 1949 oleh Karl Marx ternyata tidak menghasilkan kemenangan kaum proletariat yang memiliki lambang palu arit untuk menggulingkan kelompok borjuasi yang menguasai dan memiliki alat-alat produksi.
Revolusi yang selalu muncul dalam sejarah perjuangan kelas, menurut Marx, selalu menyebabkan terjadinya restrukturisasi masyarakat, dan terus berputar karena kaum borjuasi se­lalu secara konstan melakukan eksploitasi melalui berbagai revolusi produksi menciptakan gangguan-gangguan terus-menerus terhadap kondisi sosial.
Francis Fukuyama, penulis buku terkenal The End of His­tory and The Last Man (1992), dalam tulisannya "The Future of History: Can Liberal Democracu Survive the Decline of the Mi­ddle Class?" di jurnal Foreign Affairs (Januari/Februari 2012) menyebutkan, yang terjadi adalah kompetisi yang berlangsung lebih dari satu abad.
Persaingan dimulai antara kepemimpinan gerakan demokrasi melalui komunisme yang mau melepaskan diri dari demokrasi prosedural (pemilu multipartai) untuk digantikan dengan demokrasi substantif (redistribusi ekonomi) berhadapan dengan kelompok demokrat liberal yang percaya untuk memperluas partisipasi politik dengan tetap mempertahankan penegakan hukum melindungi liak individu/termasuk hak kepemilikan.

Mencegah kontaminasi
Persoalan yang kita hadapi sekarang kaum buruh juga berkembang menjadi sebuah kelas yang terpecah antara pekerja kerah putih dan kerah biru yang bekerja dalam perusahaan multinasional yang sudah tidak lagi mengenal batas-batas nasionalisme beroperasi di lebih dari 30 negara di seluruh dunia.
Para pekerja ini pun berkembang pesat menjadi bagian dari masyarakat dunia akibat kema­juan teknologi komunikasi informasi, memberikan peluang dan kesempatan yang seluas-luasnya kepada siapa saja. Parti­sipasi politik dalam globalisasi sekarang ini menjadi tidak relevan, apalagi ketika muncul "model China" yang menjadi pilihan alternatif dalam menghadapi gagasan demokrasi liberal.
Perdebatan ini dalam konteks krisis zona euro sebenarnya kembali menekankan persoalan penguasaan alat produksi, termasuk modal yang mekanisme finansialnya menjadi taruhan antara para politisi serakah serta mereka yang khawatir prog­ram pengetatan menyebabkan kesengsaraan dan pemulihan ekonomi tidak akan terjadi.
Pilihannya adalah menaikkan pajak kelompok borjuasi yang di Perancis dipikirkan untuk dinaikkan sampai 75 persen bagi pa­ra jutawan. Dan para pekerja kerah putih yang bekerja di lembaga-lembaga keuangan du­nia menjadi momok bagi siapa saja di seluruh dunia karena ulah dan tindakan mereka mampu memaksa pemerintahan di mana saja melakukan privatisasi usaha-usaha milik negara.
Bagi kelas buruh dan pekerja di Eropa, kebijakan pengetatan anggaran di negara-negara anggota Uni Eropa sepertinya tidak memiliki visi tentang kapitalisme dan globalisasi yang terus-menerus didesak oleh AS sebagai upaya untuk mencegah terkontaminasinya kembali perekonomian mereka akibat terpuruknya benua Eropa.

Produk bersama

Dari situasi kawasan Eropa, jelas program pengetatan ke­uangan Uni Eropa (UE) tidak banyak membantu perkembangan dan pertumbuhan kelas pe­kerja dan buruh di dunia.
Semangat UE untuk memimpin jalan ketiga global antara kapitalisme laissez-faire dan sosialisme yang terkendalikan kandas. Perkembangan globali­sasi dunia pada dua dekade terakhir ternyata memang menghadirkan beragam bentuk kapi­talisme yang memiliki derajat, bahkan taruhan yang berbeda satu sama lain yang tidak bisa diselaraskan pleh masyarakat.
Yang menarik dari berbagai perkembangan ini sebenarnya usulan yang disampaikan oleh Wakil PM China Li Keqiang dalam artikelnya berjudul "China Has High Hopes for European Ties" yang dimuat harian Finan­cial Times tanggal 1 Mei 2012. Menurut Li, yang menjadi ba­gian penting dalam regenerasi
Partai Komunis China (PRO, China berharap ada keterbukaan dan kerja sama yang lebih luas di Eropa
"Secara ekonomi, kedua ka­wasan memiliki keuntungan diri masing-masing kekuatan yang ada, dan ini fitur dalam menentukan hubungan China-Uni Eropa," tulis Li Keqiang.
Ditambahkan, "Ketika 'dirancang di Eropa' dikombinasikan dengan 'dibuat di China' dan ketika berbagai teknologi Eropa diejawantahkan ke pasaran China hasilnya akan luar biasa"
Li Keqiang percaya China dan Eropa bisa mencapai keberhasilan untuk mengembangkan model pembangunan sesuai kondisi masing-masing.  Gagasan untuk menciptakan produk bersama memang menjadi pilihan menarik dan perlu dicermati dan dipertimbangkan secara serius bagi kelangsungan masa depan bersama.
Jika ini terjadi, pertanyaan berikut adalah di mana posisi kita di Asia Tenggara dan benua Afrika yang selama ini menyediakan berbagai sumber bahan mentah bagi pertumbuhan ekenomi mereka?

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : Kompas tgl. 5 Mei 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar