Rencana pembelian
67,3 persen saham Asia Financial di Bank Danamon oleh BS Group Singapura
seharga 6,2 miliar dollar Singapura (setara Rp 45,2 triliun) telah memicu
kontroversi yang cukup sengit.
Oleh
: A Tony Prasetiantono - Kepala Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Baik Asia Financial
maupun DBS Group adalah entitas bisnis yang sama-sama dimiliki Temasek Holdings
Singapura. Peristiwa ini seperti "menguak luka lama" industri
perbankan Indonesia Mengapa?
Dalam beberapa
tahun ini - terutama sejak industri perbankan
mengalami "musim semi" setelah membukukan laba yang terus naik
signifikan - kita seperti disadarkan mengenai betapa menariknya industri ini di
mata investor asing. Kesadaran lain juga timbul atas betapa liberalnya industri
perbankan sehingga investor asing bisa memiliki saham bank nasional hingga 99
persen. Situasi yang tidak terjadi di negara-negara tetangga.
Sementara itu, ironisnya,
bank-bank besar kita justru kesulitan melakukan penetrasi pasar luar negeri.
Bayangkan, BNI yang sudah punya cabang di Singapura sejak tahun 1955 -atau
sebelum Singapura merdeka - sulit membuka cabang baru di sana. Bank Mandiri
juga susah masuk pasar Malaysia. Hal serupa terjadi di China.
Ironisnya, hal ini
berbanding terbalik dengan penetrasi bank-bank Singapura dan Malaysia di
Indonesia. Dari sinilah timbul isu menuntut hak asas resiprokalitas, yakni
kemudahan yang sudah diberikan Bank Indonesia (BI) kepada bank asing hendaknya
juga diimbangi dengan kemudahan setara oleh bank sentral atau otoritas
perbankan di negara-negara tersebut.
Dengan latar
belakang seperti ini, transaksi jual-beli saham mayoritas Bank Danamon oleh
anak-anak perusahaan Temasek menjadi isu sensitif. Celakanya lagi, transaksi
besar ini tidak lebih dulu diberitahukan kepada BI. BI pun merasa
"dilangkahi", dan situasi menjadi runyam tatkala BI tidak serta-merta
menyetujuinya.
Untuk melihat
permasalahan ini secara lebih jernih dan komprehensif, kita harus menengok
kejadian krisis ekonomi Indonesia tahun 1998. Kombinasi antara salah
urus bank, ketidakhati-hatian pengelolaan bank, aji mumpung (moral hazard), terlalu
agresifnya mencari utang luar negeri, serta krisis politik menjelang kejatuhan
Presiden Soeharto, telah menjerumuskan industri perbankan kita ke jurang yang
dalam.
Kehancuran industri
perbankan ditandai dengan rekapitalisasi bank yang mencapai Rp 431
triliun atau 50 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kondisi
ini tergolong parah karena rekapitalisasi bank yang terjadi di negara-negara
lain tidak ada yang sebesar itu. Misalnya, Cile (43 persen tahun 1981), Uruguay
(32 persen, 1981), Jepang (122 persen, 1992), Venezuela (25 persen, 1994),
Thailand (35 persen, 1997), Korea Selatan (28 persen, 1997), dan Malaysia (18
persen, 1997) [Djiwandono 2004].
Bank-bank penerima
suntikan rekapitalisasi
itu antara lain Bank Mandiri (Rp 175 triliun), BNI (Rp 62 triliun), BCA (Rp 60
triliun), Danamon (Rp 47 triliun), BRI (Rp 28 triliun) Niaga (Rp 9 triliun),
Lippo (Rp 7,7 triliun), BII (Rp 6,6 triliun), Bali (Rp 5,3 triliun), dan
Universal (Rp 4,6 triliun). Karena pemerintah tak punya uang tunai, rekapitalisasi
dengan rekayasa akuntansi berupa penerbitan obligasi rekapitalisasi yang
disuntikkan ke bank-bank sakit tersebut.
Sesudah
direkapitalisasi dan direstrukturisasi, bank-bank itu kemudian didivestasi oleh
pemerintah. Berhubung Indonesia sedang krisis, penting untuk mengundang
investor asing membeli aset-aset itu.
Karena itulah, ketika
Bank Mandiri dan Jamsostek sempat berniat membeli Bank Permata (tahun 2004),
pemerintah menolaknya dan lebih memilih investor asing. Alasannya,
Indonesia butuh masuknya devisa yang bisa memperkuat cadangan devisa Dampak
positifnya, dapat membantu apresiasi rupiah. Masuknya investor asing juga menjadi
penanda pulihnya kepercayaan internasional atas Indonesia.
Berdasarkan latar
belakang ini, kehadiran investor asing menjadi relevan dan dibutuhkan pada saat
itu. Namun, kini zaman telah berubah drastis. Indonesia sudah meraih peringkat investment grade (layak investasi)
sehingga investor asing lebih mudah diyakinkan untuk masuk ke Indonesia, baik
melalui jalur penanaman modal asing maupun portofolio lewat pasar modal.
Akibatnya, cadangan devisa yang dikuasai BI kini mencapai 114 miliar dollar
AS. Jauh di atas level 21 miliar dollar AS (krisis tahun 1998) dan 60 miliar
dollar AS (krisis 2008-2009).
Karena itu,
sesungguhnya upaya Indonesia untuk menarik investor asing - khususnya
di industri perbankan - tidaklah terlalu mendesak seperti dulu.
Kebijakan mengizinkan investor asing memiliki hingga 99 persen saham perbankan
nasional tidak lagi kuat relevansinya. Jika mengacu pengalaman negara lain (best practices), tak ada lagi negara yang punya
model kebijakan yang dulu kita lakukan karena "kepepet" itu.
Karena itu, logis
jika kita perlu mengubah aturan itu. Jika sebuah bank dimiliki oleh kian banyak
pemegang saham, maka hampir pasti terjadi mekanisme kontrol yang lebih efektif
untuk mendorong transparent dan akuntabilitas. Ini sesuai dengan teori principal-agent
oleh Michael Jensen dan William Meckling (1976), serta teori X-efficiency
yang sebelumnya digagas Harvey Leibenstein (1966 dan 1976).
Kini tersedia dua
opsi bagi BI. Pertama, kepemilikan asing dibatasi, misalnya menjadi 51
persen, tetapi tidak berlaku surut. Alasannya, dulu kita mengundang investor
asing "secara baik-baik" saat perekonomian Indonesia krisis. Ketika
perekonomian kini membaik, investor asing tetap kita perlakukan secara
"baik-baik". Kedua, kepemilikan asing dibatasi
menjadi 51 persen yang berlaku surut, tetapi disediakan periode transisi yang
cukup, misalnya lima tahun. Setiap tahun saham mayoritas berkurang 10 persen,
dijual ke pasar modal. Memang bisa timbul celah investor lama muncul dengan
"bendera" baru (special purpose vehicle). Namun di era
global, sulit menjamin bahwa praktik itu tidak terjadi.
Namun, saya rasa
tak akan ada regulasi BI yang tidak menyisakan celah. Di sektor fiansial selalu
ada rekayasa yang bisa dilakukan investor untuk "mengakan" kebijakan
otoritas finansial. Ini berlaku universal, tidak hanya di Indonesia, tetapi
juga di mana saja. Krisis subprime mortgage di AS telah meng-ajarkan,
sepintar apa pun The Fed dan otoritas pasar modal AS, tetap bisa kecolongan
oleh akrobat para petualang.
Menjadi urgen bagi
BI untuk membuat regulasi yang mendorong penguatan tata kelola (governance) bank.
Mau opsi pertama atau kedua yang dipilih, tidak masalah. Yang penting hal itu ditempuh
dengan mengedepankan prinsip keadilan bagi semua investor, baik lokal maupun
asing. Prinsip ini penting untuk memelihara sentimen positif yang
sedang kita miliki.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
Sumber bacaan : Kompas
tgl. 7 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar