Sabtu, 21 April 2012

Tragedi Kutang


Sekilas kutang tampak hanya barang biasa, pakaian dalam perempuan untuk menyangga buah dada. Namun, keberadaan kutang saat ini bukan semata-mata karena nilai-guna itu.

Oleh : Musyafak - Pengkaji Budaya di Open Mind Community;Anggota Staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang

Kutang telah ditahbiskan sebagai simbol femininitas atau identitas perempuan yang mengukuhkan citra sosial. Manusia modern pun menjelmakan kutang sebagai simbol kecantikan dan erotisme.
Orang Indonesia juga mengenalnya sebagai bra (brassiere) atau BH (buste houndef). Linda Hamalian (2005) mencatat, bra modern seperti dikenakan jamak perempuan terkini diciptakan pada 1910 oleh Caresse Crosby (1891-1970), seorang sosialita Amerika yang bernama kecil Mary Phelps Jacob, meski cikal bakal bra telah ada sejak jauh-jauh zaman sebelumnya, misal korset di Eropa, dudou di China, atau kalasiris di Mesir.
Kutang telah mendominasi cara berpakaian perempuan In­donesia hari ini. Tanpa kutang, identitas perempuan dianggap seolah tak genap. Sebab, kutang juga telah diarak di tengah pernik simbol moralitas. Taruhlah, perempuan dewasa tak berkutang rentan dicap sebagai kurang adab.
Belum diketahui secara persis kapan para perempuan pribumi mulai mengenal dan mengenakan kutang. Sementara sebe­lumnya, sebagian masyarakat, khususnya perempuan di Jawa atau Bali, telah mengenal kemben, yakni sejenis kain atau selendang yang dililitkan menutupi dada.
Novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007: 2270 karya Remy Sylado menghadiahi satu jejak historis perkenalan perempuan pribumi dengan kutang. Pada abad ke-19, banyak budak laki-laki dan pe­rempuan dipekerjakan dalam proyek pembangunan Jalan Pos Anyer-Panarukan. Kala itu, lelaki dan perempuan terbiasa ngligo atau bertelanjang dada. Don Lopez comte de Paris, seorang mandor proyek itu, menyuruh para perempuan menutup payudaranya. la memotong-motong kain putih dan memberikannya kepada salah seorang budak perempuan belia. "Tutup bagian berharga itu," katanya. Beberapa kali Don Lopez mengulang kata coutant (Perancis: berharga) untuk menunjuk payudara perempuan. Orang-orang pribumi kebingungan memahami maksud sang mandor, lantas mengira coutant adalah penutup payudara dan dilafalkan dengan "kutang".
Tampaknya, perkenalan pe­rempuan pribumi dengan kutang tidak serta-merta mengikis kebiasaan ngligo di pedesaan ataupun perkotaan hingga abad ke-20.
Elitisme kutang terbetik da­lam kisah Entrok (2010), novel Okky Madasari, yang berlatar pertengahan abad ke-20. Alkisah, Marni, gadis yang payudaranya mulai mekar, sangat ingin memiliki entrok (kutang) agar saat berlari atau melompat tidak terguncang. Entrok hanya mampu dijangkau orang-orang kaya, sementara Marni hanyalah anak seorang buruh pengupas ubi di Pasar Singget. Demi kutang, Marni bekerja keras se­bagai kuli angkut hingga ia berhasil membeli entrok. Lantas en­trok menjadi atribut bagi Marni sebagai perempuan yang "berbeda" dari sebelumnya.
Pencitraan
Produksi kutang dewasa ini pun semakin gencar menyasar pada nilai citrawi. Misalnya, Vic­toria's Secret, perusahaan pakai­an dalam perempuan tersohor dari Amerika Serikat, membuat kutang berenda berlian atau permata seharga jutaan dollar AS. Perempuan papan atas atau artis memakainya sebagai sim­bol kecantikan sekaligus pengukuh status sosial mereka.
Gaya berpakaian yang cenderung "memamerkan" kutang te­lah menjerumuskan pakaian dalam itu sebagai simbolitas erotik. Padahal, dahulu, lelaki dan perempuan berada di ruang-ruang publik dengan bertelanjang dada tanpa menimbulkaa efek seksual yang negatif.
Mardi Luhung, dalam cerpennya yang berjudul Tukang Cuci (Kompas, 19 Juli 2009), menyinggung nasib kutang yang kehilangan tempat persembunyian. Kisahnya, seorang lelaki, yang sedang mencuci kutang istrinya, membayangkan seandainya benda itu bisa bicara, mungkin begini keluhannya: "Aku dibentuk dari keindahan. Semestinya aku tersembunyi. Dan semestinya juga aku hanya terbuka bagi yang memang layak untuk membuka. Tapi, apa mau dikata, roda terus berputar. Yang di atas, kini di bawah. Dan yang rapat pun kini tak rapat lagi. Tak ada tempat bersembunyi."
Maka, tak aneh jika hari ini sebagian orang berkata bahwa kutang bukan lagi pakaian da­lam. Begitulah tragedi kutang terjadi di tengah pamrih ber­pakaian yang merayakan keterbukaan tubuh untuk merebut citra kecantikan.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber  : Kompas tgl. 13 Maret 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar