Subsidi BBM Buat (Si) Apa? (Bagian 1)
Menjelaskan Kenaikan Harga Premium dan Solar.
Menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah pasti mengundang protes. Ini adalah kebijakan yang sangat tidak populer. Banyak orang menilai, keputusan itu tidak berpihak pada rakyat banyak atau kaum papa.
Jika mungkin, tentu Pemerintah menghindari kebijakan yang tidak menyenangkan banyak orang ini. Namun, pada suatu kondisi tertentu seperti saat ini, mau tak mau Pemerintah terpaksa mengambil langkah yang tidak populer demi kepentingan yang lebih besar. Berikut ini adalah penjelasan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang memenuhi pikiran banyak orang, mengapa harga Premium dan Solar kali ini harus naik.
1. Mengapa pemerintah menaikkan harga Premium dan Solar?
Harga jual Premium dan Solar saat ini, yaitu Rp 4.500 per liter, jauh lebih rendah daripada harga pokoknya. Pemerintah harus menambal kekurangan itu dengan mengambil uang (subsidi) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Harga minyak dunia dan konsumsi dalam negeri yang semakin melonjak tinggi belakangan ini membuat subsidi untuk Premium dan Solar menjadi semakin besar. Dalam menghitung APBN 2012, Pemerintah dan DPR menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar US$ 90 per barel sebagai patokan. Kenyataannya, selama Februari rata-rata harga minyak mentah Indonesia saat ini sudah US$ 122,17 per barel. Sedangkan konsumsi Solar dan Premium juga meningkat dari 35,8 juta kiloliter pada 2010 menjadi 38,5 juta kiloliter pada 2011 lalu.
Akibatnya, subsidi untuk Solar dan Premium sepanjang 2012 akan melonjak dari Rp 123,6 triliun menjadi Rp 191,1 triliun. Jika harga minyak dunia terus naik, subsidi akan menggelembung di luar kemampuan anggaran negara. Padahal, pengeluaran itu akan lebih bermanfaat jika dipakai untuk keperluan lain, misalnya pembangunan jalan, jembatan, dermaga, kapal perintis, infrastruktur lain yang sangat diperlukan masyarakat atau untuk peningkatan pelayanan pendidikan. Masyarakat yang kurang mampu akan menikmati manfaat lebih besar jika harga Premium dan Solar lebih tinggi. Sebab masyarakat yang kurang mampu yang kurang mampu bukan konsumen Premium maupun Solar yang terbesar.
Harga jual Solar dan Premium yang terlalu rendah dibanding harganya di luar negeri juga cenderung mendorong penyelundupan dan penyelewengan Solar dan Premium yang seharusnya diperuntukkan konsumen dalam negeri. Yang mendapatkan manfaat dari subsidi adalah para penyelundup dan penyeleweng.
2. Memangnya harga Premium dan Solar di Indonesia lebih murah dibanding dengan harga di negara-negara lain?
Karena ada subsidi, harga jual Premium dan Solar di dalam negeri jauh lebih murah daripada harga barang yang serupa di negara-negara tetangga. Itu sebabnya, para penyelundup justru menikmati perbedaan harga ini seraya merugikan keuangan hegara dan kita semua. Di bawah ini adalah perbandingan harga Premium dengan harga bahan bakar serupa di beberapa negara tetangga. Memang ada perbedaan kualitas antara bensin yang dijual di sini dengan bensin di beberapa negara itu, yang bilangan oktannya lebih tinggi dan oleh karenanya kualitasnya lebih baik. Namun, bensin di negara tetangga yang diperbandingkan adalah bensin berkualitas terendah yang tersedia di pasar, sama halnya dengan Premium di Indonesia.
Negara, Harga Eceran Bensin dalam mata uang local, Harga Eceran Bensin dalam Rp, dan (Harga Eceran tsb. Disubsidi/tidak disubsidi)
Indonesia (RON 88) : Rp 4.500 Rp 4.500 (Disubsidi)
Malaysia (RON 95) : RM 1,90 Rp 5.753 (Disubstdi)
Thailand (Blue Gasoline 91) : Baht 41,51 Rp 12.453 (Tidak Disubsidi)
Philipina (unleaded) : P 58.50 Rp 12.147 (Tidak Disabsidi)
Singapore (Grade 92) : S$2.150 Rp 15.695 (Tidak Disubsidi)
Catatan : Harga bensin per 12 Maret 2012, konversi kurs menggurakan kus tengah Bulan Maret 2012
3. Indonesia kan negara penghasil minyak, jika harga minyak naik bukankah penerimaan Pemerintah naik?
Betul, jika harga minyak naik, penerimaan negara juga naik. Namun, pada saat yang sama pengeluaran negara juga turut melonjak. Perhitungannya, setiap kenaikan harga sebesar US$ 1 per barel, dengan asumsi kurs Rp 9.000 per dolar, akan menaikkan penerimaan sebesar Rp 3,37 triliun. Namun kenaikan US$ 1 per barel itu juga meningkatkan pengeluaran negara dalam jumlah yang lebih besar, yakni Rp 4,3 triliun. Jadi, secara netto, setiap ada kenaikan harga minyak sebesar USS 1 per barel, APBN harus menanggung beban tambahan Rp 900 miliar. Beban totalnya tinggal mengalikan jumlah ini dengan berapa USS kenaikan harga minyak yang terjadi. Dari sini terlihat jelas bahwa penerimaan dari migas semakin kecil karena produksinya menurun sementara subsidinya justru makin meningkat karena konsumsi semakin besar. Tak boleh dilupakan, harga jual Premium dan Solar juga tidak berubah selama hampir empat tahun terakhir, sejak kenaikan harga yang terakhir pada Mei 2008.
4. Artinya, jika harga minyak mentah tidak melonjak tinggi harga jual BBM bersubsidi bisa turun?
Betul, harga BBM bersubsidi juga bisa turun jika harga minyak mentah rendah. Sebagai gambaran, pada Mei 2008 harga rata-rata minyak mentah Indonesia mencapai US$ 121 per barel. Pada saat itu, Pemerintah terpaksa menaikkan harga Premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter. Namun, per 1 Desember 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menurunkan harga Premium menjadi Rp 5.500 per liter karena rata-rata harga minyak mentah Indonesia sejak Januari-Desember 2008 sudah turun menjadi US$ 95,87 per barel. Sejalan dengan penurunan harga minyak mentah Indonesia, Presiden SBY juga menurunkan lagi harga jual Premium menjadi Rp 5.000 per liter (15 Desember 2008) dan sekali lagi menjadi Rp 4.500 per liter, pada 15 Januari 2009. Sejak saat itu, harga Premium dan Solar tidak pernah naik kendati harga minyak mentah Indonesia kembali melonjak tinggi. Per Februari 2012, harga minyak mentah Indonesia sudah menyentuh USS 122,17 per barel, jauh di atas patokan USS 90 per barel dalam APBN 2012.
5. Apakah Pemerintah tidak mencari solusi lain, di luar menaildcan harga Premium dan Solar?
Pemerintah tidak hanya menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Untuk mengantisipasi melonjaknya defisit anggaran, juga ada serangkaian kebijakan mulai dari penghematan pengeluaran, optimalisasi penerimaan negara dari pajak maupun non-pajak, serta memanfaatkan sisa anggaran lebih (SAL) tahun latu. Inilah sebabnya Pemerintah mengusulkan RAPBN Perubahan 2012. Secara total, serangkaian kebijakan optimalisasi anggaran ini dapat menghernat Rp 183,6 triliun, di mana Rp 53,8 triliun di antaranya berasal dari penghematan subsidi BBM. Penghematan belanja secara besar-besaran itu dilakukan dengan mengurangi pengeluaran belanja pegawai, perjalanan dinas non-operasional, pembelian barang non-operasional maupun honorarium. Usulan pemo-tongan belanja Pemerintah ini mencapai Rp 60,9 triliun, Kendati melakukan penghematan besar-besaran, pemotongan belanja Pemerintah itu terbatas pada dana non-operasional sehingga tidak akan menurunkan kualitas pelayanan publik di bidang pendidikan dan sebagainya dan tidak akan mengganggu rencana pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang sangat dibutuhkan masyarakat Pemerintah justru mengusulkan untuk menggunakan sebagian dari penghematan subsidi untuk meningkatkan beberapa program kesejahteraan rakyat dan infrastruktur.
6. Kalau Pemerintah bisa mengurangi defisit dengan menghemat anggaran, mengapa masih harus menaikkan harga Premium dan Solar?
Alasan pengurangan subsidi untuk Premium dan Solar bukanlah semata-mata untuk menghemat anggaran. Setidaknya ada lima alasan penting bagi kita semua untuk berkomitmen mengurangi subsidi BBM. Yakni, lebih berpihak pada si kecil, lebih hemat dan ramah lingkungan, lebih bermanfaat, lebih benar, dan lebih awet.
Berikut penjelasannya:
(Pertama), lebih berpihak pada si kecil karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) justru lebih membantu warga kelompok menengah-atas yang sudah berkecukupan. Mereka lebih menikmati subsidi karena memiliki mobil pribadi. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, secara rata-rata rumah tangga kaya menikmati subsidi bensin 10 kali lipat lebih besar daripada rumah tangga miskin. Pemotongan subsidi BBM dengan demikian merupakan pilihan yang lebih bijak dalam membelanjakan uang negara. Hasil pemotongan subsidi itu dapat dipakai untuk membiayai berbagai program pengentasan kemiskinan dan lebih dinikmati oleh si kecil.
(Kedua), lebih hemat dan ramah lingkungan karena pemangkasan subsidi membuat harga Premium dan Solar menjadi iebih wajar. Harga Premium dan Solar yang jauh lebih murah dari semestinya mendorong orang boros dan ceroboh dalam mengkonsumsi. Padahal, minyak adalah sumber energi yang langka dan tidak terbarukan. Pemakaian BBM yang berlebihan juga menurunkan kualitas lingkungan hidup kita. Harga BBM yang lebih realistis akan mendorong penghematan dan konversi ke sumber energi lain yang lebih bersih, terutama gas.
(Ketiga), lebih bermanfaat karena dana yang seharusnya habis untuk subsidi bisa dialihkan pemakaiannya untuk membiayai belanja lain yang lebih berguna bagi rakyat banyak. Anggaran bisa dipakai membiayai berbagai proyek yang memperbaiki kualitas hidup kaum kurang mampu, seperti membangun infrastruktur maupun perbaikan layanan pendidikan. Pengeluaran seperti ini dampaknya bersifat jangka panjang karena merupakan belanja modal atau investasi Pemerintah. Sedangkan subsidi BBM bersifat konsumtif sekali dipakai habis.
(Keempat), lebih benar karena pemangkasan subsidi mengurangi dorongan untuk penyelewengan dan penyelundupan. Selama ini, selisih harga BBM bersubsidi dengan BBM non-subsidi yang terlalu besar mendorong terjadinya penyelewengan dan penyelundupan ke luar negeri maupun dipakai oleh pengguna yang tidak berhak. Saat ini, harga BBM non-subsidi hampir dua kali lipat jika dibandingkan harga Premium dan Solar. Akibatnya, banyak pelaku industri yang tergoda untuk mengejar keuntungan secara tidak sah dengan membeli BBM bersubsidi. BBM bersubsidi juga memberikan keuntungan besar jika diselundupkan ke luar negeri. Artinya, anggaran negara berupa subsidi yang semestinya berguna untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat justru lebih dinikmati penyelundup dan penyeleweng.
(Kelima), lebih awet karena efek positif pengurangan subsidi premium dan Solar akan terasa dalam jangka waktu cukup lama. Bukan hanya bagi anggaran 2012 saja, efek positif pemangkasan subsidi BBM akan meringankan beban negara pada tahun-tahun mendatang. Porsi pengeluaran pemerintah berupa subsidi yang kurang tepat sasaran dan berdampak sementara akan menurun. Dana yang tadinya untuk subsidi itu dapat dialihkan untuk membiayai investasi infrastruktur, perbaikan sumber daya manusia, serta penanggulangan kemiskinan yang efek positifnya lebih bersifat jangka panjang dan permanen.
7. Jika subsidi BBM bukan sebuah kebijakan yang baik, mengapa sejak dulu selalu ada subsidi BBM?
Sejarah pemberian subsidi BBM sudah sangat panjang. Di masa lalu, struktur ekonomi Indonesia berbeda. Kala itu, negara mampu menanggung subsidi BBM karena Indonesia adalah eksportir minyak. Sehingga, setiap kenaikan harga minyak selalu menjadi tambahan pendapatan bersih bagi negara. Kini, Indonesia sudah menjadi Negara importir minyak dan kita juga sudah keluar dari OPEC, organisasi negara- negara pengekspor minyak sejak 2008.
Selain itu, dulu konsumsi BBM kita masih sangat rendah dan kendaraan umum adalah konsumen terbesar BBM. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan perbaikan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, kendaraan pribadi jumlahnya terus membesar. Akibatnya subsidi BBM kini salah sasaran karena lebih menguntungkan kelompok masyarakat yang sudah mampu. Inilah yang harus kita koreksi dengan cara mengurangi subsidi secara bertahap.
8. Sebelumnya Pemerintah mengatakan tidak akan menaikkan harga melainkan melakukan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Mengapa kebijakan Pemerintah berubah?
Sejak tahun lalu, Pemerintah secara intensif menyiapkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Namun, hasil pengkajian dan masukan banyak pihak menyebutkan bahwa pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak akan mampu mengerem melonjaknya subsidi karena kenaikan harga minyak mentah belakangan ini terlalu tajam. Pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak mungkin berlaku sekaligus secara serentak di seluruh Indonesia sehingga dampaknya untuk pengurangan subsidi tidak maksimal. Selain itu, pelaksanaan kebijakan pembatasan konsumsi Premium dan Solar tanpa persiapan yang sangat matang serta dukungan infrastruktur dan tenologi yang memadai dapat menimbulkan gejolak di masyarakat. Secara teknis, penerapan dan pengawasan kebijakan ini jauh lebih sulit.
Bersambung ke Bagian 2.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber bacaan : Dikutip dari harian Media Indonesia tanggal 27 Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar