Oleh : Ihya’ulumuddin - Surabaya
Berada di kedalaman laut dan dikurung dalam kapal selam yang sempit selama puluhan hari bukanlah perkara mudah. Rasa jenuh, stres, hingga gangguan kejiwaan, menjadi risiko mereka yang tergabung dalam awak kapal selam KRI Nanggala 402.
Keceriaan tergambar dari raut para awak KRI Nanggala 402 begitu mendarat di dermaga Armatim beberapa hari lalu. Perasaan puas sekaligus bahagia terlihat dari raut wajah mereka. Ini karena mereka sukses mengemban misi membawa pulang KRI Nanggala 402 dari proses overhaul di Korea Selatan. Tetapi bukan itu saja, bisa menghirup udara alam bebas adalah sesuatu yang luar biasa bagi mereka.
Bayangkan saja, selama 21 hari mereka berada dalam kapal yang sempit. Menyelami lautan bebas hingga ratusan mil,belum lagi berkutat dengan rutinitas dan teman yang sama selama itu.Tentu, ini menjadi halyang membosankan bagi manusia normal. Namun, jiwa mereka telah terpatri dengan semboyan "Tabah Sampai Akhir", seperti yang diajarkan para pelaut terdahulu.
Karena itu, seberat apapun risiko yang dihadapi, pantang bagi mereka untuk mundur apalagi menyerah saat berjuang. Memang, para awak kapal selam bukanlah prajurit biasa. Mereka adalah manusia-manusia pilihan yang mampu bertahan dalam situasi dan kondisi sesulit apa pun.Tetapi itulah faktanya, nasib para awak kapal selam bisa dibilang tidak seenak awak kapal atas laut biasa.
Ini karena segala aktivitas mereka terbatasi. Jangankan bergerak ke sana-kemari, merokok pun tidak bisa mereka lakukan setiap waktu. Meski demikian, para awak KRI Nanggala 402 memiliki cara khusus untuk mengobati keinginan merokok itu. Saat kondisi air laut tenang, misalnya, kapal dijalankan dengan setengah terapung. Tujuannya, bagian tengah kapal yang tinggi bisa berada di permukaan air laut, sehingga mereka bisa naik dan mengisap rokok.
"Kalau kapal sudah mengapung seperti ini, kita biasanya berebut naik untuk merokok. Tetapi karena waktunya terbatas, kita tidak bisa berlama-lama, sebab harus bergantian dengan awak yang Jain, Paling hanya dua batang setelah itu turun lagi," ungkap salah seorang awak KRI Nanggala Lettu Laut (P) Hadhito.
Hadhito mengatakan, meski sudah terlatih, perasaan waswas kadang masih tetap muncul saat berada di bawah laut. Kondisi ini biasanya muncul saat kapal berlayar di bawah laut yang dalam. Ini karena arus bawah laut cukup kencang, sehingga risiko bahaya juga cukup besar, seperti di Laut China Selatan atau Laut Banda Maluku, "Dua lokasi ini terbilang paling angker, sebab ombaknya tidak bisa diprediksi” kata perwira yang juga putra KSAL Laksamana TNI Soeparno ini.
Namun, lanjut Hadhito, para awak kapal selam sudah punya penangkal untuk menghadapi kedalaman laut tersebut. Penangkal itu tak lain berupa tradisi meminum air laut kedalaman. Setiap mengarungi kedalaman baru, misalnya, maka tradisi meminum segelas air laut wajib dilakukan.
"Kapal selam ini biasanya berlayar di kedalaman 30 meter. Nah, bagi mereka yang belum pernah berlayar di kedalaman itu, wajib minum air laut. Ritual serupa juga akan kami lakukan jika kapal turun lagi di kedalaman bawah 30 meter. Saat kapal di kedalaman 50 meter, misalnya,maka harus minum air laut lagi, begitu seterusnya, sampai kapal ini berlayar di batas kedalaman maksimum 200 meter," ungkap Serma PTB M Nurul Huda.
Tradisi minum air laut kedalaman, kata Nuril, tidak hanya berlaku bagi anggota, tetapi juga komandan, perwira pelaksana, dan kepala kamar mesin. Pada ritual inilah, kadang banyak awak kapal yang tidak kuat karena rasa air yang begitu asin.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber editing : Seputar Indonesia tgl. 14 Pebruari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar