Gelombang revolusi yang dikenal Arab Spring menjadi titik awal gelombang revolusi yang kemudian menyebar dan meruntuhkan rezim-rezim di jazirah Arab.
Memasuki 2011, Tunisia, negeri di Afrika Utara menyita perhatian dunia karena menjadi titik awal gelombang revolusi yang kemudian menyebar dan meruntuhkan rezim-rezim yang telah berkuasa selama puluhan tahun di jazirah Arab.
Revolusi tersebut meruntuhkan citra Tunisia yang selama puluhan tahun dikenal sebagai negeri paling sejahtera di Afrika. Negara dengan luas 164.149 km2 itu dihuni warga yang sebagian besar kelas menengah, pengusung norma sosial liberal, penganut kesetaraan gender, dan pemilik pantai-pantai Mediterania yang memikat.
Selama puluhan tahun, citra kesejahteraan berhasil menutupi cerita kelam. Pemerintah Tunisia pimpinan Presiden Zine el-Abidine Ben Ali merupakan rezim paling represif di Afrika Utara. Polisi negara mengawasi rakyat di mana-mana. Tingkat korupsi di kalangan elite pun luar biasa.
Revolusi
Revolusi dimulai pada Jumat pagi pertengahan Desember 2010. Revolusi dipantik aksi bakar diri seorang pedagang buah, Mohamed Bouazizi. Pemuda 26 tahun dari Kota Sidi Bouzid, 125 mil (201,17 km) di selatan ibu kota Tunisia, Tunis, itu nekat membakar dirinya di tengah keputusasaan akibat kesulitan hidup dan perlakuan polisi-polisi korup. Bouazizi marah dan putus asa karena polisi-polisi tersebut berulang kali menghancurkan dan menyita dagangannya.
Mereka bahkan tidak segan-segan menamparnya, karena itu, setelah keluhannya diacuhkan penguasa, Bouazizi menyiram dirinya dengan cairan pengencer cat lantas memantikkan api yang membakar tubuhnya.
"Putra saya membakar diri demi martabat," ungkap Mannoubia Bouazizi, sang ibunda, dengan tegar. "Di Tunisia, martabat lebih penting daripada roti," sambung saudara perempuan Bouazizi, Basma, 16.
Kematian Bouazizi bak sumbu peledak amarah rakyat Tunisia. Mereka secara spontan turun ke jalan. Gelombang protes merebak ke seluruh negeri itu sehingga memicu kerusuhan. Warga membakar gedung-gedung pemerintah dan menjarah toko-toko.
Stasiun utama Kota Tunis dilaporkan habis terbakar, ratusan personel militer, armada tank, helikopter, dan kendaraan lapis baja yang dikerahkan tidak mampu menggentarkan warga yang marah. Janji-janji Ben AH untuk menggelar pemilu juga tidakmempan untuk meredam emosi rakyat yang telanjur meledak.
Pada Jumat (14/1), gelombang kerusuhan memuncak di Tunis hingga memaksa Ben Ali yang telah berkuasa selama 23 tahun dan keluarganya pun melarikan diri ke Arab Saudi.
Laporan PBB menyatakan sedikitnya 219 orang terbunuh dan ratusan lainnya terluka selama kerusuhan terjadi di Tunisia.
Ben Ali Tumbang
Kaburnya Ben Ali tidak menghentikan aksi protes. Rakyat juga menunrut kroni-kroni sang diktator mundur.
Belakangan Ben Ali dan istrinya, Leila Trabelsi, divonis hukuman 35 tahun penjara dalam sidang yang tidak dihadiri keduanya (in absentia) di pengadilan Tunis pada 20 Juni lalu.
Keduanya dinyatakan bersalah mencuri perhiasan dan uang kontan dalam jumlah sangat besar. Ben Ali pun masih harus menghadapi hukuman tambahan terkait dengan kepemilikan obat bius dan senjata secara ilegal pada 30 Juni.
Di samping itu, Ben Ali masih diselidiki terkait dengan kasus pembunuhan, penyalahgunaan kekuasaan, penjualan benda-benda bersejarah, dan pencucian uang.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber : Kaleidoskop - Media Indonesia, 19/12/ 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar