Kamis, 29 Desember 2011

Pinisi, Kapal Layar Tradisional Sulawesi Selatan (Bagian 1).


Pinisi adalah merupakan kapal layar tradisional khas lndonesia yang berasal dari suku Bugis dan suku Makassar di Sulawesi Selatan.
 
Suku Bugis-Makassar, pelaut Mandar dan Konjo di Sulawesi Selatan telah dikenal sebagai pelaut ulung. Mereka juga memiliki kapal tradisional yang terbuat dari kayu dengan dua tiang layar utama dan tujuh layar (tiga di ujung, dua di depan, dan dua di belakang), itulah pinisi.

Jenis kapal
Terdapat dua jenis kapal pinisi, yaitu : (1). lamba atau lambo, merupakan pinisi modern yang dilengkapi dengan motor diesel dan masih bertahan sampai sekarang,. (2).  palari, merupakan bentuk awal dari pinisi dengan lunas melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis lamba.

Bagian-bagian kapal

(1).  Anjong, merupakan segitiga di bagian depan kapal yang berfungsi sebagai penyeimbang.
(2). Sombala. Layar utama yang berukuran mencapai 200 meter.
(3).  Tampasere.  Layar kecil berbentuk segitiga yang tertetak di setiap tiang utama.
(4).  Cocoro.  Layar pembantu yang terdapai di depan dan di tengah kapal.
(5).  Terangke.  Layar pembantu di bagian belakang kapai.

Cerita dan sejarah :
Kapal kayu tradisional ini diperkirakan sudah ada sebelum 1500-an, dengan kronologis sejarah yaitu :
Abad ke-14 : Pinisi pertama sekali dibuat oleh Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu.
Abadke-19 : Pernah digunakan untuk mengangkut barang-barang dari Eropa dan China dari Singapura ke Dobo di Pulau Aru di Nusa Tenggara Timur.
1986 : Kapal Phinisi Nusantara mencetak sejarah lewat Ekspedisi Vancouver di Kanada dan dilanjutkan ke San Diego, AS.
1987 : Kapal Phinisi mengikuti ekspedisi perahu Padewakang, 'Hati Marige' ke Darwin, Australia. Lalu Ekspedisi Ammana Gappa ke Madagaskar, dan terakhir pelayaran Pinisi Damar Segara ke Jepang.

Kisah
Menurut cerita nenek moyang setempat, mereka menciptakan sebuah perahu cukup besar untuk mengarungi lautan dan cukup untuk memuat barang dagangan dan tangkapan ikan.
Berdasarkan naskah Lontarak I Babad La Lagaligo pada abad ke-14, pinisi pertama dibuat Sawerigading,  putra mahkota Kerajaan Luwu. Kapal itu dipakai untuk berlayar menuju negeri Tiongkok, hendak meminang putri Tiongkok bernama We Cudai, dan misi itu benar-benar berhasil. Setelah sekian tahun tinggal di Tiongkok, Sawerigading kembali ke kampung halamannya dengan menggunakan pinisinya ke Luwu.
Menjelang masuk perairan Luwu, kapal diterjang gelombang besar dan pinisi terbelah menjadi tiga bagian, yang masing-masing terdampar di Desa Ara, Tanah Beru, dan Lemo-Lemo.
Masyarakat ketiga desa itu kemudian merakit pecahan kapal tersebut untuk menjadi perahu yang diberi nama pinisi.
Kisah sejarah itu tidak berhenti di situ karena perkembangannya, masyarakat mengembangkan pinisi itu hingga sekarang.
Legenda itu tetap hidup sampai sekarang dan kebenarannya pun diyakini, salah satu buktinya ialah masyarakat Ara pandai membuat badan kapal.
Lebih mengagumkan lagi, masyarakat tersebut mampu membuat pinisi dari ukuran kecil hingga besar dengan teknologi sederhana.

Ritual
Ritual harus dilakukan melalui upacara khusus yaitu ketika dimulainya pembuatan kapal dan saat turun laut. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat appasili yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala.
Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu.
Selanjutnya ada upacara ammossi - lanjutan dari appasili – yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut.  Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah 'anak' punggawa atau panrita lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir.
Karena tonase perahu sangat berat maka untuk menarik kapal ke laut, kalau dulu menggunakan tenaga manusia yang sangat banyak namun sekarang sudah menggunakan peralatan seperti katrol dan rantai.

Go international
Pinisi memang sudah go international. Pada 1986, kapal Phinisi Nusantara - nama yang diberikan Presiden Soeharto - tampil dalam acara Vancouver Expo 86 di Kanada dan dilanjutkan ke San Diego, AS. Kapal tersebut berhasil menempuh jarak 11 ribu + 1.650 mil laut (20.372 + 3.055,8 km) dalam tempo 67 hari.

Nama Pinisi
Nama phinisi sebenarnya menyesuaikan lafal bahasa Inggris yang dipakai selama pameran di Vancouver, nama aslinya pinisi namun justru nama phinisi jauh populer dan dipakai sam­pai sekarang.
Semula ada dua nama yang dipilih, pertama ialah Amanna Gappa, nama tokoh hukum laut legendaris Sulawesi Selatan yang hidup pada abad ke-16 dimana tulisannya tentang hukum laut dimuat di daun lontar. Pilihan kedua memakai nama Sawerigading, putra mahkota Kerajaan Luwu. Namun, nama Phinisi Nusantara menjadi pilihan.
Itulah satu-satunya kapal kayu dengan panjang 31 meter dan bobot 150 ton, yang mendapatkan penghormatan militer dari kapal induk militer AS USS Constelation, ketika Phinisi Nusantara melintasi di English Bay, dan berpapasan dengan kapal induk tersebut.

Hal yang membanggakan lagi ialah kapal yang berhasil menempuh ribuan mil itu me­rupakan karya konstruksi kapal kayu asli buatan Indonesia.
Bersambung ke Bagian 2

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber : Media Indonesia 28/12/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar