Jumat, 15 April 2011

Perang Libya (3) : Cerita Di Balik Peperangan


Momen yang lama dinantikan oleh sebagian besar warga di pengasingan dimana ratusan warga Libya di luar negeri yang bergegas pulang ke­tika aksi anti-Khadafy meletus.  Pasukan di sekitar Khadafy.


Oposisi Libya
Oposan pemerintah Libya tersebar di luar negeri, seperti berikut …
(1).  Mohamed Elgarguri pada awal Februari 2011 masih sebagai mahasiswa di California  AS yang bekerja di toko telepon seluler dan menyambi se­bagai disc jockey pada akhir pekan. Sepekan kemudian, warga negara AS berdarah Libya itu sudah berada di padang gurun, mengangkat senjata melawan tentara pendukung pemimpin Libya Moammar Khadafy.  Elgarguri adalah salah satu dari ratusan warga Libya di luar negeri yang bergegas pulang ke­tika aksi anti-Khadafy meletus, 15 Februari. Momen yang lama dinantikan oleh sebagian besar warga di pengasingan.  Mereka tersebar di semua lini, bergabung dengan elite politik oposisi di Benghazi, merawat pejuang yang terluka, hingga terjun langsung memanggul senjata. Mereka men­jadi elemen penting dalam beragam wajah oposisi, di samping pejabat sipil dan militer Khadafy yang membelot, dan penduduk Libya timur.
Kembali ke Elgarguri. Hanya dalam 24 jam setelah melihat video penduduk Libya dibunuh tentara, dia menjual mobilnya, mengemas pakaian, dan terbang ke Mesir. Elgaguri masuk ke Libya dan bergabung ke garis depan, tetapi menyadari senjata oposisi tak mampu menandingi pasukan Khadafy. Jadi, dia kem­bali ke Benghazi dan membantu sepupunya di rumah sakit.
Elgarguri menganggap dirinya separuh Amerika separuh Libya, dan berharap suatu saat bisa menjadi warga negara Libya yang bebas. Berapa lama akan berjuang di Libya? Elgar­guri hanya tersenyum. "Saya hanya membeli tiket sekali jalan," katanya.
(2).  Ali Tarhouni (60) , meninggalkan Libya tahun 1976 untuk meraih gelar master dan doktor eko­nomi di Michigan State Univer­sity, terakhir adalah Profesor ekonomi di University of Was­hington.  Dari AS, dia melihat kebrutalan rezim Khadafy melindas kelompok oposisi. 
Ketika revolusi meletus dia kembali ke Libya dengan meninggalkan pekerjaannya   dan bergabung  dengan  pemerintahan oposisi ke Dewan Transisi Nasional (PT-NC).  "Rencana Saya adalah menyatukan semua sumber daya negeri ini dalam satu kendali untuk memerdekakan seluruh Libya," tekad Tarhouni.
(2).  Mustafa Gheriani atau Juru bicara PTNC, adalah pengusaha konstruksi di Fenton, Michigan, yang sudah 30 tahun tinggal di AS. Dia pulang untuk mendirikan bisnis di Tripoli, dan se­dang menghadiri pesta pernikahan di Benghazi ketika kerusuhan terjadi.  Gheriani tak bisa kembali ke Tripoli. Jadi, dia memanfaatkan kefasihannya berbahasa Inggris dan pengetahuannya soal budaya Amerika untuk mewakili PT­NC berkomunikasi dengan me­dia asing.

Pemimpin lokal
Meski ekspatriat pulang un­tuk membantu gerakan oposisi, kepemimpinan di lapangan tetap didominasi pemimpin lo­kal. Libya tak seperti Irak, yang dipimpin tokoh-tokoh pengasingan saat Saddam Hussein dipaksa lengser pada 2003.
Kelompok penentang Kha­dafy sesungguhnya berkembang di Eropa, AS, dan negara Arab lain. Mereka berperan penting mengabarkan kepada dunia apa yang terjadi di Libya. Namun, hingga kini belum terlihat langkah organisasi di pengasingan untuk bergabung dengan PTNC.
Kembalinya para ekspatriat pun lebih berupa inisiatif pribadi, terinspirasi oleh perjuangan rekan sebangsanya. Seperti Mo­hammed Mahfoud (28) yang rela melepas beasiswa pendidikan dokter bedah di Atlanta, Geor­gia, AS, untuk merawat korban di rumah sakit di Benghazi. "Sa­ya tak bisa berpangku tangan. Anda harus berbagi semua hal, tragedi, harapan, dan pekerjaannya," ujar Mahfoud.

Pasukan Loyalis Khadafy
Sepasang suami-istri asal Libya bernama Saleh Mu­hammad (50) dan Najwa (40) beserta seorang putri, Senin (21/3) sore, tiba di kota Marsa Matrouh, Mesir. Kota ini terletak sekitar 220 kilometer di sebelah timur perbatasan Mesir-Libya. Mereka ditempatkan di sebuah flat oleh salah seorang tokoh di kota itu.

Muhammad dan Najwa ber­asal dari kota Al-Maraj, Libya, sekitar 75 km di sebelah timur kota Benghazi Dia lari dari kota itu ketika pasukan loyalis Moammar Khadafy mendekat ke Benghazi hari Sabtu lalu.
"Saya takut saat melihat banyak penduduk Benghazi melintasi Al-Maraj hari Sabtu lalu. Mereka lari untuk menghindari pasukan Khadafy yang sudah mendekat ke Benghazi. Penduduk Al-Maraj juga ikut hengkang. Kalau Benghazi jatuh ke tangan Khadafy, Al-Maraj akan ikut jatuh," kata Muhamdi Ajdabiya oleh pasukan Kha­dafy," tutur Abdul Hamid.  
Menurut dia, sebagian besar kota Ajdabiya hancur dan nasib sisa penduduk yang tidak sem­pat lari belum diketahui.
Sebagian besar dari sekitar 130.000 penduduk Ajdabiya su­dah hengkang dari kota itu sebelum pasukan Khadafy mema­suki kota. Muhammad dan Najwa serta Abdul Hamid adalah sebagian dan sekitar 200 keluarga asal Libya yang kini ditampung di berbagai rumah milik penduduk Marsa Matrouh sejak Jumat pekan lalu.
Sebagian besar dari sekitar 200 keluarga asal Libya yang kini ditampung di Marsa Matrouh itu berasal dari Benghazi dan Ajdabiya. Kota Ajdabiya sempat dikuasai pasukan Khadafy pe­kan lalu sebelum dikuasai kembali oleh kaum revolusioner setelah pemberlakuan zona larangan terbang di atas Libya se­jak Sabtu malam lalu oleh Dewan Keamanan PBB.

Dibiayai Mesir
Selain mereka, ada banyak pula warga Libya korban luka-luka yang kini dirawat di rumah sakit di kota Marsa Matrouh dengan biaya Pemerintah Mesir dan warga kota itu, Perhatian luarbiasa dari pen­duduk Marsa Matrouh terhadap warga Libya membuat kota tersebut kini mirip tempat perlindungan bagi warga Libya.  Banyak warga mengatakan terpaksa lari ke Mesir ketika pasukan Khadafy hendak memasuki kota itu pe­kan lalu.
"Pasukan Khadafy menembaki warga Ajdabiya yang belum sempat tori Pasukan itu bahkan membunuh para pasien korban cedera peperangan yang dirawat. di rumah sakit Ajdabiya. Bah­kan, telah terjadi pembantaian
Kota ini juga sekaligus berperan sebagai basis pasukan logistik ke Libya. Marsa Matrouh adalah kota di Mesir yang paling dekat dengan perbatasan Libya.  Salah seorang koordinator urusan perlindungan warga Libya di Marsa Matrouh, Sheikh Ali Atiwati, mengungkapkan, penduduk Marsa Matrouh secara spontan dan sukarela menampung warga Libya yang hengkang dari negerinya.
''Penduduk Marsa Matrouh membuka rumah mereka dan menyediakan logistik berupa makanan dan minuman secara gratis kepada warga Libya yang mengungsi ke kota ini. Bahkan, banyak toko atau restoran tidak mau menerima bayaran kalau diketahui yang membeli itu dan warga Libya," ungkap Sheikh Atiwati.
Menurut dia, warga Marsa -Matrouh siap menerima warga . Libya lain yang berniat datang datang.
Sheikh Atiwati juga mengungkapkan, gerakan perlindung­an terhadap warga Libya itu ti­dak diprakarsai oleh lembaga atau organisasi tertentu. Ini semua berlangsung atas inisiatif warga Marsa Matrouh tanpa ada pamrih apa pun.
Sheik.Atiwati bersama sejumlah tokoh masyarakat di Marsa Matrouh kini menggalang bantuan untuk warga Libya yang tinggal di kota itu.  Mereka juga mengupayakan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Libya. Sheikh Atiwati bersama timnya biasanya setiap hari datang ke toko-toko bahan kebutuhan pokok untuk menghimpun bantu­an itu.
Kompas yang sempat beberapa jam bersama Sheikh Ati­wati mendatangi sejumlah toko itu pada Senin sore lahi. Dia membeli berbagai macam bahan makanan dan minuman yang disedekahkan untuk pengungsi Libya, seperti beras, telur, air mineral, roti, minuman kateng, dan bahkan selimut.
Koordinator urusan perlindungan warga Libya, Sheikh Fargallah al-Abid, mengungkap­kan, selain menampung warga Libya yang mengungsi ke Marsa Matrouh, setiap hma hari ada sedikitnya enam konvoi kendaraan yang membawa bantuan makanan dan obat-obatan dari Marsa Matrouh ke berbagai ko­ta di Libya timur.
"Kaini sudah enam kali mengirim konvoi kendaraan yang  membawa bantuan makanan dan obat-obatan ke Libya sejak 18 Februari lalu. Hari Sabtu lalu kami mengirim 430 ton makan­an, minuman, dan obat-obatan ke Libya. Sebelumnya, pada Se­nin pekan lalu, kami juga me­ngirim 470 ton makanan ke Libya," ungkap Sheikh al-Abid.
Menurut dia, rencananya pada Kamis besok akan dikirim lagi konvoi kendaraan, yang akan membawa bantuan makanan dan obat-obatan, ke Libya.  Namun, jumlahnya masih belum jelas karena semuanya masih dalam pengumpulan.

Profil Khadafy
Khadafy dalam keseharian atau kebiasaan dalam bertutur dan bertindak dengan gaya bicaranya tegas dan tidak mau tahu. Penampilan flamboyan eksentrik adalah bagian unik karakter pria bernama lengkap Moammar Abu Minyar al-Khadafy ini.  Khadafy adalah orang yang berani, nekat, dan konsisten.

Pria yang lahir pada Minggu, 7 Juni 1942 ini masih berusia 27 tahun ketika memimpin kudeta berdarah terhadap Raja Idris, 1 September 1969. Hari itu menjadi awal kekuasaannya dengan sebutan pemimpin revolusi.
Selama bertahun-tahun sejak berkuasa, Khadafy dilukiskan sebagai ikon revolusi Libya.  Dia juga dijuluki sebagai penjaga negara kaya minyak. Sejak berku­asa, Khadafy tetap konsisten berpangkat kolonel. Dia tidak pernah menyebut dirinya kepala negara atau presiden, kecuali pemimpin revolusi.
Gaya bicara dan pernyataan pedas, kasar, dan menantang biasanya Khadafy tujukan kepada lawan-lawan politik. Ketika aksi protes massa menuntutnya lengser, ia mengecap mereka "tikus" dan "kecoa".  Terhadap kelompok oposisi itu, Khadafy tampak kejam. la memerintahkan para loyalisnya membasmi mereka hingga ke sarangnya, membersihkan "dari rumah ke rumah" dan "sedikit demi sedikit".
Pria berzodiak gemini dan bersio kuda ini akan terus “berlari kencang" jika sudah memutuskan untuk "berlaga". Khadafy menantang para pe­mimpin peserta konferensi in­ternasional di London, 29 Maret, yang mendesaknya turun dan keluar dari Libya Dia bahkan siap mengusir NATO.
Menurut Khadafy, bukan dia yang harus turun, tetapi para pemimpin asing itu yang harus mundur. Dia menuding penyerangan militer ke Libya diotaki pemimpin asing yang "dipengaruhi kegilaan akan kekuasaan".
Khadafy sudah berkuasa selama 41 tahun lebih 6 bulan. Oposisi Libya yang kini berbasis di Benghazi, kota terbesar kedua setelah Tripoli, menyebutnya diktator dan tiran yang tidak tahu diri, Mereka ingin Khadafy segera turun atau diturunkan secara paksa.
Dari penampilan fisiknya, Khadafy macho, juga flamboyan dan eksentrik. Kalau bepergian atau tampil di depan publik, ia lebih sering mengenakan kaca mata hitam dan jubah. Warna penutup kepala padu dengan jubahnya. Satu jubah bisa menghabiskan 3-4 meter kain.
Ke mana saja Khadafy pergi, dia jarang menginap di hotel. Dia lebih banyak memilih membangun tenda ala suku Bedouin, salah satu suku di Libya. Begitulah misalnya yang terjadi di kota Bedford, 48 kilometer di luar New York, ketika Khadafy akan mengikuti Sidang Umum PBB pada September 2009.
Jaksa wilayah Kota Bedford Joel Sachs akhirnya melarang pembangunan tenda. Ketika Khadafy akan mendirikan tenda di tanah milik seorang Libya di Englewood, New Jersey, masyarakat setempat menolaknya.

Pasukan Gadis Pengawal di Sekitar Khadafy
Salah satu penampilan Kha­dafy yang mencolok, heboh, menarik, membuat orang terpana, juga menakutkan, adalah puluhan gadis cantik yang mengawalnya. Begitu keluar da­ri Bab.al- Aziziya, basis militer dan kediaman pribadi Khadafy, gerombolan gadis itu selalu mengikutinya.

Jika Khadafy mengadakan lawatan ke negara lain, dia selalu dikawal paling sedikit oleh 40 gadis dengan lipstik dan maskara tebal. Di dalam negeri, dia dikawal paling sedikit lima gadis cantik terpilih. Mereka akan berjaga-jaga di sekeliling Kha­dafy, termasuk di saat ia tidur.
Gadis-gadis itu selalu menge­nakan kaca mata hitam produk desainer terkemuka dari Gucci, berkalung berlian dan memakai sepatu bot, hak tinggi, bermerek pula.   Salah satu merek sepatu favorit gadis-gadis itu adalah produk Nancy Sinatra.   Khadafy memanjakan mereka.
Tubuh gadis-gadis itu dibalut seragam tentara Kadang menggunakan kerudung, tetapi kadang pula mereka membiarkan rambutnya jatuh tergerai bebas. Mereka tampil seksi, mirip fashionista atau model, tetapi mereka sesungguhnya adalah tentara terlatih. Foto-foto mereka bertebaran di media Barat.
Pada November 2006, di Abuja, Nigeria, sempat terjadi insiden diplomatik Khadafy datang dikawal 200 tentara bersenjata lengkap. Dia menolak ji­ka senjata itu dilucuti, sebagaimana dilaporkan BBC News.
Kehadiran puluhan gadis pengawalnya di Kiev, Ukraina, pada November 2008 memukau dan mengejutkan pejabat se­tempat. Begitu pula ketika menghadiri festival budaya Afrika di Dakar, Senegal, pada Desember 2010.
Setiap saat jika sedang mengawal Khadafy, gadis-gadis itu memikul senapan Kalashnikov dan mereka bisa membunuh. Kalashnikov adalah senapan serbu bikinan perancang sena­pan ternama Rusia, Mikhail Ka­lashnikov. Senapan ini diadopsi dan dijadikan senapan standar Uni Soviet pada 1947 sehingga disebut AK-47.
Khadafy menyebut para gadisnya itu al-rahibat al-thawriyyat atau para rabib revolusioner (revolutionary nuns). Media Barat kadang menyebutnya amazonian guard, jebolan dari Akademi Militer Perempuan Tripoli yang didirikan Khadafy di tahun 1979,10 tahun setelah dia mengudeta Raja Idris.
Banyak pengunjung asing ke Libya melukiskan, akademi itu berada dalam kompleks besar dengan pagar tembok yang kokoh. Jane Kokan, wartawan The Vancover Sun, Kanada, yang pernah mengunjungi akademi itu dan mewawancarai Khadafy mengatakan, akademi itu dibangun Khadafy sebagai simbol emansipasi perempuan Libya.
"Saya berjanji kepada ibuku untuk memperbaiki keadaan kaum perempuan Libya," katanya seperti dilaporkan Kokan. Ibunya, seorang wanita dari Badouin, lahir ketika Libya masih dalam koloni Italia. Meski seorang wanita buta huruf, tetapi ibunya itu pandai memanah.
Gadis-gadis yang dilatih unumnya terpilih. Program pelatihan selama tiga tahun melibatkan semua aspek keprajuritan dari tembakan artileri, peluncur roket, pertarungan fisik, dan komunikasi. Aktivitas sela­ma pelatihan dimulai sejak subuh, pukul 04.30.
Doug Sanders, wartawan harian The Globe and Mail, Toronto, Kanada, yang pernah bertandang ke Tripoli pada 2004 memberikan keterangan yang sama. Dia menulis diblognya, "Ini potret pikirannya yang idi­osyncratic dan teka-teki revolusi di negara di mana perempuan dalam kehidupan sehari-hari masih jauh dari persamaan hak dan kewajiban."
Setidaknya, sudah 30 tahun Khadafy membentuk pasukan gadis-gadis ini dari beberapa angkatan.
Mereka disumpah sejak masuk akademi untuk membelanya dan tetap perawan selama pelatihan. Pada 1998 salah satu pengawalnya itu mati demi melindungi Khadafy dari serangan militan.
Khadafy adalah pelopor emansipasi wanita Libya.  Bouseyfi Kultsum, pilot wanita pertama Libya, kepada BBC News bertutur, Khadafy meretas tabu, sosial yang menutup ruang gerak wanita, seperti dicontohkan Aisha, putrinya, yang turun ke jalan membela ayahnya.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber : Harian Kompas, 23 Maret dan 3 April 2011

Bacaan Sebelumnya :  Bagian 2 >> bacaan selanjutnya : Bagian 4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar