Jumat, 15 April 2011

Perang Libya (2) : Pasukan Pro dan Oposisi Pemerintahan Khadafy, serta Pelaksanaan Resolusi PBB


Saat koalisi mengurangi se­rangan laut dan udara terhadap Libya, pasukan Khadafy justru kembali menyerang pasukan oposisi yang menguasai beberapa kota.  Oposisi Libya secara terbuka marah dan menuding terhadap NATO yang dianggap gagal melindungi warga dari aksi pasukan pro Moammar Khadafy.

Serangan Pasukan Khadafi
Senin (21/3) malam.
Dua kota yaitu Misrata dan Zintan, menjadi sasaran amuk pasukan loyalis Khadafy. Warga di dua wilayah yang dikuasai oposisi di bagian barat Libya itu mengaku diserang pa­sukan Khadafy, diperkirakan pa­sukan loyalis pemerintahan Kha­dafy yang telah berkuasa selama 41 tahun dan 6 bulan itu akan terus memaksakan masuk ke wi­layah tersebut guna menghindari serangan udara oposisi Barat
Warga Misrata mengaku berusaha keras untuk menyetop pa­sukan Khadafy dengan melakukan perlawanan keras di gerbang masuk kota. "Ketika memasuki kota, pasukan Khadafy menembaki warga dengan senjata artileri," kata Saadoun, warga setempat, seperti dirilis Reuters, Saadoun mengatakan, akibat serangan pasukan Khadafy, sembilan warga sipil tewas. Namun, belum ada konflrmasi resmi mengenai jumlah korban ini.
Selasa ((22/3)
Dari Zintan dilaporkan, pa­sukan Khadafy menyerang kota yang dikuasai oposisi itu,  pertempuran pecah di Zintan - dekat perbatasan Tunisia -, warga mengungsi ke goa-goa di gunung, warga panik, beberapa rumah dan menara masjid hancur.
"Pasukan baru dikirirn hari ini untuk mengepung kota, sekitar 40 tank ada di kaki pegunungan dekat Zintan menurut salah seorang saksi mata kepada Reuters melalui telepon, laporan itu tidak dapat diverifikasi secara independen.

NATO Gagal, Oposisi Kecewa
Oposisi Libya untuk pertama kali (5/4/2011) secara terbuka marah dan menuding terhadap aliansi Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)  gagal melindungi warga dari aksi pasukan pro Moammar Khadafy.  Perasaan kesal dan marah diungkapkan komandan pasukan oposisi, Abdel Fatah Younis,
(a).  Menyusul banyaknya insiden yang membuat oposisi terdesak loyalis Khadafy, di antaranya saat terjebak di Misrata (5-/4/2011), terkepung serangan kubu loyalis.
(b).  Tembakan artileri, roket, dan bom dari loyalis menyasar ke permukiman penduduk yang diduga kuat warga sipil menjadi korban dalam serangan yang disebut oposisi sebagai  “pembantaian" oleh Khadafy.
(c). Pertempuran sengit terjadi dan pasukan loyalis yang geram terhadap oposisi menembak membabi buta tak hanya menghancurkan kekuatan militer oposisi, tetapi juga me­nyasar permukiman padat penduduk. Nasser, oposan di Misrata, mengatakan, dua orang tewas dan 26 terluka

NATO jadi masalah
Younis - mantan Menteri Dalam Negeri Libya yang membelot ke oposisi itu - mengatakan : (a).  Pasukan NATO "tidak berbuat apa-apa" sekalipun PBB mengizinkan mereka bertindak.  (b).  "NATO melindungi kami, tetapi dengan pengeboman di sana-sini warga Misrata mati setiap hari. NATO mengecewakan.  (c). 
Loyalis Khadafy telah membombardir Misrata Pada saat yang sama, NATO juga membombardir di banyak tempat di Misrata untuk menghalau pasukan pro-Khadafy. Aksi itu sekaligus meningkatkan rasa khawatir  akan  makin banyaknya korban sipil tidak saja oleh Kha­dafy, tetapi bisa juga oleh NATO. (d).  Jika NATO ingin mematahkan blokade kota,  mereka seharusnya melakukannya beberapa hari lalu.  (e).  Setiap hari warga sipil - orang tua dan anak-anak - sekarat di Misrata. (f).  NATO tidak melakukan apa-apa, NATO telah menjadi masalah dengan reaksi lamban dan birokratis - Seorang pejabat menghubungi pejabat la­in, lalu dari yang lain menghubungi lagi komandan NATO, pari komandan NATO barulah ke ko­mandan lapangan - Semuanya butuh waktu delapan jam. (g). Misrata menjadi sasaran ak­si pemusnahan

Salah sasaran
Rasa sakit hati, kesal, dan ma­rah oposisi terhadap NATO menjadi-jadi karena pada 1 Maret lalu pasukan oposisi juga alah sasar­an. Serangan udara NATO di Brega, kota pelabuhan ekspor minyak di Libya timur, bukannya mengenai loyalis, tetapi menyasar basis pertahanan oposisi. Serangan NATO itu menewaskan belasan orang dan melukai belasan lainnya. Beberapa mobil operasional oposisi rusak berkeping-keping, oleh bom NATO.  Oposisi sangat terpukul. Kekuatan mereka melemah, sementara loyalis Khadafy menguat

Pasukan Khadafy juga sudah menguasai Zawiya Setelah menguasai Zawiya dan menggempur Misrata, basis-basis opo­sisi di Libya timur pun terus dikepung loyalis Khadafy, hal itu membuat oposisi kocar-kacir, ti­dak menentu dan kekuatan mereka goyah.  Satu demi satu teritori oposisi jatuh ke tangan loyalis Khadafy. Setelah 30 persen kekuatan militer Libya dihancurkan NATO, Khadafy mengubah strategi dan taktik perangnya.
Selain menghindari pertempuran di gurun, loyalis juga berusaha menyatu dengan pendu­duk. Jika berhasil menguasai ko­ta yang sebelumnya diduduki oposisi, loyalis bertahan di kota itu. Apalagi oposisi tak memiliki tentara terlatih kecuali warga sipil yang dilatih sekadarnya dan pensiunan tentara Persenjataanpun tua dan tidak canggih.
Kepala Operasi Aliansi NATO Brigadir Jenderal Mark van Uhm mengatakan, aliansi akan mengerahkan kekuatan penuh guna melindungi warga sipil. "Misrata adalah prioritas utama," ujarnya.  Van Uhm menambahkan, operasi udara internasional di bawah NATO sejak akhir pekan lalu berdampak besar. Sekitar 30 persen kekuatan militer Khadafy hancur.

Korban
Dokter di Misrata mengatakan, sejak konflik politik pe­cah pada 15 Februari telah 200 orang tewas di kota itu. Pertempuran sengit di kota ketiga terbesar di Libya - 214 kilometer timur Tripoli - terjadi setiap hari sehingga korban tewas terus meningkat beberapa hari.
Pelaksanaan Resolusi 1973
DK PBB secara tegas menyatakan  resolusi diterbitkan setelah melihat terjadi "kejahatan terhadap kemanusiaan". Karena itu DK memutuskan untuk menerapkan larangan terbang di langit Libya - zona larangan terbang - dan mempererat sanksi terhadap rezim Khadafy dan para pendukungnya.

Yang  juga luar biasa adalah pelaksanaan resolusi itu dipimpin oleh Perancis dan Inggris serta diundang oleh Liga Arab yang mengusulkan perlunya diterapkan zona larangan, terbang diatas Libya dengan tujuannya mencegah pesawat-pesawat tempur rezim Khadafy mengejar rakyat yang melawannya.
Tujuan resolusi berkembang setelah AS dan Eropa menyerang Libya, anggota-anggota Liga Arabpun yang semula mendukung resolusi kecuali Suriah dan Aljazair kini mulai berfikir ulang meski ada yang tetap kukuh pada pendirian semula seperti Qatar dengan mengatakan untuk menghentikan pertumpahan darah.
Apakah penerapan "zona larangan terbang" berarti serangan militer, yang oleh Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin dianggap cacat dan  memberikan peluang intervensi atas kedaulatan Negara lain (The Wallstreet Jurnal) yang dikecam oleh Presiden Venezuala Hugo Chavez, Presiden Nicaragua Daniel Ortega, Presiden Bolivia Evo Morales, dan mantan Presiden Kuba Fidel Castro (The Washington Post), tetapi didukung oleh Sekjen Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) Abdel Rahman bin Hamad al-Attiyah dengan mengatakan "serangan militer bukan intervensi, melainkan untuk melindungi rakyat dari pertumpahan darah (The Wall  Street Journal).
Yang tertulis dalam resolusi jelas melindungi rakyat Libya. Dan, DK PBB memberikan kewenangan penggunaan kekuatan militer, termasuk pemaksaan zona larangan terbang melindungi rakyat dan wilayah rakyat sipil yang menjadi sasaran serangan Khadafy, pasukannya dan tentara bayaran.

Misi yang gagal?
Bagaimana kalau seandainya Khadafy dibiarkan berkuasa? Itulah yang kini menjadi pertanyaan meski dulu Presiden Barack Obama pernah mengatakan, Khadafy telah kehilangan haknya untuk memerintah.  Apabila  Khadafy tetap berkuasa bisa diartikan misi DK PBB gagal, sebab tindakan Khadafy terhadap rakyatnya bisa jadi akan berulang lagi.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber : (Harian Kompas, 23 Maret dan 7 April 2011

Bacaan Sebelumnya :  Bagian 1 >> Selanjutnya Bagian 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar