Setelah berkirim teks agar mendukung acara Jam Bumi 2011 kepada beberapa rekan dengan hadir di balaikota hari ini untuk menyaksikan langsung sejam pemadaman lampu dan penerangan beberapa penanda Jakarta, seperti Monas dan Bundaran Hotel Indonesia, saya mendapat sebuah jawaban sinis.
Isinya begini: "CBS, kalau hanya untuk memadamkan lampu, tidak usah menunggu event Earth Hourlah. Setiap Minggu kami juga sudah konsisten kok mati lampu. Hanya saja, bukan kami yang mematikan lampu, tapi PLN yang konsisten byarpet hidup mati." Sempat tersenyum manis membaca bagian-bagian depan jawaban itu, saya akhirnya tersenyum kecut ketika tiba di bagian akhir.
Pada pertengahan dasawarsa 1970-an Indonesia menikmati nilai ekonomi yang luar biasa dari produksi minyak bumi. Indonesia menjadi pengekspor minyak dan tercatat sebagai negara penerima pemasukan dari sektor migas yang sangat kentara. Praktis negeri ini melabirkan banyak orang kaya yang memamerkan gaya hidup boros energi.
Gaya hidup yang bagaimana? Pamer harta dan kekayaan antara lain dengan punya banyak mobil dan rumah mewah serta pesta pora. Bayangkan berapa banyak bahan bakar dan listrik yang mereka pakai dengan kemewahan seperti itu.
Sebagai pengekspor minyak, Indonesia bergabung dalam OPEC. Mimpi buruk negara yang menjadi anggota OPEC terjadi saat puncak kemampuan produksi minyaknya menurun. Indonesia mengalaminya pada 2004. Saat itu angka konsumsi akan minyak memenuhi 50 persen kebutuhan energi dalam negeri dan itu lebih besar daripada angka produksi. Indonesia kemudian keluar dari OPEC dan menjadi importir minyak. Negara yang semula menjadi eksportir berubah menjadi importir!
Kini cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya cukup untuk 10-15 tahun ke depan. Saya percaya bahwa semua yang diambil dari perut bumi suatu saat pasti habis, tak terkecuali minyak, batu bara, dan sumber energi apa pun. Namun, roda kehidupan harus berjalan terus. Negara harus terus menemukan sumber energi lain di luar minyak Sekali saja kehilangan sumber energi, Indonesia yang besar ini akan bergantung pada negara lain. Bila itu terjadi, di mana kedaulatan kita?
Budaya siapa?
Untuk menyala, sebuah lampu butuh listrik Listrik masuk rumah kita karena ada pasokan energi. Sebagian besar sumber energi di tempat kita adalah minyak. Ketika kita kekurangan minyak, anehnya, gaya hidup di sini masih seperti pada masa berkelimpahan minyak
AC dipasang seharian di rumah meski penghuninya semua sedang melayap di mal atau tempat lain yang menghibur. Komputer menyala di meja kerja saat perangkat tersebut sama sekali tidak digunakan. Televisi hidup sebelum kita benar-benar terlelap dan itu terus dibiarkan sampai bangun pagi harinya.
Lampu kantor dan AC menyala di semua lantai meski yang lembur hanya direktur seorang. Semua lift di gedung diaktifkan meski pengunjung tinggal beberapa orang dan, untuk itu, cukup menggiatkan satu lift belaka.
Bukankah gaya hidup seperti itu hanya pas ketika kita masih bisa mengangkat dagu kepada negara lain bahwa Indonesia pengekspor minyak yang berklimpahan? Belum sadarkah kita bahwa kita bukan lagi negara yang bisa sombong akan kekayaan sumber energi yang makin hari kian terbatas?
Jam Bumi barangkali tidak akan membawa Indonesia serta-merta kembali ke zaman keemasan produksi minyak seperti pada dasawarsa 1970-an. Pemadaman lampu atau penerangan lain selama satu jam yang dilakukan pada Sabtu, 26 Maret 2011, ini juga tak akan menjamin kita dapat berdiri sejajar lagi dengan negara pengekspor minyak lainnya.
Namun, setidaknya Jam Bumi dapat menjadi sekolah nonformal bagi kita untuk menyadari bahwa secanggih apa pun teknologi bergerak dan maju, gaya hidup berhemat energi tetap menemukan aktualitasnya.
Jam Bumi yang merupakan seruan internasional tentu berbeda dengan berbagai kebijakan nasional seperti Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, serta Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Penghematan Energi dan Air. Namun, jika Jam Bumi dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh sekurang-kurangnya 10 persen penduduk Jakarta, hasilnya setara dengan menghemat 300 MW atau cukup mengistirahatkan satu pembangkit listrik
Daya sebesar itu dapat digunakan untuk menyalakan listrik di 900 desa. Dengan mengurangi daya sebesar itu, Rp 200 juta dapat dihemat. Jika satu pembangkit listrik dengan daya sebesar itu diistirahatkan, emisi 267 ton CO2 tidak terjadi dan itu berarti ketersediaan 62 bagi lebih dari 534 orang. Jadi, cukup dua lampu padam selama satu jam pada 700.000 rumah.
Jam Bumi mengajarkan kita untuk berhemat, bukan untuk menemukan ladang minyak baru. Jam Bumi adalah sebuah "gaya hidup" perenungan diri selama satu jam saja: kilas balik mengenai pengelolaan energi yang kita masing-masing lakukan selama ini.
Jam Bumi lahir memang bukan dari rahim budaya kita, Jam Bumi adalah kegiatan global yang diadakan oleh World Wide Fund for Nature (WWF). Terlaksana mulai tahun 2007 atas ajakan WWF di Sydney, Australia: 2,2 juta penduduk kota itu bahu-membahu memadamkam semua lampu yang tidak perlu.
Setelah Sydney, banyak kota di berbagai negara yang berpartisipasi pada tahun berikutnya: 2008. Jakarta berpartisipasi sejak 2009. Selalu diadakan pada Sabtu pekan terakhir Maret, Jam Bumi mengajak rumah dan kantor memadamkan lampu dan peralatan listrik yang tidak perlu selama satu jam untuk meningkatkan kesadaran atas perlunya tindakan terhadap perubahan iklim.
Tahun 2009 adalah tahun pertama saya menjadi Duta Jam Bumi. Saat itu berlangsung aksi serentak individu, komunitas, korporasi, dan pemerintah di seluruh dunia dalam mengurangi laju pemanasan global dan dampak perubahan iklim. Tahun 2009 dan 2010 menjadi kampanye lingkungan hidup terbesar dalam sejarah karena berhasil meraih 1,5 miliar pendukung dari 4.616 kota di 128 negara.
Tahun 2011 kali ketiga Jam Bumi diselenggarakan di Indonesia WWF Indonesia, Gubernur DKI Jakarta, dan saya selaku Duta Jam Bumi mengajak warga Jakarta dan Indonesia memadamkan lampu dan peralatan listrik yang tidak perlu dipakai selama satu jam pada Sabtu, 26 Maret 2011, dari pukul 20.30 hingga 21.30 waktu setempat
Padamkan listrik selama satu jam sambil merenungkan gaya hidup masing-masing menggunakan energi selama ini. Setelah itu, mampukah kita menerapkan berhemat energi menjadi gaya hidup, sebuah budaya?
Keterangan Gambar : diambil dari internet.
Sumber artikel : Harian Kompas tanggal 26 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar