Kamis, 24 Februari 2011

Mengenang Tokoh dan Figur (2) : Benazir “Pinkie” Bhuto


Setelah menjadi wanita perdana menteri pertama di negara muslim tersebut pada 1993-1996, Bhutto diasingkan ke Dubai pada 1998 dan kembali ke tanah airnya pada 18 Oktober 2007.  Namun kepulangan itu bukan hanya disambut baik oleh pendukungnya melainkan juga teror dari golongan lainnya.  Pada tanggal
27 Desember 2007, Pemimpin oposisi tersebut tewas akibat tembakan dan serangan bom bunuh diri di Ra­walpindi, Pakistan. Berikut kisahnya sampai akhir hayatnya.



Kisahnya ...
Mereka membunuh ayahku (Zul­fikar Ali Bhutto - Red), pagi hari 4 April 1979 di dalam Penjara Distrik Rawalpindi. Aku merasa saat-saat kematian ayah. Kendati lbu telah memberiku valium untuk melewati malam yang menegangkan, aku tiba-tiba duduk terbangun diranjang pukul 2 pagi. "Tidak!" teriakku.  Keesokan paginya, saat kami akan mengantar jenazah ayah ke pemakam­an keluarga, sipir penjara datang dan mengatakan, "Mereka telah mengu­burkannya." Sipir itu menyodorkan barang-barang yang dipakai ayah di sel Shalwar khameez (hem lengan panjang dan celana longgar yang dipa­kainya hingga akhir hayat, karena ia menolak mengenakan seragam penja­ra yang sama dengan napi kriminal), kotak makanan, kasur gulung yang baru boleh digunakan setelah kawat besi ranjangnya putus dan mencabik punggungnya, gelas minum... serta cincin (yang sehari sebelumnya hendak diberikan langsung oleh ayah padaku). 
Empat hari setelah kematian ayah, aku tak bisa makan maupun minum. Aku menghirup air, tetapi segera menyemburkannya. Aku tak bisa menelan apa pun. Aku tak bisa tidur, setiap kali kututup mataku, aku mendapat mimpi yang sama. Aku berdiri di depan penjara. Pintu terbuka. Aku, melihat sesosok tubuh berjalan menujuku Papa! Aku menghambur ke arahnya "Engkau telah keluar! Engkau telah keluar! Kukira mereka telah membunuhmu! Tapi kau masih hidup. Begitu aku mencoba meraihnya aku terbangun dan harus menyadar sekali lagi bahwa ia telah tiada.
Zia ul-Haq. Kepala Staf AD seharusnya setia pada ayah.  Jenderal yang mengirim serdadunya di tengah malam untuk menggulingkan ayah dan mengambilalih negara lewat  kerasan. Zia ul-Haq, diktator militer yang gagal menghancurkan pengikut ayah - kendati telah menggunakan senjata, gas air mata, serta UU darurat, orang yang gagal memukul semangat ayah meski diisolasi dalam sel kematian. Zia ul-Haq, jenderal yang begitu saja mengakhiri hayat ayahku.  
Sekolah prioritas utama
Di rumah kami pendidikan mendu­duki prioritas pertama. Seperti kakek terhadapnya, ayahku ingin menjadi­kan kami contoh generasi mendatang Pakistan yang terdidik dan progresif.  Pada usia tiga tahun, aku dikirim ke sekolah susteran Lady Jenning dan pada usia kelima, aku masuk satu sekolah ke salah ternama di Karachi, CJM (Biara Jesus dan Maria).  Bahasa pengantar di situ adalah bahasa Inggris sehingga kami lebih sering menggunakannya (Inggris) di rumah dibanding bahasa orangtuaku Shindi dan Persia atau bahasa nasional, Urdu. 
Ketika aku berumur sepuluh tahun dan Sanam tujuh tahun, kami dikirim ke utara untuk masuk ke sekolah Murree, bekas stasiun Inggris.  Ayah menganggap kami akan lebih kuat dengan masuk sekolah berasrama.  Untuk pertama kalinya aku harus membereskan tempat tidur, menyemir sepatuku, membawa air mandiku, dan menggosok gigi dari air leding yang ada koridor. "Perlakuan anak-anaku seperti anak-anak lain," kata ayah kepada para pengasuh sekolah.
Sepanjang tahun kedua dan terakhir di Murree, untuk pertama kalinya Sa­nam dan aku belajar tentang politik. Tanggal 6 September 1965, India dan Pakistan berperang soal Kashmir. Saat ayahku terbang ke PBB untuk memperjuangkan hak menentukan sendiri bagi rakyat Kashmir dan me­nentang agresi India, para suster di Biara Jesus dan Maria menyiapkan muridnya menghadapi kemungkinan invasi India. Jalan menuju ke Kashmir melalui Murree diyakini merupa­kan jalur yang akan dilewati pasukan India masuk ke Pakistan. 
Di saat kami sedang enak-enak bermain setelah makan malam, atau te­ngah membaca buku-buku Enid Blyton, tiba-tiba kami mendapat latihan serangan udara. Para suster mengha­ruskan mereka yang lebih tua bertang­gung-jawab membawa adik-adiknya ke lubang perlindungan. Karenanya, aku selalu mengikat sandal Sunny ke kakinya tengah malam, sehingga ia tak perlu membuang waktu untuk mencari sandal. Kebanyakan teman-­teman sekolah kami adalah anak-anak pejabat pemerintah atau militer. Un­tuk itu, kami saling memberi nama palsu dan berlatih menggunakannya, sehingga bisa berguna bila kami ter­tangkap musuh.  Setelah kami semakin dewasa, ayah mengambil tutor untuk mengajari ka­mi matematika dan bahasa Inggris di petang hari setelah sekolah. Ia terus mencoba mengetahui hasil pelajaran kami melalui telepon dari mana pun ia berada di dunia ini. "Aku minta satu darimu, yaitu agar kamu berhasil dalam studi," katanya berulang kali. Beruntung aku murid yang pintar. Ayah telah punya rencana besar untuk  menjadikanku wanita pertama dalam­keluarga Bhutto yang belajar ke luar negeri.
"Engkau akan membereskan kopormu dan aku akan mengantarmu ke bandara untuk melihatmu berangkat. Pinkie (panggilan kesayangan bagi Benazir - Red) akan berangkat seba­gai anak kecil dan kembali sebagai wanita muda cantik yang mengena­kan sari," kata ayahku.

Demokrasi di Amerika ...
Aku mendapatkan peng­alaman demokrasi untuk pertama ka­linya tahun 1973 di Amerika, di marta aku kemudian menghabiskan 4 tahun paling berbahagia dalam hidupku. Sebagai mahasiswa di Radcliffe ­Harvard, aku juga belajar dari tangan pertama betapa tidak berdayanya negara-negara Dunia Ketiga di depan kepentingan negara adidaya.
"Pak-i-stan? Di mana itu Pak-i-­stan?" tanya teman-teman sekelas, ke­tika aku baru tiba di Radcliffe. "Pakis­tan adalah negara muslim terbesar di dunia," jawabku mirip cara orang ke­dutaan menunjukkan Pakistan.  Orang Amerika tampaknya benar-­benar tak menyadari eksistensi nege­riku. Mereka juga tak tahu siapa ke­luarga Bhutto. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa bukan siapa-siapa. Di Pakistan, nama Bhutto pasti dikenal dan karenanya agak membuatku malu. Aku tak per­nah tahu apakah orang mendekatiku karena kehebatanku atau karena nama keluargaku.

Mrs Clinton and Miss Bhuto

Di Harvard, aku perta­ma kali menjadi diriku sendiri. Pada tahun-tahun itu, gerakan anti­perang sedang marak dan aku berga­bung dengan ribuan mahasiswa lain dari Harvard dalam berbagai unjuk rasa. Akibatnya, lagi-lagi untuk pertama kali aku merasakan kepulan gas air mata. Sebenarnya aku agak ragu mengenakan bros bertuliskan "Pulangkan Putra-putra (Bangsa) Seka­rang".  Sebagai orang asing, aku beri­siko dideportasi, bila tertangkap karena ambil bagian dalam unjuk rasa politik. Tetapi, di tanah air aku telah menentang Perang Vietnam dan menjadi lebih radikal dengan adanya demam anti-perang di Amerika. Alasan mereka dan aku sama saja : Amerika tak perlu terlibat dalam perang sipil Asia.


Ketika wisuda hampir tiba, aku amat sedih. Aku harus meninggalkan - Cambridge, meninggalkan Amerika. Aku diterima di Oxford. Untuk pertama kalinya, ayahku memaksaku. Katanya, 4 tahun di satu tempat lebih dari cukup. Dalam suratnya ia katakan, lebih lama tinggal di Ameri­ka, engkau akan berakar di sana. Inilah waktunya engkau pindah. Apa dayaku? Sebab dialah yang mem­bayar uang sekolah dan pengeluaranku. Aku tak punya pilihan.

Dijodohkan keluarga ...
Sebagai mahasiswa di Amerika pa­da masa gerakan persamaan wanita mencuat, aku tetap yakin bahwa wanita dan karir bisa dipersatukan. Aku yakin, wanita bisa mendapatkan semuanya : kehidupan profesi yang me­muaskan, perkawinan yang me­nyenangkan, dan anak yang sehat. Aku ingin kawin dengan pria yang mengejar cita-citanya seperti yang aku lakukan. Tapi, kudeta militer terhadap ayah mengubah semuanya. Aku menolak memikir perkawinan saat itu. Demikian juga setelah ia tewas digantung. Aku ingin menunggu sampai dua tahun. Bukan hanya karena aku ingin menunjukkan hormat pada ayah, tetapi aku tak bisa memikir perkawinan dengan tenang bila hati rasanya sakit.


Kehidupan pribadiku berubah dra­matis pada tanggal 29 Juli 1987, ketika aku setuju untuk dijodohkan oleh keluargaku. Perkawinan hasil perjodohan merupakan ongkos yang harus kubayar untuk jalur politik yang kuambil. Sebagai tokoh di Pakistan, tak mungkin aku bertemu pria dalam acara-acara, biasa, mengenalnya, dan lantas mengawininya. Hubungan pa­ling rahasia pun bisa memunculkan gosip yang selalu berputar di setiap langkahku.  Aku dijodohkan dengan Asif Zarda­ri, putra seorang tuan tanah. Baik Asif maupun keluarganya tak pernah mun­dur.  Dulu, aku sering menolak lamar­an dengan cara mengulur waktu, sampai yang bersangkutan bosan. Tapi, Asif memberiku cincin berbentuk Jantung dari batu nilam dan berlian. Ia mengirim bunga tiap hari. Kami terus bicara dan bicara.
Kami tak pernah benar-benar saling mencintai. kendati ibuku meyakinkan bahwa cinta akan datang belakangan.  Kendati begitu ada komitmen mental di antara kami, keyakinan bahwa ka­mi saling menerima sebagai suami dan istri secara total dan untuk selama-lamanya. Kami masuk dalam per­kawinan tanpa prasangka, tanpa ha­rapan terhadap yang lain, kecuali maksud baik dan saling menghormati.

Menjelang dan Akhir hayatnya ...
Setelah menjadi wanita perdana menteri pertama di negara muslim tersebut pada 1993-1996, Bhutto diasingkan ke Dubai pada 1998.  la baru kembali ke tanah air pada 18 Oktober lalu. Namun, kepulangan itu bukan hanya disambut , bahagia oleh pendukungnya, melainkan juga teror oleh golongan lainnya.


27 Desember 2007 .. . Pemimpin oposisi Pakistan Benazir Bhutto tewas akibat tembakan dan serangan bom bunuh diri di Ra­walpindi, Pakistan.
Polisi menjelaskan, seorang pelaku bom bunuh diri sebelumnya melepaskan tembakan saat mantan Perdana Menteri Pakistan berumur 54 tahun itu beranjak meninggalkan taman tempatnya berkampanye di Kota Rawalpindi. Stasiun televisi setempat Ary-One memberitakan tembakan tersebut tepat mengenai kepala Bhut­to.
"Pria itu pertama menembaki kendaraan Bhutto. Dia (Bhutto) berusaha menghindar lalu kemudian pria itu meledakkan dirinya sendiri," ujar anggota polisi bernama Mohammad Shahid.  Sementara itu, petugas keamanan partai memberi kesaksian bahwa tembakan tersebut dilepaskan sebelum Bhutto memasuki kendaraannya dan menge­nai leher dan dada..
Sesaat setelah kejadian kondisi Bhutto masih simpangsiur. Pukul 20.03 WIB pejabat Pa­kistan Peoples Party (Partai Rakyat Pakistan) Farzana Raja mengatakan Bhutto selamat meski 20 orang lainnya tewas.  Sayangnya, Bhutto tidak dapat bertahan dan meninggal di RS di Rawalpindi.  Kematian ini menjadi akhir tragis perjalanan hidup anak mantan PM Zulfiqar Ali Bhutto yang dihukum mati oleh militer pada 1979.
Saat berparade di selatan Kota Karachi pada hari kedatangannya, Bhutto mendapat serangan bunuh diri. Meski saat itu serangan menewaskan 150 orang, Bhutto selamat karena terlindung dalam kendaraannya.  Kematian tragis Bhutto mengundang kecaman dari berbagai nega­ra. Pemerintah AS mengutuk serangan tsb.
"Kami dengan tegas mengutuk aksi yang menunjukkan ada orang-orang di luar sana yang berusaha meruntuhkan tembok demokrasi di Pakistan," ujar Juru Bicara Departemen Luar Negeri Tom Casey di Washington DC, AS.
Kecaman juga datang dari Moskow. "Kami turut berbelasungkawa. Ini (serangan) jelas akan jadi pemicu rangkaian teror lainnya," kata Wakil Menlu Negeri Rusia Alexander Losyukov. Kecaman dan seruan agar rakyat Pakistan bersatu juga datang dari India.

Keterangan Gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan :
(1).  Benazir  “Pinkie” Bhuto : Amerika, Pengalaman Demokrasi Pertamaku.  bersumber dari Buku Otobiografi Benazir Bhutto.  Daughter of Destiny (1989) - (Kompas, 21 Oktober 1993)
(2).  Pakistan : Benazir Bhutto Tewas.  (Media Indonesia, 28 Desember 2007).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar