Oleh : Dr Ir Bejo Santoso MSi - Direktur Perbenihan Tanaman Hutan Kementerian Kehutanan.
Nestapa Indonesia di belantara kesunyian kemiskinan kerap diapresiasi sebagai kutukan kultural ketika peradaban tidak lagi mempunyai jenis kelamin. Lihatlah 22 juta dari 35 juta penduduk miskin pada 2010, konon menurut EPS, berada di lingkar ruang bernama hutan Indonesia. Mereka cuma bisa jongkok di tepian belantara, memandangi hutan dengan bibir kering. Tak ada akses legal untuk memanfaatkan hasil kayu dan bukan kayu dan jasa dalam kawasan hutan produksi. Petani cuma dapat 0,25 ha per kepala keluarga, sementara korporasi menguasai di atas 56,3 juta ha atau dengan kata lain, setiap perusahaan rata-rata menguasai 120 ribu ha lahan.
Itu tentu paradoksal nasib republik hutan tropis yang pedih. Simak, pada 1998, sebanyak 10 konglomerat di Indonesia telah menguasai lahan seluas 65 ribu ha. Lantas 10 tahun kemudian, mereka kuasai areal kerja 10,04 juta ha. Jika dibandingkan dengan luasan hutan 1.568.415,64 ha yang dihimpun kantor-kantor dinas kehutanan di seluruh Indonesia, tentu ini angka keprihatinan yang juga terasa pedih. Luas ini sangat ketil jika dibandingkan dengan kepemilikan lahan hutan yang dikelola oleh korporasi.
Apa artinya? Hutan adalah mahkota emanasi ketika sebuah ritual kultural dialirkan. Ini tentu kearifan kultural ketika keberadaan hutan diposisikan sebagai penyedia barang dan jasa bagi keperluan makhluk hidup di bumi ini. Ini pula yang memungkinkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehutanan berkerut dahi dalam memosisikan hutan sebagai 'gunungan kemakmuran rakyat’.
Tapi kesunyian kemiskinan masih juga menjadi tembang runyam di be¬lantara hutan Indonesia. Hutan produksi alam yang dikelola dalam bentuk HPH/RJPHHK-HA yang secara nasional seluas + 28 juta ha ternyata hanya mampu memproduksi log + 9 juta m3 atau dalam 1 tahun hanya memproduksi + 3 juta m3 kayu. Terus? Simak kawasan hutan nasional yang luasnya +130 juta ha tinggal + 43 juta ha yang kondisinya masih relatif baik, sisanya seluas + 87 juta ha sudah terdegradasi. Apa artinya? Produksi hutan dari hutan alam merosot hingga ke titik prihatin yang mencemaskan dari 16 juta m3 pada 1997-1998 men¬jadi sekitar 5 juta m3 pada 2009.
Itu berbeda dengan produksi kayu dari hutan tanaman. Pertumbuhan hutan terus meningkat, yaitu dari sekitar 1 juta m3 pada tahun 1997-l998 men¬jadi sekitar 21 juta m3 pada 2009.
Peningkatan penanaman dan produksi kayu dari hutan tanaman ini mengisyaratkan selayaknya hutan dikelola dalam jaringan pemikiran yang dilanskapi cahaya kearifan purba. Aset kultural yang kerap diisyaratkan sang dalang bahwa bermula dari hutanlah akan terbit kesejahteraan holistic berupa kesempatan kerja, peningkatan kesejahteraan rakyat, pertumbuhan ihdustri, pertumbuhan ekspor, dan pendapatan pajak.
Hutan tanaman pada akhirnya ujung dari perjalanan kehilangan ketika kita telah mencari kearifan kultural purba. Manusia tidak hanya dimahkotai keajaiban-keajajiban budaya jagawana, tetapi juga memiliki pilihan-pilihan untuk menumbuh kembangkan forestasi.
Di sini Aksi Pengembangan Hutan Yanman dan Hutan Tanaman Rakyat berdasar intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2010 dapat diapresiasi sebagai kecerdasan linuwih seorang Presiden Susilo Bambang Yudhoyona. Terlebih lagi ketika say abaca data Kementerian Kehutanan selama 2010 yang mengisyaratkan tersedianya pencadangan areal IUPHHK-HTI seluas 494.551,77 ha dari target 450.000 ha (109,60%) dan penyiapan lahan luas 306.739,04 ha dari target 450.000 ha (76,68%), serta realisasi penanaman seluas 208.834,39 ha dari target 250.000 ha (83,54%).
Aksi itu juga mengingatkan kita akan budaya 'bela sunat' di pesisir utara Indramayu. Saat saya dikhitan, konon, kriwilan kulit yang disunat itu ditanam bersama benih pelem. "Jadilah kelak kamu seperti pohon mangga. Tumbuh besar, akarnya mehghunjam tanah, buahnya lebat Tiap kali ada yang melempar dengan batu, dibalas dengan jatuhnya buah mangga dermayu yang harum dan manis," tutur lirih masa lalu pesisir Indramayu.
Sebibit pohon pada akhirnya seserpih surga forestasi. Saat anak-anak lahir, bagi masyarakat Jawa Kuno, diharuskan ari-ari dimasukkan ke kendi ditanam sebibit pohon, dicahayai sinter bambu yang berkedip-kedip. Diiringi doa: "Gusti Allah yang Maha Pemelihara, jadikan pohon itu teman sedulur papat kelima pancer sang jabang bayi."
Tak hanya di Indonesia, di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Eropa akses masyarakat terhadap sektor kehutanan cukup tinggi perbandingannya. Di Amerika Serikat terdapat sekitar 600 ribu pemilik hutan dengan luas minimal 40 ha yang menghasilkan 80% total produksi kayu nasional", di Finlandia lebih dari 60% hutan dikelola 600 ribu warga mereka. Di Jerman, Austria, dan Swiss umumnya pemilik hutan mempunyai luasan kurang dari 5 ha. Di Kanada kurang 425 ribu pemilik hutan terorganisasi dalam serikat-serikat kecil pengelolaan hutan dalam bentuk penguasaan hutan skala kecil. Bahkan di Jepang hampir 57,9% lahan hutan yang ada adalah milik pribadi dengan luasan kecil dibawah 2 ha, dan hampir 76% produksi kayu di Jepang berasal dari lahan hutan milik pribadi.
"Pernik-pernik kearifan kutural itu dan Aksi Pengembangan Hutan Tanaman dan Hutan Tanaman Rakyat bisa jadi sebuah isyarat lirih untuk mengubah hutan Indonesia dari musibah menjadi anugerah."
Kenapa? Dalam hutan ada ayat-ayat Tuhan yang alirkan pernik-pernik surga yang jauh, yang dari setiap benih pohon dijanjikan ada banyak pahala. Adalah instrument Kementerian Kehutanan dalam rangka meningkatkan produktivitas hutan produksi.
Dari sini, dari sebuah pohon yang ditanam akan lahir cerita bagus tentang penyediaan lapangan usaha (pro-growth), penyediaan lapangan kerja (pro-job), pengentasan rakyat dari kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan (pro-poor), dan perbaikan kualitas lingkungan hidup (pro-environment).
Keterangan Gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Bacaan disalin dari :
“Hutan di Belantara Sunyi Kemiskinan” Oleh Dr Ir Bejo Santoso MSi - Direktur Perbenihan Tanaman Hutan Kementerian Kehutanan. Harian Media Indonesia, 26 Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar