Minggu, 29 Agustus 2010

MAKNA HARI RAYA LEBARAN DAN PERMASALAHANNYA (Bagian 1)

Oleh isamas54

Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri adalah saat yang paling dinantikan umat Islam setelah berpuasa selama satu bulan dimana pada hari itu umat Islam di seluruh penjuru dunia dalam suasana kekhidmatan dengan suasana 'kemenangan' dan 'kesucian' di hadapan Allah SWT. Sebagai realisasi dari hikmah dan Makna Hari Raya Idul Fitri (fitri = suci) antara lain meningkatkan jiwa dan kekeluargaan dengan saling memaafkan dan berbagi kebahagiaan. Dalam ajaran Islam yaitu untuk mengurangi ketimpangan antara Si Kaya dan Si Miskin telah diatur kewajiban mengenai Zakat yang antara lain pada Hari Raya Lebaran bagi perorangan diwajibkan memberikan Zakat Fitrah. Suasana tersebut oleh produsen, toko, mall, dlsb dimanfaatkan dengan “Perang Diskon”.
Suasana Hari Lebaran
Idul Fitri adalah saat yang paling dinantikan umat Islam setelah berpuasa selama satu bulan dimana pada hari itu umat Islam di seluruh penjuru dunia dalam suasana kekhidmatan dengan suasana 'kemenangan' dan 'kesucian' di hadapan Allah SWT. Di penghujung bulan tersebut yaitu saat buka puasa terakhir tanpa shalat tarawih dilanjutkan dengan takbir menyebut nama Tuhan Yang Mahabesar “Allahu Akbar” di rumah, langgar, masjid jami, sampai di masjid raya yang dikumandangkan secara bersama.
Seanjutnya cerminan kebahagiaan, kebersamaan, persaudaraan, cinta kasih, dan segala bentuk kebaikan melebur menjadi satu yang tertuang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia khususnya umat Islam dimana berbagai tradisi, seperti gema takbir bersama, mudik lebaran, halal bihalal, ziarah, makan enak, dan berbusana baru adalah merupakan tradisi yang sangat melekat di masyarakat.
Takbiran sepanjang malam biasanya diiringi suara dulag/ bedug/beduk yang dibunyikan dengan irama khas yang ditabuh orang dewasa dan anak-anak yang diikuti dengan ceria penuh canda dan tawa. Esok paginya yaitu Hari Raya Lebaran dilaksanakan Sholat Idul Fitri yang diselenggarakan di mesjid atau di lapangan yang dilanjutkan berkeliling ke rumah kerabat atau teman-teman untuk saling bersalaman saling memaafkan atau sambil mencicipi makanan dan minuman yang sengaja dihidangkan. Kebiasaan saling mencicipi makanan ini untuk daerah kota atau komplek perumahan sudah semakin berkurang dikarenakan disamping system kekerabatan yang agak renggang, campuran berbagai budaya dan daerah asal, disibukkan dengan pulang kampung/mudik atau kunjungan kepada kerabat masing-masing, atau bahkan untuk berwisata (tak heran kalau wisatanya ke Kebun Binatang, namun bukan maksud silaturakhim dengan yang ada di sana).
Namun salah satu faktor yang penting sekali pada waktu itu yaitu baik instansi pemerintah maupun swasta (sudah jadi tradisi (karena tekanan kebutuhan untuk waktu tersebut), masing-masing memberikan gaji, upah atau imbalan lebih yang disebut Tunjangan Hari Raya (THR), baik itu berupa bahan makanan, baju atau berupa uang (istilah umum THR memang identik dengan uang atau DUIT). Juga dalam Hukum Islam untuk mengantisipasi ketimpangan dalam kehidupan ini telah diatur dengan kewajiban pemberian Zakat Fitrah bagi yang mampu kepada yang berhak, sehingga diharapkan baik Si Kaya maupun Si Miskin sama-sama merasakan kebahagiaan.
Adapun kebiasaan yang dilaksanakan padamasa menjelang dan sesudah lebaran adalah :
1. Makna Hari Raya Lebaran dan kekeluargaan dengan saling memaafkan dan memberi.
Dalam Alquran, tatanan masyarakat muslim diperkenalkan dengan konsep ummah wahidah (umat bersatu dan pemersatu), ummah wasatha (umat  pendamai), rahmatan lil 'alamin (umat mondial dan universal). Oleh karena itu, kemudian umat Islam menjadi khairu ummah (umat yang unggul dan handal). Penegakan secara konsisten etika Islam itu jelas tergambar dalam lingkungan kehidupan 'negara Madinah' yang majemuk dan pluralistic yang kemudian menjadi negara maju dan adikuasa yang adil dan makmur. Ummatan wahidah (QS Al-Baqarah: 213) adalah umat bersatu dan pemersatu. Kunci sukses pemerintahan Muhammad adalah keberhasilannya membangun persatuan melalui strategi ukhuwah islamiah (persaudaraan).
Mayoritas umat Islam yang bersatu menjadi cermin bagi kelompok warga lainnya, yang berdasarkan agama ataupun suku sehingga ikut menegakkan persatuan dan kesatuan lebih luas. Ummatan Wasatha merupakan konsep masyarakat yang damai dan pendamai. Wasatha yang berarti ‘keseimbangan’ menunjukan adanya pemerataan keadilan dan kesempatan bagi setiap warga negara, tanpa melihat mayoritas dan minoritas. 'Rahmatan lil al-'alamin (QS Al- Anbiya: 107) mengandung konsep umat yang mondial dan universal. Umat Islam menjadi bagian masyarakat internasional yang menghormati dan menjunjung tinggi moralitas universal sehingga secara universal dapat diakui dan dihormati bangsa lain.
Konsistensi penegakan ketiga konsep tersebut dalam budaya masyarakat itulah yang menghantarkan kepada tujuan Islam sebagai masyarakat yang berkualitas, unggul, dan andal (khairu ummah) (QS Ali Imran: 110). Umat yang khair merupakan tujuan yang tidak mengaitkan dengan mayoritas ataupun minoritas. Pada saat bersamaan, Islam sukses baik dalam keadaan minoritas dan juga karena mayoritas.
Juga makna puasa yang telah dijalankan serta meningkatnya kegiatan ibadah selama bulan Ramadhan hendaknya tidak dianggap selesai begitu saja tapi diterapkan juga pada bulan-bulan lainnya, mungkin frekuensinya berkurang tetapi jangan mengendur karena telah merasa lulus ujian selama bulan puasa.
Ada suatu kebiasaan (khususnya di daerah parahiyangan/Sunda) dimana ketika bayi baru lahir oleh Paraji/indung beurang/dukun beranak, ketika suatu waktu (sekali saja untuk seumur hidup) anak ditidurkan di tempat tidur lalu ujung-ujung tempat tidur “digedrig” – dipukul hingga berbunyi - dengan mengucapkan kepada si jabang bayi yang baru lahir agar ia memelihara : mata ulah satingali-satingalina ari lain tingalieun mah (mata jangan digunakan untuk melihat hal yang buruk); ceuli ulah sadenge-dengena ari lain dengeeunana (telinga jangan digunakan untuk mendengarkan yang tidak perlu); sungut ulah saomong-omongna ari lain omomngkeunana mah (mulut ja¬ngan digunakan untuk membicarakan kejelekan); leungeun ulah sacabak-cabakna ari lain cabakeunanamah (tangan jangan digunakan mengerjakan perbuatan yang dapat merugikan orang lain); suku ulah satincak-tincakeunana ari lain tincakeunana mah (kaki ja¬ngan digunakan untuk melangkah padahal yang tidak benar).
Nakh, nakh … ajaran leluhur tersebut sangat cocok kalau untuk diimplementasikan baik selama ibadah puasa maupun dalam kehidupan sehari-hari sehingga TIDAK PERLU ADA KPK LAGI, TAHANAN KOSONG, MENKOINFO TIDAK REPOT-REPOT SENSOR SITUS PORNO, BANK-BANK TIDAK PERLU DIJAGA KETAT, Cuma … INFO SELEBRITI AGAK SEPI, pokoknya aman tentram loh jinawi.
2.  Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah merupakan kewajiban bagi perorangan Muslim yang waktunya paling lambat diberikan (kepada yang berhak) sebelum sholat Hari Raya Idul Fitri.
Makna zakat fitrah ini khususnya bagi umat Islam Indonesia adalah yang berjumlah lebih dari 160 juta bila dihitung setidaknya akan terkumpul Rp 2,4 triliun/tahun dengan asumsi wajib zakat membayar Rp l5 ribu per orang. Jika ditambah dengan zakat mal setidaknya separuh dari jumlah itu diperkirakan berhasil dikumpulkan sehingga totalnya paling tidak akan mencapai lebih dari Rp 3,5 triliun. Ketua MPR waktu jaman Hidayat Nurwahid bahkan mengatakan potensi zakat rakyat Indonesia mencapai Rp 17 triliun (Antara, 29/09-2007?). Sebuah angka yang sangat fantastik.
Dengan dana sebesar itu, rasanya agak mustahil jika tidak mampu mengurangi angka kemiskinan minimal 10%/tahun. Jika usaha itu dikombinasikan de¬ngan program pemerintah yang dijalankan dengan serius untuk hal yang sama, bangsa Indonesia boleh optimistis kemiskinan se¬tidaknya bisa dikurangi hingga 15% / tahun.
3.  Nyekar
Terkadang ada sebagian orang setelah selesai shalat Idul Fitri atau setelah silaturakhim berziarah ke pemakaman tempat ayah, ibu, kakek, nenek dari pihak ayah dan ibu dimanfaatkan, sebagai tanda hormat dan cinta kasih kepada leluhur yang telah meninggal dunia. Kebiasaan ini biasanya untuk daerah asal yang banyak perantaunya bisa berjalan sampai tiga hari setelah Lebaran, malahan kadang-kadang di tempat pemakaman juga menjadi tempat ajang silaturakhim saling bersalaman dan memaafkan termasuk banyak yang baru sempat ketemu di makam sekalian silaturakhim walaupun masih satu kerabat (keluarga dari nenek atau lainnya).
Kebiasaan nyekar (menabur bunga) ini, sesuai dengan asal kata nyekar yaitu sekar yang berarti bunga; dimaknai sebagai simbol kasih dan kecintaan serta keharuman jasa leluhur yang melahirkan keturunannya penuh kebaikan dan keharuman. Nyekar (menabur bunga) di atas kuburan leluhur ini tidak hanya dilakukan orang-orang yang beragama Islam, tetapi juga Yahudi, Nasrani, terma¬suk juga dalam agama Shinto di Jepang.
Bunga (sekar) adalah simbol keindahan, keharuman, dan kecintaan karena bunga merupakan bahasa cinta. Apabila sang pujangga mau menguntai kata, ia akan berkata bahwa beliau (almarhum) yang dikuburkan adalah leluhur kita yang harum namanya. Tak ada keburukan yang menimbulkan bau. Perjalanan dan perilakunya indah seperti bunga sehingga setiap orang ingin memilikinya dan menirunya.
4.  Saling Kirim Rantang
Masalah saling kirim rantang ini telah disampaikan oleh Ibu Megawati Taufik Kiemas selaku Pemerhati Kehidupan telah disampaikan pada Harian Kompas tanggal 15 Oktober 2007 dengan judul Rantang dan Kedermawanan, yang mana dalam tulisannya masalah tradisi Lebaran diisi dengan saling kirim rantang, Beliau mengulasnya dari sisi kehidupan sosial, dan mikroekonomi. Dalam masyarakat kota, menjelang Lebaran banyak yang masih mentradisikan untuk bertukar makanan di dalam rantang. Tradisi tukar rantang ini memperkuat ikatan sosial ataupun tali sikturahim antar kerabat atau handai tolan. Saling tukar rantang adalah simbol dari sebuah proses social dan berbagi, sebagai tanda ungkapan syukur atas nikmat iman dan berkah rezeki yang diberikan Tuhan kepada mereka.
Selain itu, mengirim rantang/makanan juga dilakukan masyarakat lapisan atas yang lebih mampu kepada yang tidak mampu atau kaum duafa. Jadi, makna mengirim rantang dalam tradisi masyarakat bukan, hanya simbol ungkapan bersyukur kepada Tuhan, melainkan juga symbol berprosesnya rasa keadilan sosial dalam masyarakat.
Agaknya, yang harus kita semua sadari adalah tradisi mengirim bingkisan yang merupakan bagian dari sisi keanekaragaman kebudayaan. Bung Karno mengatakan, keanekaragaman kebudayaan ibarat Taman sari bagi Indonesia. Tradisi masyarakat itu dapat dilihat pada orang Betawi yang terkenal dengan jualan dodol Betawi, orang Minang dengan rendangnya, orang Sunda dengan lontong dan orang Jawa dengan jenang, dsb. Tradisi ini merupakan proses transformasi budaya yang panjang, percampuran pengaruh kebudayaan China, Arab, dan India yang masuk Nusantara.
5.  Pengiriman parsel
Tradisi saling kirim rantang tersebut masih menurut Ibu Megawati adalah juga menuju ranah ekonomi, dimana menjadi bagian alternative mata pencarian masyarakat sehingga usaha ini pun berkembang menjadi pengiriman parsel. Parsel berasal dari kosakata parcel (inggris), dimaksudkan sebagai bingkisan, bungkusan, dan paket (Kamus Bahasa inggris –Indonesia, John M Echols dan Hassan Shadily). Dalam perkembangannya, masalah parsel menjadi ocial , terutama saat Lebaran tiba.
Kini, mengirim parsel kepada pejabat, mitra kerja, atau atasan dianggap sebagai salah satu bentuk aktivitas yang dapat dikategorikan sebagai indikasi penyuapan dan dapat dianggap mengganggu jalannya ocial tata pemerintahan yang baik. Marcell Mauss, antropolog Perancis, mengatakan bahwa ada hubungan nilai ekonomis bingkisan yang diberikan atau ditukarkan di antara kedua pihak yang terlibat. Oleh karena itu, orang merasa wajib bukan saja saat ocial, tetapi juga saat menerima dan mengembalikan “budi baik” pemberian itu. Dalam konteks itulah mungkin pemerintah melihat parsel sebagai tradisi yang diduga dapat merusak ocial pemerintahan yang baik dan bebas KKN. Pemerintah lupa, selain itu Marcell Mauss juga mengatakan, kebiasaan ocial dan menerima hadiah juga berfungsi dalam menciptakan ikatan ocial dan menggalang solidaritas antar kelompok dan warga masyarakat.
Terlepas dari pembahasan Ibu Megawati dalam uraian tersebut di atas (kami sampaikan sebagian saja), maka kita melihat kepada Usaha Parcel dimana keadaannya, sudah kurang lebih 10 tahun ini, para pejual parsel setiap menjelang Idul Fitri dirasakan semakin lama semakin tidak menjanjikan, karena bisnis parsel ini memang tidak seperti dulu, atau sekarang sudah tidak lagi menjadi peluang sumber penghasil uang, tidak seperti dulu ketika belum ada ketentuan dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) soal larangan bagi pejabat negara menerima bingkisan saat hari raya.
Semenjak ada larangan bagi pejabat negara menerima parsel, omzet penjualan para pedagang parsel pun menurun drastis. Sebagai gambaran yaitu berupa ungkapan seorang pedagang menyatakan bahwa sebelumnya bisa mencapai 50-an parsel per hari kini ia paling bisa merijual 5-10 parsel. Itu pun setelah dia menempuh cara lain dengan metode door to door karena kalau sistim pasif atau hanya pajang sambil menunggu pembeli tidak akan jalan..
6.  Iklan dan Perang Diskon
Dengan begitu meriahnya suasana lahir dan bathin di saat Hari Raya Lebaran tersebut dimana perorangan mempunyai nilai materiil yang siap “dihabiskan” maka peluang inipun tidak di sia-siakan oleh produsen, toko, mall dlsb dengan menebar iklan untuk menarik pembeli.
Kita sedikit meningkat ke teori yang agak berat ….
"Tujuan iklan," kata Robert E Lane dalam The Loss of Happiness in Market Democracy, "lalah bukan menciptakan kepuasan, tetapi kekecewaan, termasuk kecewa terhadap diri sendiri." Anda akan merasa puas dengan apa yang Anda punyai, selama Anda tidak dibandingkan dengan orang yang memiliki apa yang tidak Anda punyai. Anda sudah cukup bahagia dengan mobil tua Anda sampai di depan muka Anda diperlihatkan gemerlap mobil baru. Dengan jeratan psikologis, iklan menambah penderitaan Anda dengan menegaskan bahwa Anda terhina karena tidak punya mobil baru. Anda pecundang tanpa mobil baru.
Tugas iklan memang membuat Anda kecewa dengan kehidupan Anda sekarang ini. Anda didorong untuk bergairah membeli. Iklan dirancang tidak untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk menciptakan kebutuhan. Ketika kebutuhan baru muncul, Anda harus bekerja lebih keras. Sekarang Anda harus mengambil banyak waktu untuk bekerja. Di antara waktu yang disita untuk pekerjaan Anda adalah waktu untuk kegiatan-kegiatan sosial, termasuk berkumpul dengan keluarga. Bernard de Mandeville berkata, "Kemewahan telah mempekerjakan jutaan orang miskin. Kesombongan mempekerjakan jutaan orang lebih banyak lagi. Iri hati dan kesombongan adalah duta-duta industri."
“Untuk hal ini seperti ada pepatah yang mungkin dianggap kuno tetapi manfaatnya masih bisa kita rasakan yaitu : BELILAH SESUATU ATAU BARANG SESUAI KEBUTUHAN DAN KEMAMPUAN ”, tentunya sesuatu atau barang yang sifatnya positif.
Tulisan ini dicukupkan dulu sekian, disambung kembali pada Bagian 2.
Sumber Bacaan a.l :
Magnet Ekonomi Lebaran . (Media Indonesia, 8 Oktober 2007)
Lebaran, Lubang jarum Konsumerisme. Jalaluddin Rakhmat, Ketua Dewan Syura Ikatan Jemaah Ahlulbait Indonesia (Media Indonesia, 12 Oktober 2007)
Fitrah Ke-Indonesiaan. Oleh : Munawar Fuad, Kandidat Doktor Universitas Malaya, Malaysia
Lebaran : Tradisi Nyekar Di Hari Raya Idul Fitri. Oleh : H. Asep Sjamsubachri, Guru Besar Kopertis Wilayah IV Jabar dan Banten. (Kompas, 15 Oktober 2007)
“Rantang” dan Kedermawanan Sosial. Oleh Megawati Taufik Kiemas, Pemerhati Kehidupan. (Kompas, 15 Oktober 2007)
Lebaran : Parsel Bisnis Tahunan yang semakin Sepi (Media Indonesia, 8 Oktober 2007); Chavchay Syaifullah/J-1
Revitalisasi akat. Oleh Agus Muhammad, Wakil Ketua Moderate Muslim Society, Jakarta

MAKNA HARI RAYA LEBARAN DAN PERMASALAHANNYA (Bagian 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar