Rabu, 11 Agustus 2010

KEHUTANAN DARI MASA KE MASA


Disalin dan edit dari buku oleh isamas54
Hutan tropika Indonesia adalah merupakan anugerah dan amanat tak ternilai yang diberikan Tuhan untuk kelangsungan kehidupan semua makhluk ciptaannya. Karena hutanlahsatu-satunya sistem alam yang efektif mengatur tata air, tata tanah dan tata udara untuk kehidupan di bumi yang terbentuk melalui proses dan waktu yang sangat panjang ratusan bahkan ribuan tahun.
Sebagai amanat, hutan seyogyanya dikelola secara arif dan terukur, yang pemanfaatannya tidak melebihi dari daya dukung dan kemampuan pemulihan hutan itu sendiri.Kelestarian hutan sangat tergantung dari pengelola yang memegang kendali dan tujuan pergelolaan kehutanan. Sebagai sumberdaya yang dapat diperbaharui, kehutanan bukanlah jenis Sumber Daya Alam / SDA yang habis sekali pakai. Akan tetapi sifat terbaharui yang terkandung di dalamnya sangat memungkinkan bagi SDH untuk dilaksanakan pembangunan kembali pasca eksploitasi guna mengembalikan pada kondisi seperti semula, Dengan sifat ini maka SDH sebagai salah satu potensi pembangunan dapat selalu di "rebuilding” sehingga kelestarian baik dan aspek fungsi produksi, fungsi ekologi dan fungsi sosialnya dapal selalu dijamin.
Hutan secara historis telah mengalami 4 (empat) periode penguasaan, yaitu sejak penguasaan para raja, penguasaan jaman penjajahan Belanda, penguasaan zaman penjajahan Jepang, dan penguasaan jaman kemerdekaan. Pada masa penguasaan jaman kemerdekaan terdapat tiga era penguasaan yaitu era orde lama, orde baru dan orde reformasi. Masing-masing periode penguasaan tersebut mencerminkan sebuah perpaduan antara era eksistensi kehidupan bernegara dan eksistensi pembangunan untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis pada SDA termasuk Sumber Daya Hutan / SDH. Pada era raja dominasi kekuasaan raja menegaskan sebuah pandangan bahwa keseluruhan sumberdaya baik SDA, SDB juga SDH merupakan milik raja, sehingga rajalah yang paling berhak untuk memanfaatkan potensi yang tersedia.
Penegasan ini telah menisbikan kepemilikan di luar raja. Hal yang hampir sama terjadi pada era penjajahan baik Penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang. Eksistensi kekuasaan penjajah yang menghegemoni seluruh kehidupan masyarakat membatasi ruang gerak masyarakat. Akibatnya keseluruhan proses pengelolaan hutan berjalan secara satu arah yaitu demi kepentingan penjajah. Hal yang sangat menonjol terjadi pada waktu kekuasan bangsa Jepang di Indonesia SDH dipaksakan untuk menjadi sektor pendukung peperangan.
Pada era kemerdekaan, terdapat periodisasi penguasaan SDH. Masa orde lama yang berkuasa pada tahun 1945 - 1965 belum menonjolkan aspek pengelolaan hutan karena orientasi pemerintah yang lebih terfokus pada pembenahan kehidupan bernegara seperti penguatan kelembagaan, penguatan persatuan dan penegasan jati diri bangsa. PengeloJaan SDH sebagai sebuah komoditi yang sangat ekonomis baru tercermin pada era pemerintahan orde baru, Pembenahan kehidupan berbangsa yang sudah mendekati selesai, mengalihkan wacana pemerintah ke arah pengelolaan SDA. Kebutuhan modal yang besar guna pelaksanaan pembangunan mengarahkan pemerintah untuk melakukan eksploitasi SDA termasuk hutan. Wacana pengelolaan SDH era orde barn adalah wacana eksploitasi, sehingga target-target pencapaian pembangunan diukur dari hasil capaian ekonomi, Kepedulian pada aspek lingkungan dan sosial baru muncul pada akhir era pemerintahan orde baru.  Era orde reformasi sebenarnya menjadi awal pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Penegasan terhadap kehidupan berbangsa sudah mencapai final dengan dilaksanakannya otonomi daerah, sementara pelaksanaan pengelolaan SDH sudah memiliki basis yang lestari, yaitu dengan dilaksanakannya SPHL dan kesadaran untuk melakukan power sharing dalam pelaksanaan kinerja pengelolaan hutan melalui mekanisme GCG. Namun dalam berbagai proses transisi, tampak beberapa aspek mengalami kebablasan, sehingga kontraproduktif dengan maksud pencapaian desentralisasi dan PHL. Lebih dan pada itu pada masing-masing periode nampak bagaimana peran penguasa sebagai pemegang kendali pembangunan kehutanan mengarahkan dan mengendalikan SDH sebagai aset pembangunan
1.      Kehutanan Pada Era Para Raja
Jauh sebelum penjajah Belanda masuk ke Indonesia, eksploitasi hutan yang berupa ekstraksi kayu sudah dimulai oleh para penguasa kerajaan pada sekitar abad ke delapan sampai ke enambelas (1650) guna berbagai kepentingan terutama untuk kontruksi bangunan. Ketersediaan hutan alam yang masih sangat melimpah pada masa tersebut, serta kebutuhan yang masih sangat kecil tidak mempengaruhi eksistensi hutan sebagai sebuah sumberdaya.Era kerajaan Majapahit sampai kerajaan Mataram di Pulau Jawa merupakan simpul-simpul kekuasaan raja-raja di Jawa yang diperkirakan sudah mulai melakukan eksploitasi kayu secara terbatas. Bangunan-bangunan istana yang sampai saat ini masih jelas peninggalannya sebagian besar menggunakan konstruksi kayu sebagai komponen bangunan.  Contoh nyata adalah Keraton Solo, Keraton Yogya dan sisa-sisa peninggalan kerajaan Majapahit di Trowulan dapat sebagai gambaran bagaimana kayu, khususnya kayu Jati sudah dipergunakan oleh penguasa pada waktu itu, contoh lain adalah Masjid Jepara, Masjid Sunan Kudus dan beberapa bangunan lagi peninggalan kerajaan Islam Demak yang penuh dengan nuansa kayu sebagai konstruksi utama.Pada tingkat masyarakat penggunaan kayu juga sudah ada semenjak era tersebut. Komunalisasi masyarakat pedesaan Jawa yang mulai terbentuk memproduksi berbagai jenis rumah tradisional seperti Joglo. Konstruksi rumah ini sebagian besar menggunakan Kayu Jati, sehingga dapat sebagai gambaran bagaimana hutan sebagai sumber kayu sudah dikelola oleh masyarakat untuk kebutuhan subsistennya.Tidak ada catatan yang akurat mengenai bagaimana pengelolaan hutan pada masa tersebut. Ketiadaan data yang akurat menjadi penghambat untuk dapat merekonstruksi pengelolaan kehutanan pada masa tersebut. Namun yang tegas pada era para raja ini SDH belum memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga pada eksploitasi masih sangat terbatas untuk kebutuhan subsisten, baik subsisten untuk kepentingan raja maupun subsisten untuk kepentingan masyarakat. SDH belum diperdagangkan.Kehutanan secara sistematik mulai dieksptoitasi ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1650. Masuknya Belanda ke Indonesia menjadi awal dimulainya pengelolaan kehutanan di Indonesia secara modern.
2.      Kehutanan Pada Era Penjajahan Belanda
Masuknya penjajah Belanda ke Indonesia menjadi awal pengelolaan kehutanan secara modern. Hutan yang sebelumnya kurang memiliki nilai ekonomi berubah semenjak Belanda masuk ke Indonesia. Pola perdagangan dan sistem pengusahaan kayu yang sudah berkembang di Eropa di bawa ke Indonesia yang memiliki potensi hutan sangat luas. Otoritas pertama yang memegang kendali pengelolaan hutan di Indonesia adalah VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) yang menguasai Indonesia dari tahun 1650 - 1800. Pada masa VOC ini kehutanan dieksploitasi guna berbagai keperluan seperti untuk menghidupkan industri gula, arak, tong, peti, jembatan senjata serta untuk membuat perahu. VOC sebagai kesatuan dagang Belanda pada tahun 1808 digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada era pemerintahan Hindia Belanda inilah untuk pertama kalinya dibentuk organisasi pemangkuan hutan.  Pemangkuan hutan di Indonesia oleh penjajah Belanda pertama kali dibentuk pada tahun 1319, yaitu tepatnya pada tanggal 9 Januari 1819 melatui Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belantia No. 17 (Staatblad 1819 No. 17). Ambtenar yang bertanggung jawab dalam organisasi ini adalah Directeur van de houtbossen (Direktur Hutan-Hutan Kayu).
Organisasi pemangkuan hutan yang dibentuk tersebut menjadi organisasi pemerintah penjajah pertama yang memiliki kuasa penuh atas sumberdaya hutan. Organisasi pemangkuan hutan memiliki kelengkapan organisasi yang mampu menjamin pelaksanaan eksploitasl sekaligus menjamin terselenggaranya kelestarian dan keamanan hutan, seperti Houlvester (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan), dan Boschwezen (Polisi hutan), Karesidenan yang ditunjuk untuk pemangkuan hutan yang pertama adalah : Besuki, Pasuruhan, Surabaya, Gresik, Rembang, Jepara, Juana, Semarang, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon. Organisasi pemangkuan hutan era Belanda mengalami beberapa pergantian struktur organisasi menyesuaikan dengan dinamika sektor kehutanan waktu itu seperti pada tahun 1908 dengan munculnya jabatan Chief Boschwezen, Houtvester Boschdistiict, Ajt/n Houtvestetij, Bosch Polities, Opziener, Mantri, Boschwachter dalam struktur organisasi pemangkuan hutan. Berbagai jenjang organisasi inilah yang nantinya menjadi cikal bakal munculnya organisasi jawatan kehutanan pada masa Indonesia merdeka.
Selain itu Pemerintah Belanda juga membentuk perusahaan yang menangani sektor kehutanan, yaitu Djatibedrijf-Djatibedrijf menjadi perusahaan pertama yang khusus menangani sumberdaya hutan, khususnya hutan jati. Meskipun akhirnya ditutup pada tahun 1938, Djatibedrijf telah memberi ilham bagi para forester Indonesia pada masa kemerdekaan akan pentingnya membangun perusahaan kehutanan yang kuat sebagai salah satu basis pengelolaan sumberdaya hutan.
Kekuasaan Belanda atas sumberdaya hutan berakhir ketika bala tentara Jepang mendarat di Indonesia tahun 1942. Belanda yang kalah perang dari Jepang harus menyerahkan kekuasaan atas Indonesia kepada pemerintahan Jepang. Dengan penyerahan kekuasaan ini berakhir pula era pengelolaan kehutanan Belanda di Indonesia.
3.      Kehutanan Pada Era Penjajahan Jepang
Pada tahun 1942, tentara Jepang mulai berkuasa di Indonesia menggantikan penjajahan Belanda. Dalam masa peralihan kekuasaan tersebut ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 1 tentang Menjalankan Pemerintahan Balatentara. Terdapat dua ketentuan pokok dalam Undang-Undang tersebut, yaitu: (1) Balatentara Jepang untuk sementara waktu menjalankan Pemerintahan Militer pada daerah-daerah yang telah diduduki; (2) Seluruh badan dan kekuasaannya serta Hukum dan Undang-Undang dari Pemerintah Hindia Belanda, untuk sementara waktu tetap diakui syah, selama tidak bertentangan dengan Aturan Pemerintah Militer Jepang.Pada pertengahan Juni 1942 oleh Pemerintahan Balatentara Dai Nippon, Jawatan Kehutanan (Boswezen) diganti namanya menjadi Ringyo Tyuoo Zimusyo, kantor pusat disebut Honbu berkedudukan di Gedung KPM Jakarta di bawah pengawasan tiga orang yaitu, Tamate, Narusawa dan T. Kai. Namun organisasi tersebut praktis hanya meliputi wilayah Jawa dan Madura saja. Dua orang Pakar Belanda ditunjuk sebagai penasehat di Kantof Pusat, yaitu Dr Becking dan van Jelen. Bagian inspeksi disebut Eirin Kyo Ku dan daerah hutan disebut Eirin Siyo wilayahnya tetap seperti sebelum perang. Eirin Kyo Ku berada di bawah pengawasan pegawai Jepang, atau pegawai Indonesia, dengan seorang inspektur Belanda sebagai penasehat Eirin Syo diduduki oleh pegawai Indonesia, dengan penasehat seorang ahli Belanda untuk 2 -3 Eirin Syo.
Selama pemerintahan Jepang ini hutan telah dijadikan sumber bahan pendukung peperangan Asia Timur Raya, Proses produksi ekonomi sangat diutamakan dengan mengabaikan kondisi ekologi dan kesejahteraan tnasyarakat. Hutan di Jawa telah ditebang dalam jumlah rata-rata lebih dari dua kali dari jumlah penebangan yang diperbolehkan, Disamping itu hutan yang ditebang kadang-kadang terdiri atas hutan yang belum masak tebang, tetapi dianggap dapat digunakan untuk mendukung peperangan, seperti untuk pagar, penyangga parit dan jembatan. Akibatnya deforestasi, khususnya hutan di Jawa mulai rnuncul akibat dan yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang.
Kekuasaan penjajahan Jepang tidak lama. Pada tahun 1945 dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki, tentara Jepang menyerah kepada sekutu, Kekosongan kekuasaan di Indonesia sepeninggal bala tentara Jepang dimanfaatkan oleh Sukarno Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
4.         Kehutanan Pada Era Kemerdekaan
Kemerdekaan Rl yang diplokamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 menjadi awal bagi kebangkitan bangsa Indonesia untuk mengelola sendiri seluruh pembangunan, akan tetapi kondisi bangsa yang masih berada pada masa revolusi belum memungkinkan bagi pemerintah untuk rnemprioritasktin pembangunan. Oriental pemerintah yang terfokus pada penyiapan fundamen dasar kehidupan bernegara belum menjadikan proses-proses pembangunan rill sebagai target utama.
Meskipun demikian, beberapa penstiwa perting terjadi pada dunia kehutanan Indonesia waktu itu, antara lain terbentuknya Jawatan Kehutanan (1945), berdirinya Akademi Kehutanan (1946), Kongres I Jawatan Kehutanan Rl (1947) di Garut, pendirian SKMA (1951) di Bogor, perubahan dari Jawatan Kehutanan menjadi Direktorat Kehutanan dan Tata Bumi (1955), Kongres Kehutanan 1 di Bandung (1956), dikeluatkannya PP No. 64 Tahun 1957 tentang desentralisasi kehutanan di propinsi; dengan membentuk Dinas Kehutanan (1957), terbentuknya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria. Kongres Kehutanan Sedunia ke 5 di Seattle, USA dengan tema Multiple Use of Forest Lands Management (1960) Pekan Penghijauan Nasional dan terbentuknya Perum Perhutani melalui PP No. 17 (1961), terbentuknya Persaki/Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia (1963), dan Soedjarwo menjadi Menteri Kehutanan Rl (1964), Pada tahun 1965, terjadi peristiwa 30 September, dan pada tahun 1966 Departemen Kehutanan kembali menjadi Direktorat Kehutanan dibawah Departemen Pertanian (Keputusan No. 170/1966).
Era orde Baru
Memasuki era orde baru, terjadi perubahan yang cukup dramatis dalam pola penyelenggaraan pembangunan. Penguatan basis kenegaraan yang sudah hampir rampung dipercepat oieh pemerintahan orde baru dengan menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan. Praktis dengan penerapan sentralisasi ini gejolak-gejolak kecil yang masih tersisa dapat diredam, sehingga pernerintah dapat fokus pada penyelenggaraan pembangunan. Berangkat dari kesadaran bahwa bangsa Indonesia membutuhkan rnodal besar guna melaksanakan pembangunan, pemerintah mulai melirik sektor SDA sebagai modal pembangunan nasional. Sektor kehutanan yang masih menyimpan potensi sangat besar segera saja menarik minat pemerintah untuk melakukan eksploitasi.
Pada tahun I967, guna merealisasikan eksploitasi SDH, Undang-Undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967 diterbitkan, yang ditindaklanjuti dengan PP No. 22 Tahun 1967 Tentang luran Hak Pengusahaan Hutan dan luran Hasil Hutan, UUPK Nomor 5 Tahun 1967 dan PP No, 22 tahun 1967 ini dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah baru pengelolaan hutan yang pertama oleh pemerintah Indonesia, Aroma eksploltasi dengan nama pengusahaan hutan sangat menonjol, karena wacana yang berkembang memang menempatkan sumberdaya hutan sebagai "karunia Tuhan" yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mendapatkan devisa. Arus investasi khususnya PMA kemudian mengalir deras di sektor kehutanan setelah keluarnya UU No. l Tahun 1967 tentang PMA. Hal yang sama kemudian diikuti para pengusaha dalam negeri satu tahun kemudian, yakni semenjak UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN diberlakukan pemerintah. Sementara untuk hutan di pulau Jawa dan Madura hak pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani (sebagian besar tata cara pengurusannya masih rnemberlakukan Ordonansi Hutan Jawa dan Madura, 1927). Mulai saat itulah para investor luar negeri, khususnya dari Jepang dan Korea menyerbu masuk ke Indonesia untuk mendapatkan logs guna memenuhi kebutuban Industri kayu di negaranya,
Sejak terbitnya UUPK tugas dan kewenangan pemerintah Rl nampak semakin luas. Beberapa PP sebagai aturan pelaksanaannya; berkali-kali dibuat dan diterbitkan. Salah satu PP penting yang dikeluarkan pada periode ini, antara lain seperti PP Nomor 6 tahun 1968 tentang Penarikan Urusan Kehutanan dari Daerah Kabupaten ke Propinsi di Wilayah Indonesia Bagian Tirnur, dengan tindak lanjut diterbitkannya SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian tentang pembagian hasil iuran HPH dan luran hasil hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pada tahun 1970 muncul PP No. 33 tahun 1970 tentang perencanaan Hutan yang dialihkan dari daerah menjadi kewenangan pusat, serta peraturan baru tentang HPH dan HPHH melalui PP No. 21 tahun 1970. Kemudian Menteri Pertanian melalui Jenderal Kehutanan juga menerbitkan beberapa keputusan penting, antara lain Keputusan Menteri Pertanian No. 369 tahun 1972 tentang Penetapan Besarnya Iuran Hasil Hutan dan Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 yang mengatur penerapan sistem silvikultur TPI, THPA dan THPB dalam pengusahaan hutan produksi disamping itu diatur juga tentang pengukuhan kawasan hutan, kawasan konservasi, jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan yang Pada tahun 1973 PT. Inhutani I sebagai BUMN mulai dibentuk, dengan kantor pusat berkedudukan di Jakarta. Wilayah kerja PT. Inhutani 1 ini mencakup areal hutan di Kalimantan Timur. Pada tahun 1974 pemerintah membentuk PT. Inhutani II dan PT. Inhutani III yang wilayah kerjanya masing-masing mencakup areal hutan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sementara untuk pengelolaan areal hutan di pulau Sumatera, pemerintah rnembentuk PT. Inhutani IV dan PT, Inhutani V. Disamping BUMN, UPT di daerah secara bertahap mulai dikernbangkan, seperti bidang perencanaan, pendidikan dan latihan, konservasi sumberdaya alamr penelitian, serta rehabilitasi hutan dan konservasi tanah. Sementara untuk pengurusan administrasi di daerah, melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, pemerintah mengaktifkan pengurusan hutan rnelalui Dinas Kehutanan dan Cabang Dinas Kehutanan.
Terbentuknya Perum Perhutani dan BUMN PT. Inhutani (I s,d. V), menunjukan bahwa perhatian dan upaya pemerintah untuk ikut terjun langsung menangani pengelolaan hutan (potensi) terlihat cukup serius. Hubungan bilateral dengan masyarakat dunia juga dibuka seluas-luasnya. Salah satu kegiatan yang terjalin pada waktu itu, Indonesia menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Sedunia ke -VIII yang berlangsung di Jakarta, pada bulan Oktober 1978, Kongres ini bertema Hutan Untuk Kesejahteraan Masyarakat (forest for people"), dan telah menghasilkan suatu deklarasi yang isi pokoknya menyatakan bahwa hutan harus dirnanfaatkan berdasarkan kelestarian untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat pada masa kini dan masa yang akan datang, baik masyarakat lokal maupun masyarakat internasional.Pengusahaan kayu melalui HPH (yang sudah berlangsung sejak tahun 1967) mengalami "booming” logs/kayu bulat sekitar tahun awal 1980-an. Pada saat itu tercatat sekitar 632 unit HPH beropsrasi di Indonesia dengan luas konsesi per HPH antara 30.000 hingga jutaan hektar. Pada ''era logs” ini pengusaha rnemperoleh penghasilan rnelalul ekspor kayu bulal/gelondongan dan hasll ikutan lainnya. Sementara pemerintah memperoleh devisa dan pendapatan negara antara lain dari iuran HPHH, IHH, DR, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai
rnanufaktur dan pengolahan kayu, mulai dari hulu sampai hilir. Pada masa itu, kehutanan benar-benar menjadi andalan pemerintah sebagai "mesin pencetak uang dan lumbung emas" guna menopang berbagai program pembangunan, dengan menduduki peringkat 2, sebagai pemasok devisa tertinggi bagi negara setelah minyak.  Indonesia mampu mencapai predikat the new emerging tiger in Asia.
Kekhawatiran akan terancamnya kelestarian hutan mulai menarik perhatian banyak kalangan. Sangat beralasan apabila organisasi-organisasi masyarakat (LSM-LSM) sebagai lembaga pemerhati dan peduli terhadap masalah kelestarian hutan mulai bermunculan, seperti Walhi, Skephi dan KPSA. Kepedulian ini dilandasi oleh berbagai fakta bahwa selain faktor lingkungan yang semakin terdegradasi, aspek sosial kemasyarakat semakin terpinggirkan, Efek menetes ke bawah (tricle down effect) yang dikonsepsikan oleh pemeritah untuk mensejahterakan masyarakat tidak berjalan baik. Justru yang muncul adalah timbulnya kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara masyarakat miskin dengan kaya dengan kota, pusat dengan daerah. Di sektor kehutanan disparitas ini cukup rnenonjol manakala dilihat bahwa masyarakat sekitar hutan tidak beranjak status ekonominya setelah sekian lama pengusahaan kehutanan beroperasi di sekitar tempat tinggalnya. Proses partisipasi masyarakat, baik partisipasi ekonomi, maupun partisipasi politik tidak berjalan dengan baik.
Pada tahun 1990 guna melengkapi UU No 5 Tahun 1967 yang sangat berorientasi pada pengusahaan hutan pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini menjadi fundamen pembangunan SDH berbasis ekosistem. Terdapat tiga aspek yang ditekankan dalam UU tersebut yaitu : (1). pengawetan plasma nutfah, flora fauna dan ekosistem unik. (2). adanya perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan, (3). pelestarian pemanfaatan SDH secara lintas generasi. Tiga aspek ini menjadi landasan awal berkembangnya konsep PHL di bidang kehutanan. Sementara itu di bidang sosial pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 691/Kpts-II/1991 mengenai HPH Bina Desa Hutan yang menjadi landasan awal pelaksanaan kelola sosial. Dua produk hukum ini diharapkan mampu mengurangi laju kerusakan hutan sekaligus mampu mengatasi permasalahan sosial yang sudah mulai menonjol pada waktu itu. Namun pandangan-pandangan eksploitatif yang masih dominan pada waktu itu baru menempatkan kelola lingkungan dan kelola sosial dalam tataran wacana, sementara visi misi para pelaku kehutanan di lapangan masih produksi centris.Pada pertengahan era 1990-an, pengetolaan kehutanan di Indonesia mulai menjurus pada jalur yang benar. Tuntutan-tuntutan international mengenai perbaikan kualitas lingkungan seperti konferensi bumi di Rio de Jeneiro, Deklarasi Paris dan Deklarasi Yokohama mulai menggeser pengelolaan hutan di Indonesia ke arah ecosystem base. Sistem Pengelolaan Hutan Lestari berawal pada periode inir dimana seluruh pengelolaan hutan harus berujung kepada kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi social.  Puncak dari periode emas sektor kehutanan adalah keluarnya UU No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan yang menggeser sektor kehutanan dari timber manajemen ke arah ecologycal and social base forest manajemen.
Era Reformasi
Memasuki era reformasi terjadi penegasan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasan tersebut mencapai finalnya dengan dllaksanakannya otonomi daerah. Sementara itu pelaksanaan pengelolaan SDH sudah memiliki basis yang lestari, yaitu dengan dilaksanakannya SPHL dan kesadaran untuk melakukan power sharing dalam pelaksanaan kinerja pengelolaan hutan rnelalui mekanisme GCG. Oleh karena itu pada tataran praktis sebenarnya dengan berjalannya kebijakan reformasi proses tinggal landas dalam pelaksanaan pembangunan yang lestari yang berkeadilan dalam iklim pemerintahan yang demokratis menemukan momenturnnya. Pada aspek kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah misalnya, pernerintah telah menjawabnya dengan menerapkan kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Sementara kesenjangan antara pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan rnasyarakat) yang selama ini terlalu didominasi oleh pemerintah mulai mencair dengan pelaksanaan penciptaan GCG. Oleh karena itu kondisi yang sangat kondusif ini seharusnya mampu menjadi landasan untuk menancapkan pengelolaan hutan yang optimal dan lestari’
Akan tetapi masa transisi yang berlarut-larut selama hampir 7 tahun ini telah menyebabkan proses-proses pengelolaan kehutanan yang seharusnya sudah tinggal landas menjadi terhambat. Diakui, hegemoni pemerintah orde baru selama 32 tahun kurang memberikan pembelajaran bagi jajaran birokrasi di pusat maupun di daerah mengenai mekanisme pendistribusian kewenangan. Selain itu UU 22 Tahun 1999 ternyata memberikan batas-batas kewenangan yang terlalu besar, yang ditandai dengan tidak adanya hirarkhi kewenangan/perijinan, hirarkhi teknis maupun hirarkhi karier antara pusat-daerah dan antar daerah, misalnya lintas provinsi atau lintas kabupaten.
Di sisi lain disparitas ekonomi yang ada di masyarakat selama pemerintahan orde baru akibat dari kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah menciptakan situasi "chaos”. Masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan menjadt lepas kendali ketika reformasi berjalan. Mekanisme penciptaan GCG yang seharusnya menempatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam posisi seimbang menjadi berantakan. Di daerah-daerah dengan mengatasnamakan masyarakat pihak-pihak tertentu dengan leluasa dapat melakukan apa saja baik penyerobotan lahan, pembumihangusan camp, sampai pengkaplingan hutan, Situasi tertekan yang tercipta selama pemerintahan orde baru terlampiaskan rnelalui gerakan radikal di lapangan.
Kondisi inilah yang rnenyebabkan sektor kehutanan pada era reformasi menjadi terpuruk. Gagasan dasar yang sangat mulia dengan dilaksanakannya berbagai kebijakan yang reformatif belum berjalan di tingkat pengelolaan. Fakta di lapangan justru iklim usaha menjadi kurang kondusif. Dan 623 unit HPH pada tahun 80 -an pada era ini tinggai 266 unit yang masih berdiri. Sementara itu illegal logging, ilegal trade, dan perambahan hutan menjadi fakta lain yang menyelimuti pengelolaan kehutanan di era ini sehingga laju percepatan kerusakan hutan semakin meningkat. Pada akhir episode ini bisa dikatakan sektor kehutanan mencapai titik nadirrnya.

Keterpurukan yang terjadi di sektor kehutanan tidak dapat dibiarkan terus berlarut, keterpurukan yang sedang melanda sektor kehutanan tidak mampu menyembunyikan bahwa sektor kehutanan rnasih tetap menyimpan potensi yang sangat besar bagi pembangunan nasional. Melalui model PHL maka potensi besar yang masih terdapat di sektor kehutanan akan dapat dioptimalkan pengelolaannya tanpa harus mengorbankan segi-segi lingkungan dan sosial. Era multi komoditas SDH menempatkan bahwa produksi kehutanan tidak lagi terfokus pada kayu, tetapi juga komoditas-komoditas lain seperti perdagangan karbon, keanekaragaman hayati, eko wisata maupun sumber daya air Potensi-potensi ini menjadi harapan terbesar bagi pembangunan dunia kehutanan ke depan disamping potensi kayu dan produk turunannya.

Sudah saatnya bagi seluruh stakeholder pembangunan kehutanan untuk menajamkan visi GCG untuk mempercepat pelaksanaan "kerja besar" di sektor kehutanan yaitu melaksanakan PHL. Otonomi Daerah dapat menjadi titik awal optimalisasi kinerja triparti pembangunan kehutanan. Dengan visi keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat yang berada dalam bingkai GCG maka upaya mewujudkan PHL dalam wadah KPH di Indonesia akan menjadi lebih mudah. Berbagai kebijakan tentang PHL yang sudah dibangun, maupun bertiagai prakondisi yang sudah tercipta akan dapat mempercepat seluruh triparti pembangunan kehutanan untuk melaksanakan PHL.
Langkah awal yang harus segera diiakukan deh pemerintah saat ini bersama-sama dengan swasta dan masyarakat adalah segera mulai membangkitkan kembali dunia kehutanan. Upaya pembangkitan kehutanan dapat dilakukan melalui tiga langkah pokok, yaitu (1). rekalkulasf kawasan hutan dan potensi kehutanan, (2). redesain manajemen hutan dan industri kehutanan, dan (3). restrukturisasi kelembagaan kehutanan. Melalui tiga langkah pokok ini maka akan diperoleh “muka baru" pengelolaan hutan yang aman konflik, yang lestari fungsi produksinya, yang lestari fungsi ekologinya, yang lestari fungsi sosialnya serta yang mantap kelembagaannya. Saat ini ketiga langkah tersebut menjadi starting point untuk kembali meratap jalan menuju sistem pengelolaan hutan yang menjadi cita-cita bersama yaitu PHL.
Disalin dari Buku : Ngadiono; 2004; 35 Tahun Pengelolaan Hutan Indonesia Refleksi dan Prospek; Yayasan Adi Sanggoro

1 komentar:

  1. Boleh nanya gak, tau nggak UU yang membatasi penggunaan kayu untuk konstruksi?

    BalasHapus