Perilaku
mabuk-mabukan punya riwayat panjang di negeri ini. Umumnya berkait tragedi,
kekelaman, dan kehancuran.
Oleh : Adi Purnomo -
Peneliti di Paradigma Institute-Kudus
Minuman
keras -sarana mabuk- biasa jadi suguhan istimewa dan wajib dalam
pesta. Dan, mabuk jadi semacam agenda rutin atau "kewajiban" dalam
berbagai perayaan kemenangan perang, judi, taruhan, maupun sekadar pesta
kalangan kerajaan.
Goyangan,
ngelantur, ocehan, sumpah serapah, dan umpatan sering menjadi efek
ikutan ketika individu atau sekelompok orang sedang mabuk. Terlebih jika
kondisi itu diiringi tetabuhan, merdu sinden, atau musik cadas dan dangdut pada
masa sekarang.
Mabuk jadi situasi paling ampuh dan menyenangkan untuk membuat
seseorang lupa pada apa pun yang saat itu para pemabuk ingin lupakan.
Sejarahnya,
sumber gula beraneka ragam di Nusantara memungkinkan penduduk membuat berbagai
jenis minuman keras. Negarakertagama mencatat bahwa di era Majapahit, tuak dari
kelapa, dari pohon lontar, arak yang disuling dari pohon aren, hingga tape
menjadi menu setiap pesta dihelat. Kuantitas suguhan minuman keras merupakan
indikator kemeriahan pesta, bahkan kelas sosial.
Kebiasaan
semacam itu seperti menciptakan reputasi di berbagai komunitas tradisional
negeri ini. Hikayat Hang Tuah menyebut, orang Jawa pra-Islam punya reputasi
sebagai peminum berat. Minuman keras jadi media beramah-tamah dalam pesta.
Pada kehidupan sehari-hari, mereka mengunyah campuran sirih, buah pinang, dan kapur
(nginang) berkadar alkohol rendah sebagai media pelunak interaksi
sosial. Minuman keras atau jenis madat lain dengan kadar alkohol lebih tinggi
hams dibeli lebih mahal.
Mabuk
dan surup
Rasa
"nikmat" dan efek psikologis maupun fisiologis yang dihasilkan
minuman memabukkan itu membuatnya tenar. Rasa yang khas mempercepat detak
jantung, menumbuhkan keberanian, hingga membuat si peminum lupa. Bahkan,
menjadikannya candu. Efek pembuat lupa ini, pada beberapa etnik, dijadikan
stimulan para dukun untuk berkomunikasi dengan dunia supranatural dalam
berbagai ritual mistisnya. Mabuk adalah cara menjadi (ke)surup(an).
Situasi
surup ini, catatan Anthony Reid (1992), kadang mendapatkan makna spiritual,
bahkan religius, ketika para dukun dianggap dapat berhubungan dengan leluhur.
Seperti saat dukun berkomunikasi dengan orang mati. Huntington dan Metcalf
(1979) menyatakan, sehubungan dengan praktik penguburan skunder, ada hubungan
(bawah sadar) antara bangkitnya roh dari jasad mati dengan pembuatan arak lewat
peragian beras.
Berdasar
sakral semacam itu, mabuk bukan hanya diterima masyarakat tradisional sebagai
perilaku "legal", tapi juga menyetujuinya sebagai kebiasaan sosial
atau produk tradisi permanen. Minuman keras atau alkohol menjadi kelumrahan
konsumtif pada saat sebuah komunitas menjalankan/memelihara interaksi sosial
warganya
Kehadiran
agama baru yang melarang konsumsi minuman keras butuh waktu untuk dipahami,
diterima, namun gagal memberantasnya.
Hadirnya kolonialisme plus tawaran aneka jenis minuman memabukkan
memperparah keadaan ini.
Keterpurukan
pemabuk
Akibat
negatif dari para pemabuk ini ditulis dalam Hikayat Hang Tuah. Konon, Hang
Tuah mampu meloloskan diri dari tawanan tentara Majapahit karena mereka mabuk
alkohol dalam pesta kemenangan. Kisah yang mengajarkan bagaimana kegarangan dan
keperkasaan, bahkan sebuah peradaban, takluk oleh mabuk.
Pemabuk
pribumi era kolonial punya riwayat lebih buruk dalam laku mabuknya dibanding
leluhurnya. Mabuk karena minuman keras atau madat ternyata semata untuk pemuasan
hasrat, demi kesenangan, melupakan masalah, dan memuaskan nafsu kecanduan itu
sendiri.
Peter
Carey (2011) menyebut, penduduk memperoleh madat dari orang China penjaga
gerbang pajak. Mereka membeli madat dengan uang upah kecil hasil kerja di
perkebunan kolonial. Sisa uangnya dihabiskan di meja judi.
Menang
di meja judi, mereka berfoya-foya membeli madat, minuman keras, dan perempuan.
Perilaku yang hingga detik ini masih terjadi, termasuk di perkebunan-perkebunan
negeri tetangga, di mana rakyat negeri ini bekerja dan berusaha.
Mabuk
pun menjadi sumber tegangan antara hidup, penderitaan, dan kematian. Mabuk
adalah candu yang menjadi hiburan, pelarian dari ingatan atau kondisi yang tak
diinginkan, atau pada berbagai situasi menjadi sarana menciptakan khayal/ilusi
pencipta mimpi sosial mereka. Dan, demi peristiwa yang terjadi semalam
saja itu, upah sebulan dikorbankan.
Itulah
keadaan yang dianggap menguntungkan oleh kolonialis pada masa lalu.
Karena mabuk Ya,
karena mabuk.
Keterangan gambar : sebagai
ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber : Kompas tgl 8 Nopember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar