Sabtu, 11 Agustus 2012

Kisah : Nasib Anak di Wilayah Krisis dan Konflik (Bagian 1)


Dikemas oleh Isamas54
Nasib anak-anak  dalam konflik kerusuhan politik di Suriah dan di Yaman.

Anak adalah bagian dari masa kini dan pemilik masa depan, tak berlebihan jika dikatakan masa depan bangsa berada di tangan-tangan mungil anak-anak ini, namun keadaan krisis dan konflik suatu negara bisa merenggut kebahagiaan dari sebagian anak-anak di dunia, bahkan masa depan mereka sebagai generasi penerus.
Tulisan berikut merupakan cuplikan nasib anak di beberapa wilayah krisis dan atau konflik.

(1).  Konflik di Suriah
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi anak-anak (UNICEF) menyatakan setidaknya 400 anak tewas terbunuh akibat bentrokan yang terjadi di Suriah dalam 11 bulan terakhir.  Jumlah itu amat mungkin bertambah mengingat penembakan bertubi yang dilakukan tentara pemerintah di kawasan permukiman Kota Homs masih berlangsung. (Media Indonesia 17/2/2012)
*
Klinik darurat beratap terpal itu kehabisan obat bius saat Hana (8) dibawa ayahnya, Bahaa al-Homsi, dalam keadaan terluka. Untuk mengangkat serpihan peluru yang bersarang di kaki bocah tersebut, para dokter mengalihkan perhatiannya dengan sepotong cokelat.
"Dokter yang baik itu memberi aku cokelat dan bilang,  Ini akan terasa sedikit sakit, tapi kalau kamu makan cokelat itu, kamu akan baik-baik saja'," ujar Hana, korban baku tembak antara tentara pemerintah dan oposisi di Kota Homs, Suriah.
Insiden itu tidak mudah bagi Al-Homsi. Hati pria itu tercabik tatkala putrinya pingsan selagi dokter menempuh operasi. Dia pun memutuskan membawa istri dan dua anaknya mengungsi ke Libanon. Homsi mengatakan ia sekeluarga berhasil mengungsi ke negara yang berbatasan dengan Suriah itu berkat bantuan aktivis dan para tentara desertir yang membentuk front perlawanan menghadapi militer Suriah.
"Saya harus menggendong putri saya sepanjang perjalanan dan terus berkata, 'Kami akan segera aman', supaya dia tidak menangis dalam perjalanan bersama para penyelundup," papar Homsi merujuk kepada Hana.
Hana sendiri tidak bisa tertidur selama dua hari akibat rasa sakit setelah operasi pengangkatan pecahan peluru dari kakinya. Meski kondisi di Libanon lebih tenang daripada di Suriah, Hana mengaku dirinya sulit tidur karena trauma. Di Libanon, Al-Homsi mengaku berencana menetap sementara hingga bentrokan senjata berakhir.
  
(2).  Konflik Yaman
Badan PBB yang mengurus anak-anak (UNICEF) menyatakan 57% dari 12 juta anak di Yaman mengalami kekurangan gizi (malnutrisi) kronis, itu persentase tertinggi di dunia setelah Afghanistan. Tahun 2012, perhitungan UNICEF menges­timasi sekitar 750 ribu anak di Yaman akan mengalami mal­nutrisi akut.  Dua pertiga dari jumlah anak-anak itu berisiko menghadapi kematian atau gangguan fisik dan kognitif seumur hidup.  Perwakilan Program Pangan Dunia (WFP) di Yaman mengutarakan negeri tersebut berada di peringkat 11 negara yang mengalami rawan pangan di dunia. Namun, pemerintah Yaman mencoba meyakinkan pihaknya dapat mengatasi persoalan rawan pangan.
Sejak kerusuhan politik berlangsung tahun lalu, puluhan ribu warga dari 28 juta populasi Yaman telah kehilangan pekerjaan mereka, hal tersebut diperburuk lonjakan harga komoditas pangan, seperti beras hingga 60%.  Krisis politik yang berimbas pada gangguan keamanan ini telah mendorong Yaman men­jadi salah satu negara termiskin di Arab. (Media Indonesia 17/2/2012)
*
Bola mata Fatima Al-Aqra menerawang tatkala Enas, 14 bulan, menarik-narik ujung kerudung hitamnya yang kusam. Naluri seorang ibu di dalam diri Al-Aqra membuat perempuan Yaman itu tahu persis keinginan buah hatinya, Dengan sigap dia mengangkat bayi kurus tersebut seusai meracik campuran gula, remah roti, dan air panas. "Dia melakukan ini karena tahu makanan sedang dibuat. Ini akan menjadi satu-satunya santapan dia hari ini," kata Al-Aqra, lirih.
Interaksi antara Al-Aqra dan Enas merupakan gambaran penderitaan yang dialami anak-anak akibat pertikaian politik yang terjadi di Yaman.
Kini, para kepala keluarga harus pontang-panting mencari cara agar keluarga me­reka bisa makan saban hari. Akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan baru selama kekacauan politik berlangsung, Mohammed, ayah Enas, ha­rus menyusuri jalanan dan memulung botol-botol plastik dari tempat sampah. Botol itu kemudian dijual ke toko-toko dengan imbalan roti.
Sebelum krisis politik pecah tahun lalu, Mohammed bekerja di sektor konstruksi. Namun, akibat harga bahan bakar yang melonjak lantaran pipa-pipa minyak dihancurkan kelompok antipemerintah, perusahaan tempatnya bekerja ditutup. "Sama halnya dengan seluruh warga Yaman, kami berdoa agar segera diberi jalan keluar dari penderitaan ini," kata Al-Aqra, istri Mohammed.
Penderitaan keluarga Mo­hammed juga dialami ratusan ribu keluarga di Yaman, termasuk keluarga Amin Moham­med Shirad, 45. Ayah delapan anak itu mengaku sudah tidak mampu lagi membeli bahan makanan pokok, seperti gula dan beras.
Untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya, Shirad menanam tanaman dan sayuran di belakang rumahnya yang sempit di ibu kota Yaman, Sana'a. Namun, persediaan itu semakin menipis sehingga Shirad harus menjatah makan untuk keluarganya. Shirad menerangkan keluarganya hanya makan satu kali sehari dalam waktu sepekan terakhir.
Seperti keluarga lain di Ya­man, Shirad dan Al-Aqra berharap agar keadaan segera membaik, terutama setelah Yaman menyelenggarakan pemilihan umum pada 21 Februari ini. Itu bukan demi kepentingan politik pribadi maupun golongan, melainkan untuk sang buah hati tercinta.
Kisah selanjutnya dapat dilihat di Bagian 2

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber bacaan a.l : Media Indonesia 17/2/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar