Dikemas oleh Isamas54
Nasib
anak-anak dalam konflik kerusuhan
politik di Suriah dan di Yaman.
Anak adalah bagian
dari masa kini dan pemilik masa depan, tak berlebihan jika dikatakan masa depan
bangsa berada di tangan-tangan mungil anak-anak ini, namun keadaan krisis dan
konflik suatu negara bisa merenggut kebahagiaan dari sebagian anak-anak di
dunia, bahkan masa depan mereka sebagai generasi penerus.
Tulisan berikut
merupakan cuplikan nasib anak di beberapa wilayah krisis dan atau konflik.
(1). Konflik di Suriah
Badan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi anak-anak (UNICEF) menyatakan
setidaknya 400 anak tewas terbunuh akibat bentrokan yang terjadi di Suriah
dalam 11 bulan terakhir. Jumlah itu amat
mungkin bertambah mengingat penembakan bertubi yang dilakukan tentara
pemerintah di kawasan permukiman Kota Homs masih berlangsung. (Media Indonesia
17/2/2012)
*
Klinik darurat
beratap terpal itu kehabisan obat bius saat Hana (8) dibawa ayahnya, Bahaa
al-Homsi, dalam keadaan terluka. Untuk mengangkat serpihan peluru yang
bersarang di kaki bocah tersebut, para dokter mengalihkan perhatiannya dengan
sepotong cokelat.
"Dokter yang
baik itu memberi aku cokelat dan bilang,
Ini akan terasa sedikit sakit, tapi kalau kamu makan cokelat itu, kamu
akan baik-baik saja'," ujar Hana, korban baku tembak antara tentara
pemerintah dan oposisi di Kota Homs, Suriah.
Insiden itu tidak
mudah bagi Al-Homsi. Hati pria itu tercabik tatkala putrinya pingsan selagi
dokter menempuh operasi. Dia pun memutuskan membawa istri dan dua anaknya
mengungsi ke Libanon. Homsi mengatakan ia sekeluarga berhasil mengungsi ke
negara yang berbatasan dengan Suriah itu berkat bantuan aktivis dan para
tentara desertir yang membentuk front perlawanan menghadapi militer Suriah.
"Saya harus
menggendong putri saya sepanjang perjalanan dan terus berkata, 'Kami akan
segera aman', supaya dia tidak menangis dalam perjalanan bersama para
penyelundup," papar Homsi merujuk kepada Hana.
Hana sendiri tidak
bisa tertidur selama dua hari akibat rasa sakit setelah operasi pengangkatan
pecahan peluru dari kakinya. Meski kondisi di Libanon lebih tenang daripada di
Suriah, Hana mengaku dirinya sulit tidur karena trauma. Di Libanon, Al-Homsi
mengaku berencana menetap sementara hingga bentrokan senjata berakhir.
(2). Konflik Yaman
Badan
PBB yang mengurus anak-anak (UNICEF) menyatakan 57% dari 12 juta anak di Yaman mengalami
kekurangan gizi (malnutrisi) kronis, itu persentase tertinggi di dunia setelah
Afghanistan. Tahun 2012, perhitungan UNICEF mengestimasi sekitar 750 ribu anak
di Yaman akan mengalami malnutrisi akut.
Dua pertiga dari jumlah anak-anak itu berisiko menghadapi kematian atau
gangguan fisik dan kognitif seumur hidup.
Perwakilan Program Pangan Dunia (WFP) di Yaman mengutarakan negeri
tersebut berada di peringkat 11 negara yang mengalami rawan pangan di dunia.
Namun, pemerintah Yaman mencoba meyakinkan pihaknya dapat mengatasi persoalan
rawan pangan.
Sejak
kerusuhan politik berlangsung tahun lalu, puluhan ribu warga dari 28 juta
populasi Yaman telah kehilangan pekerjaan mereka, hal tersebut diperburuk
lonjakan harga komoditas pangan, seperti beras hingga 60%. Krisis politik yang berimbas pada gangguan
keamanan ini telah mendorong Yaman menjadi salah satu negara termiskin di
Arab. (Media Indonesia 17/2/2012)
*
Bola mata Fatima
Al-Aqra menerawang tatkala Enas, 14 bulan, menarik-narik ujung kerudung
hitamnya yang kusam. Naluri seorang ibu di dalam diri Al-Aqra membuat perempuan
Yaman itu tahu persis keinginan buah hatinya, Dengan sigap dia mengangkat bayi
kurus tersebut seusai meracik campuran gula, remah roti, dan air panas.
"Dia melakukan ini karena tahu makanan sedang dibuat. Ini akan menjadi satu-satunya
santapan dia hari ini," kata Al-Aqra, lirih.
Interaksi antara
Al-Aqra dan Enas merupakan gambaran penderitaan yang dialami anak-anak akibat
pertikaian politik yang terjadi di Yaman.
Kini, para kepala
keluarga harus pontang-panting mencari cara agar keluarga mereka bisa makan
saban hari. Akibat sulitnya mendapatkan pekerjaan baru selama kekacauan politik
berlangsung, Mohammed, ayah Enas, harus menyusuri jalanan dan memulung
botol-botol plastik dari tempat sampah. Botol itu kemudian dijual ke toko-toko
dengan imbalan roti.
Sebelum krisis
politik pecah tahun lalu, Mohammed bekerja di sektor konstruksi. Namun, akibat
harga bahan bakar yang melonjak lantaran pipa-pipa minyak dihancurkan kelompok
antipemerintah, perusahaan tempatnya bekerja ditutup. "Sama halnya dengan
seluruh warga Yaman, kami berdoa agar segera diberi jalan keluar dari
penderitaan ini," kata Al-Aqra, istri Mohammed.
Penderitaan
keluarga Mohammed juga dialami ratusan ribu keluarga di Yaman, termasuk
keluarga Amin Mohammed Shirad, 45. Ayah delapan anak itu mengaku sudah tidak
mampu lagi membeli bahan makanan pokok, seperti gula dan beras.
Untuk memenuhi
kebutuhan pangan keluarganya, Shirad menanam tanaman dan sayuran di belakang
rumahnya yang sempit di ibu kota Yaman, Sana'a. Namun, persediaan itu semakin
menipis sehingga Shirad harus menjatah makan untuk keluarganya. Shirad
menerangkan keluarganya hanya makan satu kali sehari dalam waktu sepekan
terakhir.
Seperti keluarga
lain di Yaman, Shirad dan Al-Aqra berharap agar keadaan segera membaik,
terutama setelah Yaman menyelenggarakan pemilihan umum pada 21 Februari ini.
Itu bukan demi kepentingan politik pribadi maupun golongan, melainkan untuk
sang buah hati tercinta.
Kisah selanjutnya
dapat dilihat di Bagian 2
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber
bacaan a.l : Media Indonesia 17/2/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar