Sabtu, 11 Agustus 2012

Mengapa Konflik Agraria Structural Terus-Menerus Meledak di Sana Sini?

Konflik-konflik agraria struktural saat ini sudah bersifat kronis dan berdampak luas. Cara-cara konvensional sudah tidak bisa diandalkan lagi.  Presiden RI menginstruksikan pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik-konflik agraria.
Oleh : Noer Fauzi Rachman - Alumnus Doktor University of California, Berkeley-AS; Direktur Sajogyo Institute-Bogor; dosen Institut Pertanian Bogor.

Konflik agraria struktural yang dimaksud dalam artikel ini merujuk kepada pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak baik secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud dimulai dengan pemberian izin/hak oleh pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (Ba­dan Pertanahan Nasional), gubernur, dan bupati, yang memasukkan tanah,. SDA, dan wilayah hidup kepunyaan masyarakat ke proyek/konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Instrumentasi hukum, penggunaan kekerasan, kriminalisasi tokoh penduduk, manipulasi, penipuan, dan pemaksaan persetujuan yang dilakukan secara sistematis dan meluas sering mencirikan upaya penghilangan klaim rakyat atau pengalihan penguasaan atas tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat setempat ke proyek/konsesi yang dipunyai badan-badan usaha raksasa termaksud.  Itu sekaligus merupakan pemisahan atau pembatasan akses rakyat terhadap tanah, SDA, dan wilayahnya.  Sebaliknya, perlawanan langsung dari rakyat dan yang difasilitasi organisasi-organisasi gerakan sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), maupun elite politik dilakukan untuk menentang peralihan, penguasaan, pemisahan, atau pembatasan paksa akses rakyat tersebut.

Kasus perkebunan kelapa sawit
Produksi crude palm oil (CPO) Indo­nesia terus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indonesia merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Menurut pemantauan dari Indonesian Commercial Newsletter (Juli 2011), produksi CPO meningkat menjadi 21 juta ton pada 2010 dari tahun sebelumnya 19,4 juta ton. Pada 2011, produksi diperkirakan naik 4,7% menjadi sekitar 22 juta ton.  Sementara itu, total ekspor juga mening­kat, pada 2010 tercatat sekitar 15,65 juta ton, kemudian diperkirakan melonjak i menjadi 18 juta ton pada 2011. Dari total produksi tersebut diperkirakan, hanya sekitar 25% (sekitar 5,45 juta ton) yang dikonsumsi pasar domestik. Produksi CPO sebanyak itu ditopang total luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah, yaitu menjadi 7,9 juta hektare pada 2011 dari 7,5 juta hektare pada 2010.
Data Direktorat Jenderal Perkebun­an menunjukkan luasan perkebunan  kelapa sawit di Indonesia 8,1 juta hek­tare (Ditjen Perkebunan, 2012). Luas perkebunan tersebut, menurut Sawit Watch (2012), lebih kecil daripada yang sesungguhnya, yang diperkirakan telah mencapai 11,5 juta hektare. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit sering lebih luas daripada konsesi legalnya. Dari luasan tersebut, berapa persen partisipasi petani-petani yang bertanam kelapa sawit di tanah sendiri? Menurut Ditjen Perkebunan (2012) Kementerian Pertanian, luasan kebun sawit milik petani di atas 40%, sedangkan menurut Sawit Watch (2012), jumlahnya kurang dari 30%. Dengan percepatan luasan 400 ribu hektare per tahun, luasan kebun sawit di Indonesia digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan petani-petani sawit sehingga dicanangkan mencapai 20 juta hektare pada 2025. Pertanyaannya ialah dari mana asal-muasal tanah untuk perluasan kebun kelapa sawit itu?
Sangat menarik untuk memperhatikan data dari Direktuf Pasca-panen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Herdradjat Natawidjaja (2012), yang menyampaikan data dalam satu rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada 25 Januari 2012. la menyebutkan sekitar 59% dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah di-Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait dengan lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Total ada sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya kon­flik ditempati Kalimantan Tengah
dengan 250 kasus, disusul Su­matra Utara 101 kasus, KalimantanTimur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus.

Akibat-akibat
Masalah dalam pengadaan tanah skala luas untuk investasi infrastruktur, perke­bunan, pertambangan (Gambar), dan kehutanan, atau dalam istilah lebih memihak 'perampasan tanah', sebagaimana dilaporkan Komnas HAM dari tahun ke tahun, selalu menjadi urut­an pertama dari pengaduan rakyat. Dalam kacamata HAM, perampasan tanah, SDA, dan wilayah hidup itu dimaknakan sebagai pelanggaran hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Ketika bentrokan antara perusahaan, aparat keamanan, dan rakyat setempat terjadi, hal itu dapat berurusan dengan pelanggaran hak sipil dan politik.
Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi dengan menurunnya kemandirian rakyat untuk memenuhi kebutuhan hidup dari usaha pertanian, akan menjadi bagian awal transformasi para petani dengan beragam cara hidup menjadi orang-orang yang tak bertanah, yang sebagian akan menjadi tenaga kerja upahan dan sebagian lainnya menjadi penganggur atau setengah penganggur.
Akibat lanjutan dari konflik agraria ialah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekadar konflik klaim atas tanah, SDA, dan wilayah menjadi konflik-konflik lain. Konflik agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi, termasuk yang mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal itu menjadi sumber masalah baru di kota-kota.
Dalam situasi konflik agraria yang berkepanjangan, rakyat bertanya mengenai posisi dan peran pemerintah. Rakyat bisa sampai pada perasaan tidak adanya pemerintah yang melindungi dan mengayomi. Pada tingkat awal, mereka akan memprotes pemerintah. Ketika kriminalisasi diberlakukan terhadap mereka, mereka merasa dimusuhi pemerintah. Pada gilirannya, merosotnya kepercayaan masyarakat setempat terhadap pemerintah dapat menggerus rasa keindonesiaan para rakyat yang menjadi korban.
Lebih jauh, artikulasi konflik agraria dapat membentuk-bentuk konflik lain seperti konflik antara para petani pemilik asal ta­nah dan pekerja perkebunan, konflik etnik antara 'penduduk asli' dan pendatang, bahkan hingga konflik antar kampung/desa. Studi Institut Titian Perdamaian (2012) menunjukkan, di balik 'konflik-konflik etnik' dan 'agama' yang besar-besar dalam periode semasa dan setelah transisi demokrasi (1998-1999), sebagian besar dilator belakangi perebutan tanah, SDA, dan wilayah hidup.

Quo vadis tim terpadu penyelesaian konflik agraria?
Ketika konflik-konflik itu berlangsung dalam intensitas yang tinggi, rakyat mencari akses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD, Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, hingga DPR, Komnas HAM, dll. Dalam sejumlah kasus, sebagian klaim dan keperluan rakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewenangan dan kapasitas setiap lembaga. Namun tidak demikian halnya untuk kasus-kasus yang karakteristik konfliknya sudah kronis, kompleksitasnya melibatkan lintas sektor, dan akibat-akibatnya telah meluas.
Konflik agraria struktural macam itu dilestarikan dengan tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat public (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri ESDM, bupati, dan gubernur) yang memasukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat ke konsesi badan usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kita tahu bahwa berdasarkan kewenangannya, pejabat publik itu dimotivasi keperluan perolehan rente. Untuk pertumbuhan ekono­mi, mereka melanjutkan dan terus-menerus memproses pemberian izin/ hak kepada badan-badan usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahu pula bahwa bila suatu koreksi demikian dilakukan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balik oleh perusahaan-perusahaan yang konsesinya dikurangi atau apalagi dibatalkan. Risiko kerugian yang bakal diderita bila kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari pejabat publik yang bersangkutan.
Konflik-konflik agraraa struktural saat ini sudah bersifat kronis dan berdampak luas. Cara-cara konvensional sudah tidak bisa diandalkan lagi. Kita saat ini memerlukan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sek­tor kelembagaan pemerintahan, dan memiliki kapasitas cukup memadai dalam menangani konflik agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Lebih dari itu, konflik agraria struk­tural perlu diatasi dengan menyelesaikan akar masalahnya, yakni ketimpangan agraria yang ditandai dominasi perusahaan-perusahaan raksasa atas penguasaan tanah dan pengelolaan SDA. Indonesia tidak punya instrumen hukum dan kebijakan yang membatasi luasan maksimum penguasaan tanah dan pengelolaan SDA oleh holding company dari perusahaan-perusahaan kapitalis yang bersifat predatoris. Bila akar masalah itu mau diatasi, komitmen kita pada reforma agraria perlu diperbarui.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat kabinet terbatas yang digelar di Kantor Kejaksaan Agung RI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (25/7) lalu menginstruksikan pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik-konflik agraria. Saat ini, kerangka acuan yang mencakup ruang lingkup kewenangan hingga cara kerja tim tersebut sedang dirumuskan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk kemudian diproses dan dijalankan Kantor Kemenko Polhukam.
Quo vadis kelembagaan baru ini?

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber bacaan : artikel pada Media Indonesia tgl. 6 Agustus 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar