Senin, 17 Januari 2011

Indonesia on The Move (Buku Kedua karangan Dr. Susilo Bambang Yudhoyono)

Persepsi keliru diluruskan dalam buku  ini yang mana Indonesia sering kali digambarkan sebagai sebuah negara yang masih mencari format, meski menjanjikan banyak, Pasca Krisis 1998.
Disarikan Oleh : Julian Aldrin Pasha, PhD (dari buku ‘Indonesia On the Move Selected Speeches and Article by the President of The Republic of Indonesia’ yang ditulis DR. Susilo Bambang Yudhoyono, diterbitkan tahun 2007). 

INDONESIA on the Move merupakan  kumpulan  beberapa naskah pidato, statements, dan artikel Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang disampaikan di forum Internasional selama akhir 2005 hingga 2006.  Dengan lima pengelompokan :(i) Nation Building, Demokrasi dan Reformasi, (ii) Islam dan Barat (iii) Resolusi Konflik, (iv) Ekonomi Pembangunan dan Millennium Development  Goals (MDGs), dan (v) Hubungan Internasional.  Buku ini merefleksikan sikap pemerintah, khususnya pandangan dan pemikiran Presiden Yudhoyono.
Sebagaimana buku Presiden SBY pertama, Transforming Indonesia (2006), buku ini mencoba menggambarkan keadaan Indonesia yang sebenarnya terjadi dalam kurun waktu setahun hingga 2006. Diawali dengan upaya mematangkan nation building, yang fondasinya telah diletakkan oteh. the founding fathers dan dilanjutkan oleh presiden-presiden sebelumnya, Presiden SBY pun tetap berpedoman pada Pancasila.
Dalam konteks menafsirkan semangat demokrasi dan reformasi Presiden SBY menegaskan bahwa Pancasila tetap sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini di­sampaikan pada peringatan Kelahiran Pancasila pada 1 Juni 2006. Penegasan ini menjawab pertanyaan yang sering muncul dalam tahun 2006, bahwa apakah sebaiknya mendiskusikan dan memikirkan kembali Pancasila sebagai dasar negara?
Dalam delapan tahun terakhir, di tengah gerakan reformasi dan tuntutan demokrasi di Indonesia, bangsa Indonesia merasa bahwa kadang-kadang belum cukup memiliki keberanian dan keteguhan hati dalam menjaga dan mengamankan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Konstitusi UUD 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, wawasan kebangsaan, stabilitas, pembangunan, pluralisme atau kemajemukan dalam masyarakat dan etnis dan sebagainya, di mana ada pandangan bahwa hal tersebut tidak sesuai dan sejalan dengan gerakan reformis yang demokratis, yang sedang berlangsung., Dengan tetap bersandar pada Panca­sila dan UUD 1945, justru dikatakan ti­dak reformis (hal 43).
Presiden Yudhoyono memaparkan pandangannya dengan menegaskan sikap dan pendiriannya bahwa Panca­sila sebagai dasar negara, yang diyakini mampu menjamin proses reformasi, demokratisasi, dan rekonstruksi yang sedang berjalan dalam suasana yang damai tanpa kekerasan, dengan fatsoen politik,yang baik dan cerdas. Imbauan Presiden SBY untuk bersama-sama menjaga dan melestarikan Pan­casila merupakan cermin sikap dan pandangannya terhadap Pancasila (hal 43-59).
Imbauan tersebut bersandarkan pada sikap yang jelas bahwa Indonesia sebagai negara yang menghargai keragaman dan toleransi, dalam berdemokrasi. Harus diakui, di tengah dinamika sosial yang terus berubah, apalagi di negara yang plural dan multi-etnis dangan berbagai keragaman budaya dan agama, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, yang dirumuskan para founding fathers, tetap terasa paling compatible dan accep­table. Lagi pula, tidak ada opsi yang lebih baik. Meski demikian, tidak sedikit yang beranggapan bahwa demokrasi berdasarkan Pancasila dianggap kurang begitu ideal di Indo­nesia, khususnya dalam era reformasi dan proses demokratisasi saat ini. Itu merupakan salah satu alasan mengapa muncul wacana tentang perlunya memikirkan kembali Pancasila.
Melihat ke luar, demokrasi di be­berapa negara Barat seperti Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, di mana mereka memiliki etiquette dalam social decorum (tata krama bermasyarakat) dengan menampilkan cara dan "warna" demokrasi mereka. Di Asia, India, misalnya, Amartya Sen menilai bahwa India telah memiliki tradisi yang lama dan kuat sehingga cukup mampu menumbuhkan dan menjaga iklim demokrasinya sendiri, tanpa harus mengimpor mode demokrasi negara lain. Sebagai negara dengan populasi lebih dari satu miliar jiwa, India memberikan pelajaran bahwa peningkatan kualitas dalam kehidupan demokrasi sangat bergantung pada dua pilar utama, pembangunan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat.
Demokrasi ala Amerika Serikat, yang telah diadopsi oleh banyak nega­ra, memang baik, namun belum tentu cocok atau acceptable diterapkan di Indonesia. Merujuk Robert Dahl, pakar ilmu politik yang mendalami teori demokrasi dari Universitas Yale, pernah menulis tentang ketidak cocokan demokrasi ala Amerika bila diterapkan di negara lain. Bahwa "it is not suitable for export to other countries", sebagaimana tertuang dalam "How Demo­cratic is the American Constitution?" (Dahl, 2003). Jadi, mengapa kita harus ngotot meniru? Meminjam istilah Noam Chomsky, Democracy Promo­tion at Home dengan damai, akan jauh lebih baik daripada memaksakan diri dengan "mengimpor" atau menerima model demokrasi dari luar, sebagaimana tulisannya dalam - Failed States (2003).
Perdebatan seputar proses demo­kratisasi menuju demokrasi terkonsolidasi di Indonesia akan senantiasa ada, mengiringi keberlangsungan ke­hidupan politik bangsa. Dalam kon­teks ini, kalau pun ada konsensus nasional baru yang akan disepakati, Presiden SBY memandang bahwa kerangka dasarnya sebaiknya tetap berpedoman pada Pancasila.

Strategi Tiga Jalur
Pandangan atas demokrasi juga, terkait relevansinya dengan bisnis, sebagaimana keynote speech yang disampaikan Presiden SBY pada pembukaan Forbes Global CEO Conference, di Singapura, 2 September 2006. Kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi disebut dengan istilah strategi kebijakan tiga jalur, "the triple track" strat­egy. Pertama, melakukan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkesinambungan melalui kombinasi ekspor yang kuat dan pe­ningkatan investasi, baik domestik maupun asing. Kedua, menstimulasi kinerja sektor riil dalam menciptakan lapangan kerja. Ketiga, lebih mempromosikan pembangunan ekonomi daerah/pedesan dan pertanian guna mengentaskan kemiskinan. Ini yang kemudian dijabarkan sebagai kebijakan ketahanan pangan. SBY memandang bahwa ketiga hal tersebut sebagai strategi kebijakan yang "pro-growth, pro-job, pro-poor'', dalam pengertian bahwa tantangan terbesar pemerintah SBY dalam melanjutkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan mengurangi kemiskinan (hal 80).
Untuk meningkatkan iklim investasi yang kondusif, pemerintah SBY telah melakukan tiga paket utama reformasi peraturan. Pertama, memperbaiki dan meningkatkan sistem kepabeanan dan pajak, mendorong dan mempercepat proses pelayanan prosedur administrasi investasi yang lebih tepat, dan menciptakan kondisi kerja yang lebih baik dan kondusif. Kedua, menyiapkan infrastruktur yang lebih baik, dan ketiga, melanjutkan reformasi bidang keuangan dan perbankan. Bagaimana faktanya? Selama tahun 2006, kinerja perekonomian pemerintah telah berhasil menjaga momentum pertumbuhan ekonomi tinggi, bila dibandingkan dengan masa awal krisis ekonomi 1998. Berdasarkan data resmi BPS 2007, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia tahun 2006 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Bruto DB) meningkat sebesar 5,5 persen terhadap tahun 2005. Sumber utama pertumbuhan ekonomi 5,5 persen ialah ekspor 4,1 persen, diikuti konsumsi rumah tangga 1,9 persen, konsumsi pemerintah 0,7 persen, pembentukan modal tetap bruto 0,7 per­sen serta pengaruh impor 2,8 persen.
Sementara dalam birokrasi, juga terus diupayakan reformasi birokrasi khususnya dalam bentuk penyederhanaan prosedur dan efektivitas pelayanan birokrasi. Upaya memberantas KKN, juga terus digalakan. Di sektor riil, meskipun belum terlihat hasil yang sangat memuaskan, namun upaya terobosan semacam itu menggambarkan bagaimana concern Presiden Yudhoyono.
Persepsi keliru diluruskan dalam buku ini, yang mana Indonesia sering kali digambarkan sebagai sebuah negara yang masih mencari format, meski menjanjikan banyak, pascakrisis 1998. Buku A Nation in Waiting (1994), karya Adam Schwarz dan Michael R.J. Vatikiotis, mengetengahkan bagaimana Indonesia menanti perubahan, di bawah Presiden Suharto dan dekade 90-an. Bila Schwarz dan Vatikiotis, wartawan Far Eastern Economic Review yang berpengalaman di Indonesia tahun 1987-1992 berandai, bahwa Indonesia perlu perubahan, maka dapat dikatakan bahwa mereka bisa menyaksikannya sekarang.
Kapan perubahan terjadi? Bahwa perubahan terjadi seiring adanya reformasi pasca 1998, sejak Presiden Suharto menyatakan berhenti-sebagai presiden. Kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan era reformasi, saat Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid dan Presiden Megawati, dan Presiden Yudhoyono. Dalam kepemimpinan Presiden SBY, beberapa perubahan signifikan telah dilakukan. Di antaranya, prakarsa perdamaian permanen di Aceh, yang disepakati pada 14 Agustus 2006, setelah proses perundingan panjang antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di mana sebelumnya disepakati dalam perjanjian damai Helsinki (Helsinki Accord), Konflik Aceh, yang telah berlangsung tiga dekade akhirnya sampai pada titik resolusi konflik berupa kesepakatan perdamaian permanen Aceh (hal 132-143). Ini sebuah contoh keberhasilan atas satu per­ubahan positif.
Indonesia yang luas dengan beragam etnis, memang memiliki catatan beberapa kekerasan etnis. Dua tahun pasca pemilu 1999, muncul gerakan separatis dengan eskalasi luas untuk memisahkan diri dari NKRI di Aceh dan Papua, serta kekerasan etnik di Maluku. Intensitas konflik juga terjadi di Borneo, antara Dayak dan Madura, sementara beberapa konflik etnis dan agama dengan intensitas ringan juga di beberapa tempat seperti Lombok, Flores, Medan, Lampung, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kepulauan Aru dan Sumbawa. Hal itu merupakan potret keadaan pada masa awal transisi di Indonesia.
Dalam bukunya, Presiden SBY menceritakan bahwa seorang kolumnis terkenal Thomas Friedman, yang pernah mengunjungi Indonesia pada 2001, kemudian menggambarkan bah­wa Indonesia sebagai sebuah negara yang kacau atau morat-marit sangat disayangkan menjadi berantakan, namun terlalu kacau untuk bisa bekerja dan berproduksi, sebagaimana dikutip, "a messy state: too important to fail, but no messy to work" (hal 163).
Namun itu masa lalu. Masa kekacauan, seperti yang dilihat Friedman tahun 2001 telah berubah menjadi baik, dan semakin baik. Berarti keadaan berubah, tidak stagnan atau se­makin terpuruk. Di masa pemerintahannya, Presiden SBY, dengan percaya diri mengupayakan berbagai resolusi konflik upaya pemerintah dalam menangani permasalahan sebagaimana yang terjadi di Poso, Maluku, dan Sampit sehingga menjadi terkendali, under control (hal.164). Lebih jauh proses tercapainya kesepakatan damai antara GAM dengan pemerintah juga didiskripsikan dengan jelas saat SBY menjadi presiden, Oktober 2004 (hal 165-172). Ini sebuah fakta yang harus diakui, bahwa pemerintah SBY mengedepankan perdamaian dalam men­cari resolusi atas konflik, seperti disampaikan Presiden SBY di Nobel Institute, di oslo, Norwegia, 13 Sep­tember 2006 (hal 159).
Buku SBY kedua ini menyertakan beberapa personal speeches dan bebe­rapa artikel sehingga melengkapi daya tarik dan kekuatan buku ini. Bagi kalangan akademisi, praktisi politik, pengamat sosial politik, dan penikmat demokrasi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang ingin tahu sikap dan posisi pemerintah, buku ini sangat direkomendasi. Mengapa? karena persepsi mengenai Indonesia dan posisi pemerintah SBY seringkali misleading. Dengan membaca buku ini, akan didapat pencerahan mengenai bagaimana cara berpikir seorang SBY dalam kapasitasnya sebagai Presiden. Sebagai Presiden yang sah, tentu isi buku ini mewakili bangsa Indonesia, apalagi disampaikan dalam konteks forum internasional.
Satu hal yang pantas dihargai dari buku ini adalah upaya untuk mengedepankan fakta dan realita tanpa terkesan mencari justifikasi atau pembelaan subjekttf. Presiden SBY tetap mengakui, bahwa meskipun kita, kenyataannya, telah berhasil dengan sukses menyelenggarakan pesta de­mokrasi 2004 yang mencerminkan kedewasaah (maturing democracy), na­mun tetap ada kekurangsn dalam pro­ses demokrasi itu sendiri. Bagaimanapun cara-cara berpolitik yang masih kurang elegan, cenderung tidak konstruktif dan sinis, masih terjadi di Indonesia (hal 21).  Ini sebuah pengakuan yang jujur dari Presiden SBY.
Indonesia on the Move, sebuah buku yang bagus dan perlu dibaca. Di­sampaikan dengan bahasa yang kuat dan menarik, bersumber pada fakta empiris dan kejujuran politik. Buku ini hanya diterbitkan, dalam bahasa Inggris, sehingga mungkin membatasi cakupan kelompok pembaca. Mung­kin Presiden SBY ingin mengajak para pembaca di tanah air agar semakin bersemangat mendalami bahasa Ing­gris, sebagai salah satu bentuk investasi. Bila edisi bahasa Indonesianya juga diterbitkan, maka akan semakin banyak lapisan masyarakat yang membacanya. Hemat saya, setelah membaca buku ini, "be proud of Indonesia- I am.".

Keterangan Gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
*)  Julian Aldrin Pasha, PhD. Staf pengajar di almamaternya, FISIP-UI sejak 2005. Menyelesaikan master (MA) dan doktor (PhD) bidang politik dari Hosei University Graduate School Tokyo, Japan. Kini menjadi Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik RSIP-UI.
Sumber bacaan : Harian Jurnal Nasional tanggal 20 Januari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar